FYI.

This story is over 5 years old.

Kencan di Tempat Ekstrem

Aku Menjajal Kencan Pakai Tinder di Korea Utara

Siapa sangka, kencan kami cukup mengesankan selama menjelajahi negara diktator tersebut.
Penulis Nyima Pratten kencan pakai Tinder selama wisata di Korea Utara
Semua foto oleh penulis.

Saya iseng main Tinder pada 2015 lalu di Shanghai. Cowok-cowok yang saya dapati di aplikasi itu kebanyakan sudah saya kenal, Mulai dari mantan pacar, atau pilot yang mengunjungi Shanghai untuk "satu malam saja." Kencan sama ekspatriat di kota ini bukan ide bagus. Mereka cari cewek buat senang-senang dan diajak pesta saja, karena mereka tidak ada niatan tinggal di sini untuk selamanya.

Saya cukup terkejut ketika match dengan Robert*, ekspat asal Inggris yang baru saja pindah ke Shanghai. Setelah chatting, kami memutuskan ketemuan di bar.

Iklan

Kami ternyata memiliki banyak kesamaan. Misalnya saja nih, saya dan Robert sama-sama ingin berkompetisi di Pyongyang Half Marathon. Kalau saya pikir-pikir, memang lebih enak pergi sama orang lain. Selain bagus buat update di Instagram, biayanya juga jauh lebih murah.

Setelah kencan pertama, kami segera memesan paket tur Korea Utara selama tiga hari dan mendaftar di Pyongyang Half Marathon. Ya, kami akan liburan ke sana. Romantis banget, kan?

author in NK

Kami akan terbang naik pesawat Air Koryo. Sialnya, saya malah terlambat datang pas hari keberangkatan. Saya dengan panik meng-SMS Robert, yang bilang kalau gerbangnya sudah ditutup dan dia bakalan pergi sendiri. Dia ternyata bohong.

Setibanya di sana, Robert bahkan belum check-in sama sekali. Apakah saya marah? Oh jelas. Saya langsung kepikiran kalau saya bakal menyiksanya saja di Korea Utara. Bukankah ini kesempatan bagus, mengingat Korut sulit dijangkau dan tidak ada akses internet? Untung, Robert orangnya baik dan menyenangkan, jadi saya tidak dendam sama dia karena sudah menjahiliku.

Pramugari dalam penerbangan kami bukan orang Korea Utara pertama yang pernah saya temui. Sewaktu kuliah di Shanghai dulu, saya satu kosan dengan mahasiswa Korea Utara yang sama-sama mengambil program beasiswa sepertiku. Mereka sering mengenakan pin Kim Jong-Il dan memasak di dapur bersama, serta membangga-banggakan bahan rahasia dari tanah airnya — MSG Korea Utara.

Iklan

Ketika saya memutuskan pelesir ke Korea Utara, ingatan tentang para mahasiswa ini memanusiakan stereotipe Barat yang serba negatif sama Korut. Saya sadar kalau penduduk Korea Utara tidak memiliki suara dalam politik, dan satu-satunya kesempatan mereka melihat dunia luar yaitu dari kunjungan turis asing. Tapi, itu bukan alasan utamaku mengunjungi negara ini. Saya juga tertarik menjelajahi negara tetangga Cina yang asing ini.

NK

Kencan kami di Korea Utara diwarnai oleh euforia rencana berlari maraton di stadion nasional yang penontonnya serentak tepuk tangan dan kekhawatiran kalau kami bakal keracunan makan. Perasaan selalu diawasi oleh pemandu wisata yang ditugaskan oleh pemerintah Korut, dibuntuti juru kamera, dan curiga ada kamera tersembunyi di kamar juga menambah kengerian kami.

Salah satu pemandu kami menyadari kalau saya ras campuran. Dia bilang kepadaku kalau mereka yakin ras lain sebaiknya tidak punya keturunan, yang langsung mengurungkan ucapannya ketika menggumam kalau saya pasti kebal dari penyakit virus. Saya enggak tersinggung. Masyarakat Korea Utara sangat homogen, dan mereka tidak memahami dunia luar.

Kelompok tur wisata kami kembali ke hotel sore hari. Kami tidak diizinkan kelayapan sampai keesokan harinya. Satu-satunya hal yang bisa kami lakukan yaitu pergi ke bar. Kami menenggak bir sambil membongkar aspek “surga sosialis” yang telah kami lihat hari ini.

Saya terkejut dan menyadari kenaifan saya ketika melihat berita tentang mahasiswa Amerika, Otto Warmbier, yang ditangkap di Pyongyang atas tuduhan mencuri poster propaganda dari kamar hotelnya dua tahun lalu. Warmbier dipulangkan ke AS dalam keadaan koma, setelah 17 bulan dipenjara. Dia meninggal enam hari sesudah pulang. Dia dikabarkan mabuk ketika mencuri posternya. Saya baru menyadari risiko apa yang mungkin akan kami hadapi berkat berita ini.

Iklan
NK

Perselisihan antara pemerintah AS dan kepemimpinan Korea Utara mencapai puncaknya tahun lalu. Seluruh dunia takut akan konsekuensi dari sikap kekanak-kanakan dua pemimpin yang membandingkan ukuran roketnya. Januari ini, pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un melakukan kunjungan mendadak ke Beijing, yang tampaknya merupakan langkah provokasi untuk Presiden Trump, dengan memamerkan hubungan bilateral yang kuat dengan Cina di tengah perang dagang AS-Cina. Korea Utara sedang di ujung tanduk. Ironisnya, banyak warga Korut yang tak sadar betapa dekatnya mereka dengan keruntuhan. Pertemuan kedua antara Trump-Kim dikabarkan akan berlangsung di Vietnam pada Februari 2019. Tak ada yang berani membayangkan apa yang akan terjadi saat mereka bertemu nanti.

Kurangnya informasi akurat soal kehidupan sehari-hari di negara ini membuatku yakin kalau apa yang mereka tunjukkan kepada kami belum tentu sesuai realitanya. Saat sedang lari maraton, saya sempat melihat laki-laki yang mengenakan jaket terang seperti pejabat mengatakan sesuatu kepada kerumunan berekspresi datar yang berjejer di sisi jalan sebelum mereka bertepuk tangan dan bersorak-sorai.

Kencan Tinder kami di Korea Utara diwarnai oleh foto propaganda Kim Jong-un, kamar hotel apak bergaya 70-an, dan berbagai pertanyaan yang ingin kami cari di Google.

Korea Utara jelas bukan pilihan ideal bagi sepasang muda-mudi yang mau memulai hubungan percintaannya. Jujur saja, orang-orang di sana mengira kalau saya dan Robert itu kakak-beradik. Meskipun tidak lanjut pacaran, kami tetap berteman dekat.


*Nama pasangan kencanku telah diubah untuk menjaga privasinya.

Follow Nyima Pratten di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.