Upaya menyisipkan butiran kayu ke bawah kulit penis, demi menjanjikan peningkatan daya seksual penghuni penjara, sering beredar dalam percakapan antar lelaki. Bahkan ada forum internet khusus membahas topik tersebut. Namun benarkah itu semua dilakukan oleh narapidana? Jika kalian bertanya pada saya, seorang penghuni lapas di kawasan Bandung, saya akan menjawab: praktik penis bertasbih itu nyata sekali.
Penis bertasbih adalah produk otentik penghuni penjara. Budaya dan tradisi yang muncul dari sesama pesakitan. Mereka yang melakukan ini dipastikan pernah menghuni penjara. Atau setidaknya mempunyai teman yang pernah menghuni lembaga pemasyarakatan.
Videos by VICE
Penis bertasbih adalah batang penis yang kulitnya ditanami asesoris atau manik-manik yang menyerupai bulatan tasbih. Jangan dibayangkan manik-manik itu betulan dari kayu jika kita bicara apa yang terjadi dalam penjara di Tanah Air. Bulatan aksesoris ini biasanya diganti oleh batang sikat gigi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tasbih.
Pemasangan tasbih ke dalam penis bukan budaya spesifik di lapas Indonesia. Sekira enam persen penghuni penjara di dua negara bagian Australia, ambil contoh, juga melakukannya. Praktik ini tentu saja berbahaya. Risiko infeksi dan pendarahan mengintai lelaki nekat yang coba-coba memasangkan benda asing ke alat vitalnya.
Kalau memang prosesnya menyakitkan dan berbahaya, kenapa narapidana tetap nekat? Semua ini konon dilakukan demi meningkatnya kemampuan lelaki mendominasi pasangan di atas ranjang. Bagaimanapun, tidak ada temuan ilmiah menjustifikasi pemasangan ‘tasbih’ ke lapisan kulit penis akan meningkatkan kondisi seksual seseorang.
Setidaknya, setelah ngobrol bersama tahanan yang melakukan praktik ini, logika pemasangan tasbih mirip dengan bentuk kondom atau dildo bergerigi yang dijual bebas di pasaran.
Tonton dokumenter VICE mengenai pertarungan narapidana di Thailand demi memperoleh remisi:
Berhubung sedang di dalam penjara, saya mewakili VICE Indonesia berkesempatan mewawancarai satu narapidana yang juga mengaku penisnya ditanami tasbih, dan satu lagi yang ahli menanam tasbih.
Atas alasan keamanan dan menghindari penindakan sipir, nama asli keduanya tidak bisa ditampilkan. Narapidana yang memasang tasbih di penis kita sebut saja Seto, sementara sang perajin akan diberi nama Catur untuk artikel ini.
Berikut cuplikan obrolan kami:
VICE: Halo bung, motivasi apa yang membuatmu berani menanam tasbih di penis?
Seto: Berawal dari rasa penasaran sebetulnya. Karena saya sudah lama mendengar mengenai hal ini. Saya rasa tidak ada salahnya juga mencoba [tertawa].
Sudah berapa kali memasang tasbih macam ini?
Seto: Tiga kali. Dua pertama malah saya pasang di luar penjara. Tapi memang orang yang memasangkannya suka keluar masuk penjara. Residivis.
Memangnya sudah dipraktikkan sendiri manfaat pasang tasbih di alat vitalmu?
Seto: Sudah dong. Buat apa dipasang kalau tidak dipakai. Hahaha.
Mari beralih ke Bung Catur. Bagaimana anda dulu belajar memasang ‘tasbih’ ke penis sesama tahanan?
Catur: Awalnya saya belajar dari yang sudah bisa. Dengan melihat dan mengamati. Lalu saya mencoba sendiri. Ternyata tidak terlalu sulit seperti yang saya bayangkan. Saya sudah menanam tasbih di puluhan penis. Lupa persisnya. Di bawah lima puluh yang pasti. Dimulai sejak 2013. Tahun pertama saya masuk penjara.
Apakah memang kayu tasbih yang anda masukkan di bawah kulit? Bagaimana mendapatkan bahan bakunya dalam penjara?
Catur: Idealnya begitu, dengan bahan tasbih betulan. Tapi karena ada permintaan khusus mengenai ukuran dan lain sebagainya maka saya sering memakai bahan menggunakan batang sikat gigi. Atau batu akik juga bisa.
Kenapa sikat gigi?
Catur: Tidak ada alasan khusus. Sikat gigi kan setiap orang punya. Bahan sikat gigi juga relatif mudah dimodifikasi sesuai keinginan. Bahannya juga paling pas.
Apakah ada rekan napi yang komplain dengan hasil kerjaan Anda?
Catur: Sejauh ini belum. Mungkin lebih ke tidak puas dengan ukuran tasbih. Terlalu besar atau terlalu kecil. [Sambil beralih ke Seto] