FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

Teroris Veteran Baru Saja Dipenjara 10 Tahun, Bisakah Penyelundupan Senjata dari Filipina Berakhir?

Suryadi alias Abu Ridho adalah penyelundup kondang bagi jaringan teror Indonesia. Dia dihukum awal pekan ini. Sayang, pengamat terorisme tak terlalu optimis kondisi dapat berubah.
Aparat kepolisian menyita senjata dan berbagai barang bukti lainnya dari penggerebekan tersangka terorisme di Sukoharjo, Jawa Tengah. Foto oleh Andry Prasetyo/Reuters.

Pengadilan Negeri Jakarta Barat awal pekan ini memvonis Suryadi Mas’ud alias Abu Ridho dengan hukuman 10 tahun penjara karena aktivitas mendukung terorisme. Suryadi tertangkap pada 23 Maret 2017 lalu di Cikarang. Dia tak hanya menjadi donator serangan Thamrin dua tahun lalu. Dia pun terbukti memasok berbagai senjata api dari Filipina untuk para pelakunya. Proses pengadilan Suryadi menguak salah satu sumber persenjataan yang selama ini dipakai teroris Tanah Air: selatan Filipina.

Iklan

Suryadi, lelaki 45 tahun asal Makassar, Sulawesi Selatan, bukan sosok kemarin sore dalam jejaring terorisme Tanah Air. Suryadi sudah aktif di Jamaah Islamiyah (JI) sejak 1990-an. Suryadi bukan eksekutor lapangan. Tugas utamanya sejak dulu adalah menjadi penghubung jihadis di Indonesia dengan Front Pembebasan Muslim Moro (MILF) di Mindanao, kepulauan selatan Filipina. Suryadi, menurut pengakuan pengamat teror, termasuk licin. Sebelum tertangkap Detasemen Khusus (Densus) 88, Suryadi belum pernah gagal melaksanakan tugas. Merujuk penelitian Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Suryadi sudah pulang-pergi ke Mindanao, sebanyak enam kali dalam kurun 1997-1999 untuk mengantarkan jihadis asal Indonesia yang hendak mengikuti pelatihan di kamp paramiliter MILF.

Koneksi kuat Suryadi dengan para petinggi MILF dimanfaatkan para militan Indonesia. Pada 2000, Suryadi ditugaskan membeli dan menyelundupkan 15 pucuk senapan serbu atas permintaan petinggi Mujahidin KOMPAK - sebuah sayap dakwah JI yang bergerak di misi kemanusiaan sebelum akhirnya membelot dari JI. Senjata tersebut lantas diedarkan kepada para militan saat kerusuhan sektarian berdarah di Poso dan Ambon meletus.

Setelah konflik di Poso dan Ambon mereda, Suryadi pulang kampung dan langsung menyiapkan serangan teroris. Pada 12 Oktober 2001, sebuah bom meledak di restoran KFC di Makassar. Sekujur bangunan hancur. Namun tidak ada korban jiwa dalam serangan tersebut. Pada 7 Oktober 2003 Suryadi divonis delapan tahun penjara setelah terbukti mengotaki serangan tersebut. Setelah lima tahun mendekam di bui, Suryadi bebas lebih cerpat berkat remisi.

Iklan

Penjara rupanya tidak membuat Suryadi jera. Dia bebas ketika pemerintah Indonesia belum secara strategis meluncurkan program deradikalisasi. Pada 2015, Suryadi menjalin kontak dengan Iwan Darmawan alias Rois, terdakwa pembom Kedutaan Besar Australia 2004 yang divonis hukuman mati, saat masih mendekam di Lapas Nusakambangan. Rois adalah kawan lama Suryadi. Dari dalam lapas, Rois memberi misi baru buat Suryadi: membeli 18 pucuk senjata untuk melatih para militan pendukung ISIS di Indonesia. Suryadi menyanggupi.

Akhir 2015, berbekal duit Rp50 juta yang ditransfer Rois, Suryadi bersama istrinya berangkat ke Filipina. Senjata yang dia beli mencakup senapan M-14, M-16, dan beberapa pucuk pistol. Senjata tersebut tidak sekaligus diselundupkan. Demi menghindari kecurigaan, Suryadi mengirimnya beberapa kali menggunakan perahu dari Mindanao ke Kepulauan Sangihe-Talaud, Sulawesi Utara. Senjata tersebut sampai dengan aman sesuai instruksi Rois.

