FYI.

This story is over 5 years old.

Lebaran

Pengakuan Anak Muda yang Benci Tradisi Salam Tempel Lebaran

Oke lah, untuk standar Indonesia, dapat duit sendiri udah dianggap dewasa (dan harus mulai peduli sama para sepupu). Tapi kan kantongku jebol euy!
Ilustrasi salam tempel oleh Ilham Kurniawan.

Ini tahun keempat berturut-turut, ketika aku rutin mengeluh betapa lebaran terasa gitu-gitu aja dan enggak "kayak dulu." Aku tidak sedang komentar soal pengalaman spiritual di ranah batin, atau kadar keimanan diriku dan dirimu. Bukan. Aku membahas soal suasana kumpul keluarga saat Idul Fitri yang makin ga asyik lagi seiring kita beranjak dewasa. Dan ini gara-gara soal duit.

Aku terlahir di keluarga besar yang ga besar-besar amat. Aku cuma punya enam om dan tante, lima orang sepupu (dulu bahkan cuma punya empat), dan aku pikir itu keren. Kenapa? Ya keren aja lihat kakekku yang bisa cuma punya anak tiga di tengah masyarakat generasinya kebanyakan masih meyakini "konsensus" banyak anak banyak rejeki. Kakek nenekku seakan-akan pembangkang pada masanya soal jumlah anak. Sampai akhirnya, setelah beberapa tahun, aku baru sadar gara-gara minimnya anak tadi, minim pula uang salam tempel yang kupanen setiap lebaran saat dibandingkan teman-teman sekolah. Ada kawanku yang kaya raya mendadak setiap Idul Fitri, karena punya 16 om atau 20 tante. Seperti sudah kusinggung di awal, soal duit inilah yang sedang ingin kubahas. Salam tempel merupakan tradisi khas Lebaran Indonesia: bagi-bagi uang dalam amplop oleh anggota keluarga dewasa kepada yang masih ingusan. Usiaku belum genap seperempat abad, aku masih ingat betul indahnya masa-masa lebaran. Baju baru dan kantong penuh uang dari om dan tanteku.

Iklan

Aku menduga, perkara duit amplopan inilah penyebab kekosongan batin selama lebaran beberapa tahunbelakangan. Yakni, ada kaitan dengan statusku yang mulai diwajibkan bagi-bagi uang, bukan lagi menerima salam tempel. Jujur, aku ternyata tidak siap memasuki fase sudah dianggap dewasa, karena bekerja, sehingga akulah yang "mesti" memberi uang kepada adik-adik sepupuku saat Idul Fitri. Kenapa sih bagi-bagi uang saat lebaran seakan jadi sebuah "keharusan" di negara kita? Aku bertanya pada Sosiolog Universitas Indonesia, Nia Elvina. Dia menerangkan konsep uang lebaran sangat terkait pemahaman kebanyakan orang Indonesia soal nilai-nilai kemanusiaan.

"Fenomena tersebut merupakan manifestasi dari nilai 'berbagi' kepada sesama, dan juga manifestasi dari nilai fitrah yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat kita walaupun misalnya makna fitrah dan berbagi jika dikaji lebih dalam tidak hanya sebatas itu, tetapi lebih mendalam lagi," ujarnya kepada lewat sambungan telepon.

Oke, tapi aku masih engga ngerti korelasi antara uang lebaran dan ritual berlebaran. Dulu, kukira salam tempel adalah alasan anak-anak rela berpuasa seharian. Saat usiaku delapan tahun, aku bisa puasa penuh tiga puluh hari. Prestasi itu bikin uang lebaran yang kuterima setara kakak sepupu laki-lakiku. Agak besar, aku mulai merasa dicurangi oleh sistem salam tempel di keluarga besarku. Peraturannya sih ga berubah. Siapa yang puasa sebulan penuh, maka dia akan dapat uang banyak. Masalahnya, mau lulus SD aku mulai menstruasi. Lalu aku mikir, kok kayaknya enggak mungkin ya aku puasa penuh? Kok kayaknya ada bias gender dari "manifestasi saling memberi" ini? Belum lagi ketika jumlah keluargaku yang sedikit dibandingkan dengan jumlah keluarga teman-teman lain yang bejibun. Ngobrolin hasil panen salam tempel di akhir masa SD dan awal-awal SMP terasa menyesakkan buatku. Sejak itu, pelan-pelan, aku membenci salam tempel. Aku tak minta amplop kepada para saudara dan (seingatku) berikrar tak akan mau memberi kalau sudah besar nanti.

Iklan

Lalu, percepat ceritanya sekian tahun, aku resmi disebut sebagai manusia (ehem) dewasa. Anak-anak kecil tetangga datang ke rumah dan sekonyong-konyong meminta uang, padahal di belakangnya orangtua mereka tertawa-tawa. Mereka seakan mendukung cara anak-anak kecil ini meminta uang kepada orag yang tidak dikenal. Mungkin waktu kecil bisa jadi aku kayak mereka…. ah tapi engga kok. Di keluargaku, bocah-bocah kecil dikasih salam tempel, bukan minta. Bukan nodong. Maka, makin tak siaplah aku saat kedatangan segerombolan bocah-bocah yang tiba-tiba minta uang tanpa ada basa-basinya. Secara finansial, aku belum siap (namanya juga baru kerja belum genap dua tahun). Ngumpulin duit buat mudik aja sudah pas-pasan. Aku harus bagaimana melihat bandit-bandit kecil itu menodong minta uang? Salam tempel menempatkanku pada dilema. Haruskah aku ikut melanggengkan budaya bagi-bagi duit tersebut, karena tradisi hanya karena banyak orang melakukannya? Apakah kita sebaiknya nekat berhenti memberi uang pada anak kecil, dengan risiko dianggap medit, pelit, bakhil, dan berbagai cacian lain?

Dua tahun lalu, aku ikut perayaan tahun baru Imlek di Tiongkok yang suasananya sangat mirip lebaran di Indonesia. Hampir semua tradisi yang dilakukan sangatlah mirip! Mulai dari mudik dan pulang kampung ke rumah tetua, pergi ke kuburan saat hari raya, makan besar dan berkunjung ke rumah saudara tertua, sampai tradisi memberi uang juga sama!

Karena alasan itu, agar nanti aku bisa menghindar dan tidak disebut pelit, apa harus aku berdalih memberi "uang THR lebaran" itu tidak sesuai budaya Indonesia, karena mirip tradisi "angpau imlek"? Apa perlu aku bikin diagram alasan begini: salam tempel = angpau = cinaisasi = kejatuhan NKRI. Kalau cara gitu doang berhasil mengakhiri praktik bagi-bagi duit saat Idul Fitri, aku rela mendeklamasikan artikel situs provokatif nahimunkardotcom, berjulul "Darurat Kebangsaan Versus cinaisasi?" atau malah mencurigai tradisi uang lebaran yang mirip angpau imlek ini sebagai "Scenario Jangka Panjang Cinaisasi" seperti?

Duh,sayangnya keluargaku tidak ada yang phobia. Selain itu, alasanku ogah memberi uang lebaran pada ponakan kecil dan anak tetangga akan gagal. Aku mungkin tidak akan medit, tapi dicoret dari KK. Ancaman klasik setiap keluarga di Tanah Air. Oke-oke, for God's sake, iya gue kasih bocah-bocah ini salam tempel.

Asal kalian ingat, kalian membuat seorang karyawan rendahan jebol dompetnya setiap tahun.