FYI.

This story is over 5 years old.

Di Balik Restoran

Pengunjung Resto All-You-Can-Eat Lebih Kurang Ajar Dibanding Tempat Makan Lain, Aku Saksinya

Jenis tempat membiarkan konsumen makan sepuasnya ternyata penuh masalah lho. Mulai dari yang jorok hingga nekat nyolong lauk, dll. Semua manusia tampak jadi purba begitu masuk resto all-you-can-eat.
TY
seperti diceritakan pada Tae Yoon
Foto ilustrasi buffet dari akun Flicker michaelsheil/CC 2.0

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.

Kalian sedang membaca seri Restaurant Confessional, rubrik bagi pelaku industri kuliner dari seluruh dunia menyuarakan secara bebas hal-hal yang sebelumnya jarang terdengar. Semua orang dari lini terdepan sampai paling bawah bisnis restoran dibebaskan mengungkap beragam kejadian di dapur. Di kolom kali ini, seorang mantan pelayan membeberkan pengalamannya bekerja di sebuah resto all-you-can-eat dekat jalan raya yang selalu ramai.

Iklan

Restoran 'all-you-can-eat' alias bayar sekali dan sila makan sepuasnya adalah tempatku bekerja selama sembilan tahun. Tempat kerjaku itu termasuk restoran restoran kelas atas. Kami punya segala sajian standar dari makanan dingin, makanan panas sampai salad. Kami bahkan punya pojok hibachi tersendiri. Namun, nama restoran ini harum karena seafoodnya yang jempolan. Spesialisasi restoran kami adalah udang raksasa, tiram, kepiting raja Alaska, Sushi dan Sashimi. Koki yang bekerja di sini bukan koki sembarangan. Mereka tahu benar cara bikin makanan yang rasanya luhur sekali. Kualitas makanan yang disajikan di sana tak pernah memble.

Rupanya, setelah dua tahun bekerja di sana, aku eneg tiap kali liat makanan-makanan yang tersedia.

"Suka tidak suka, harus diakui, manusia kembali jadi binatang purba begitu masuk buffet berkonsep makan sepuasmu."

Tamu yang datang ke restoran tempatku bekerja rupa-rupa bentuknya, dari super truk hingga kaum eksekutif muda yang doyan meeting. Semuanya pernah datang ke sana. Sering pula, restoran ini disewa untuk perayaan pernikahan, ulang tahun, ulang tahun pernikahan hingga wisuda. Kadang, pelanggan restoran kami bahkan menggelar selamatan kerabatnya yang meninggal di sana.

Memang, aku tak bisa membuat pengelompokan macam-macam pengunjung buffet secara saklek. Yang jelas, mereka semua punya satu kesamaan: makannya banyak enggak ketulungan. Tentu, makan banyak tak lantas jadi pertanda kalau mereka gembrot. Mereka makan banyak karena itulah niat mereka sesungguhnya saat pergi ke buffet. Suka tidak suka, harus diakui, manusia kembali jadi binatang purba begitu masuk buffet berkonsep makan sepuasmu.

Iklan

Ada beberapa pelanggan yang datang sendirian. Misalnya, pelari maraton yang baru saja ikut lomba lari berhadiah besar atau atlit yang baru selesai menjalani latihan yang melelahkan. Bagi kami, tak ada yang lebih menyunggingkan senyum selain menonton mereka makan dengan lahap karena memang mereka pantas mendapatkannya.

Tak semua pelanggan bikin kami bahagia macam ini. Kadang, beberapa gadis muda yang mengidap gangguan pola makan seperti bulimia juga datang ke restoran. Merekalah yang bikin kami sedih. Gatal rasanya ingin bilang sendiri ke gadis-gadis itu kalau mereka mengidap bulimia. Tubuh mereka kurus kering, tak kelihatan sehat pokoknya. Tapi, mereka makan banyak sekali. Jumlah makanan yang mereka santap malah kadang jauh melampui konsumsi pengunjung biasa. Sembari menguyah makanan mereka, kadang gadis-gadis ini sebentar-sebentar pergi ke kamar kecil. Bisa tujuh kali bolak-balik dari meja makan ke kamar kecil. Kami jelas tahu mereka muntah di kloset dari arah kaki mereka yang menghadap dinding kamar kecil. Malah, sering kali, suara gadis ini muntah begitu jelas kami dengar.

Maling makanan juga bukan barang aneh di restoran kami. Ada seorang perempuan yang selalu datang naik Mercedes. Pakaian yang digunakan dirancang oleh desainer ternama. Tas Louis Vuitton pun selalu tampak di lengannya. Entah kenapa dia selalu nyolong satu santapan saja: kaki kepiting raja Alaska. Sudah beberapa kali dia tertangkap basah saat melakukan aksinya. Lucunya, tiap kali dipergoki mengantong santapan kesukaannya, reaksinya tak pernah berubah. Perempuan itu akan mengeluarkan barang curiannya dan langsung lari tunggal langgang, masuk ke Mercedesnya.