Lalu terjadilah, pada 14 Januari 2016, serangan bom Thamrin, menewaskan delapan orang tewas, termasuk empat pelaku. Baru keesokan harinya Suryadi tahu jika senjata yang digunakan dalam serangan tersebut merupakan hasil selundupannya. Berdasarkan laporan sumber IPAC, Suryadi menganggap pelaku serangan Thamrin tidak kompeten. Suryadi yakin seandainya para eksekutor serangan tersebut paham cara menggunakan senjata api, korban jiwa dan kerusakan yang timbul bisa lebih dahsyat lagi. Setelah insiden itu, Suryadi menjalin kontak dengan sel-sel militan, lalu menawarkan pelatihan bagi mereka di kawasan Banten. Di tengah proses pelatihan itulah Suryadi ditangkap Densus.

Iklan

Pengamat terorisme Al Chaedar, yang menjalin komunikasi dengan MILF, mengakui Suryadi memiliki kemampuan lobi di atas rata-rata para militan Indonesia lainnya. Suryadi juga dikenal gigih merekrut para militan Indonesia untuk dipersenjatai sebagai persiapan berangkat ke Suriah.

“Kemampuan komunikasi Suryadi tidak banyak dimiliki militan lain,” kata Al Chaedar lewat pesan pendek kepada VICE Indonesia. “Sehingga peran sentralnya sulit digantikan.” Ia menambahkan bahwa Suryadi sejauh ini berhasil merekrut beberapa militan di Banten dan berencana membuka kamp paramiliter di Halmahera sebelum gagal karena keburu ditangkap Densus 88. Tujuh orang yang diduga sebagai hasil perekrutan Suryadi juga ditangkap di Banten.

Belakangan MILF menolak memberi pelatihan lagi kepada militan akibat terus-menerus menjadi sasaran operasi militer Filipina, Suryadi lantas mengalihkan kerjasama dengan Abu Sayyaf. Pada Mei 2016, menurut Al Chaedar, Suryadi berhasil menjalin kontak dengan pemimpin Abu Sayyaf Isnilon Totoni Hapilon. Suryadi memohon Isnilon untuk memberikan pelatihan bagi jihadis Indonesia yang kemudian disetujui.

Al Chaedar mengingatkan Suryadi harus ditempatkan dalam sel isolasi tanpa alat komunikasi sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi antar jihadis selama ini bisa dilakukan di dalam penjara, seperti pada kasus Iwan Darmawan alias Rois yang bisa mengatur serangan bom Thamrin dari balik jeruji Nusakambangan.

Iklan

Meski sepanjang 2017 nyaris tidak terjadi serangan bersenjata yang menyebabkan korban jiwa, Al Chaedar yakin bahwa beberapa anggota sel teroris masih memiliki senjata api sisa konflik atau senjata rakitan. Ia juga mengingatkan bahwa beberapa militan asal Indonesia yang masih bergabung bersama MILF dan Abu Sayyaf bisa menjadi penghubung sekaligus pemasok senjata api.

Peredaran senjata ilegal telah menjadi duri dalam daging. Senjata tersebut awalnya banyak diedarkan di daerah-daerah konflik seperti Aceh, Papua, Poso dan Ambon. Meski beberapa pucuk senjata sudah dimusnahkan oleh aparat, masih ada kemungkinan bahwa senjata api tersebut masih dikuasai oleh militan seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

Pertanyaannya, apakah mustahil memutus mata rantai pasokan senjata api ilegal dari Filipina? Dari sudut pandang pengamat maupun mantan teroris, persoalan jual-beli senjata ilegal dari negara tetangga masih akan menghantui Indonesia.

Mantan instruktur militer JI, Nasir Abas, masih ingat momen pertama kali dikirim ke kamp paramiliter MILF pada 1994 untuk melatih jihadis Asia Tenggara. Tugas pertama Nasir adalah belanja senjata. Hal itu dilakukan secara leluasa karena mudahnya akses ke pasar gelap.

“Waktu itu saya membeli senjata ringan karena keterbatasan dana operasional,” ujar Nasir kepada VICE Indonesia. “Senjata yang beredar di Filipina waktu itu memang tidak seperti di Afghanistan. Kalibernya kecil. Tapi kami tetap bisa berlatih teknik dasar.”