Iklan

Perempuan itu bukan satu-satunya pencuri di buffet tempatku bekerja. Ada banyak pencuri bermuka tembok. Biasanya mereka minta tambahan serbet yang banyak atau pergi ke kamar kecil dan mencuri tisu kamar mandi. Mereka lantas melapisi bagian dalam tas mereka untuk membuat kantung dadakan tempat barang curian disembunyikan. Saban kali mendapati orang nyolong tiram atau sajian seafood, aku malah jadi jijik. Dalam hati, aku bertanya-tanya “emangnya enak ya makan tiram yang ditaruh dalam tas?”

"Kuperkirakan 18-20 persen pengunjung buffet adalah sekumpulan orang tak tahu diri."

Kebanyakan orang merasa buffet berbeda dengan restoran biasa. Dalam benak mereka, resto 'makan sepuasmu' adalah tempat makan yang sama sekali berbeda. Cara pandang macam ini muncul karena mayoritas pelanggan kami punya kebebasan untuk keluyuran dalam restoran dan nangkring lebih lama. Mereka pikir mereka bisa melakukan apa saja. Aku juga menduga cara pandang tadi disebabkan sifat buffet yang mirip acara makan prasmanan, jadi pelanggan seakan tak punya kewajiban memberikan tip pada pelayan.

Kuperkirakan 18-20 persen pengunjung buffet adalah sekumpulan orang tak tahu diri. Tak ada sedikitpun penghargaan yang mereka berikan pada para pelayan. Padahal, selama mereka makan dengan lahap, kamilah yang mengisi ulang minuman mereka, mengambil piring kotor yang datang tanpa henti hingga membersihkan cangkang dan tulang yang dibuang seenaknya di atas meja.

Iklan

Sebagian pelanggan buffet kadang ketakutan kalau mereka tak cukup waktu untuk menandaskan makanan mereka. Buffet kami punya aturan ketat perkara ini: setiap pengunjung cuma boleh makan selama dua jam. Batasan ini sudah terhitung royal loh ya sebab pelanggan toh tak menunggu masakan diproses terlebih dahulu. Mereka makan apa yang sudah tersedia. Jadi, seharusnya dua jam sudah lebih dari cukup. cuma, beberapa pelanggan punya pandangan berbeda. Sering kali, ada pelanggan yang anteng makan meski sudah berada di restoran lebih dari dua jam. Begitu kami menegurnya, mereka langsung berkilah “Entar dong gue kan masih makan!” rupanya, mereka tak mau rugi. Bagi mereka, jumlah makanan yang mereka tandaskan harus setimpal dengan jumlah uang mereka keluarkan. Makanya, mereka tak mau rugi dan makan non-stop. Masalahnya, setelah dua jam, mereka jelas tak bisa menelan makanan sebanyak saat pertama kali mereka duduk di kursinya.

Pelanggan tak cuma makan sampai perut mereka hampir meledak. Sering kali, ada orang yang mencoba makan di buffet kami tapi enggan mengeluarkan banyak uang. Orang macam ini biasanya bakal menarik salah satu pelayan, mengaku bukan tipe yang makan banyak dan mencoba merayu agar bisa makan dengan membayar setengah harga. Ada pula yang berusaha mengakali kami dengan bilang kalau perut mereka baru dijahit atau malah bakal menjalani prosedur medis dalam waktu dekat. Dengan kondisi ini, mereka bilang harusnya mereka tak usah membayar penuh.

Dan akal-akalan itu tak berhenti di situ. Kami punya makanan dengan harga anak-anak. Kami membatasi dengan ukuran tinggi anak. Selain, hanya anak-anak di bawah 18 tahun yang boleh melahap makanan ini. Ini tak bikin beberapa orang dewasa menyerah. Ada saja loh yang nekat mengaku kalau mereka masih anak-anak lantaran kebetulan bertubuh pendek. Ujung-ujungnya sama saja, mereka malas membayar penuh. Yang menyebalkan, mereka melakoni semua keculasan ini dengan sungguh-sungguh. Mereka itu kayak om-om 30 tahun yang mati-matian ngaku jadi anak-anak 15 tahun. Konyol lah pokoknya.

Ada semacam mentalitas all-you-can-eat yang memicu orang-orang ini jadi kreatif memikirkan segala macam keculasan di atas. Atau mungkin, kita semua kembali manusia gua begitu masuk buffet all-you-can-eat.

Seperti yang diceritakan kepada Tae Yoon .