Iklan

Satu yang harus dipahami pembaca, Filipina adalah negara yang melegalkan penjualan senjata api kepada warga sipil. Negara mayoritas Katolik di utara Manado itu memiliki sejarah panjang dengan senapan dan pistol. Sejak Abad ke-16, orang etnis Moro yang mendiami Mindanao begitu gigih melawan kolonialisme Spanyol dan Amerika. Saat Perang Dunia II meletus, orang Moro mulai membuat sendiri senjata api rakitan demi melawan pendudukan Jepang. Keahlian membuat senjata api rakitan tersebut terus bertahan dan semakin berkembang sekarang, mulai dari pistol hingga senapan serbu otomatis. Para pembuat senjata api rumahan di Filipina bahkan sanggup memproduksi senjata api replika seperti Uzi, M-16, KG-9, dan sebagainya. Tentu saja harganya jauh lebih murah dari produk asli. Harga sepucuk pistol dibanderol mulai dari Rp3 juta ke atas, sementara senapan laras panjang dipatok mulai dari Rp5 juta.

Bisnis perakitan senjata api rumahan sebenarnya ilegal. Tapi pemerintah Filipina terkesan menutup mata dan tak ambil pusing. Di wilayah Danao, yang mirip Dusun Cipacing di Indonesia, para petani berangsur-angsur beralih profesi menjadi pembuat senjata api. Pasalnya bisnis ini lebih menjanjikan karena permintaan pasar terus eksis.

Dengan hukum dan peraturan Filipina yang longgar sejak Joseph Estrada memegang kekuasaan, setiap warga negara yang berusia 21 tahun ke atas boleh memiliki senjata api jenis apapun dan sebanyak apapun. Situs gunpolicy.org mencatat 3,9 juta senjata api dimiliki masyarakat secara legal merujuk data pada 2015. Sementara di tahun yang sama diperkirakan lebih dari 600 ribu senjata ilegal tersebar di seantero Filipina.

Iklan

Banyaknya celah di perbatasan Indonesia juga membuat sulit pengawasan terhadap praktik ilegal. Direktur Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu Kementerian Desa PDTT Johozua M. Yoltuwu mengatakan ada lebih dari 300 jalur tikus yang digunakan para penyelundup di seantero Nusantara.

Dari pengakuan Suryadi, serta dibandingkan data penelitian IPAC, sebelum melakukan penyelundupan dia terlebih dulu membuat perencanaan rute-rute yang aman dari penjagaan aparat. Biasanya dia membeli senjata di Zamboanga sebelum berpindah ke kota General Santos, yang terletak di ujung selatan pulau Mindanao. Setidaknya Suryadi memiliki tiga rute berbeda yang sewaktu-waktu bisa dipakai. Dari General Santos ia langsung naik kapal ke Kepulauan Sangihe Talaud untuk menuju Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara. Jika rute dirasa tidak lagi aman atau sedang terjadi operasi militer di Filipina, Suryadi mengalihkan rute ke Tarakan, Kalimantan Timur atau ke Sabah, Malaysia sebelum bertolak menuju Makassar.

Faktor para pejabat imigrasi yang korup juga turut menyumbang sulitnya memberantas praktik penyelundupan. Dalam keterangan saksi, Suryadi pernah menyuap pejabat imigrasi di Filipina dan Indonesia saat menyelundupkan senjata dalam kardus ikan tuna di Pelabuhan Bitung.

Suryadi saat ini telah mendekam dalam penjara, namun ancaman serangan bersenjata teroris tetap nyata manakala pemerintah tak kunjung mengidentifikasi titik masuk penyelundupan. Apalagi jika sosok yang ditangkap ini adalah Suryadi, seorang jihadis kelas berat yang sangat ideologis. Seandainya Suryadi sebelum ditangkap berhasil mengkader sosok baru menjadi penyelundup senjata, bisa dipastikan aliran senapan dari selatan Filipina ke Indonesia belum akan berakhir.

“Suryadi hanyalah satu mata rantai dari praktik penyelundupan senjata api yang mengerikan,” ujar Al Chaedar. “Dia tidak pernah menyesali perbuatannya.”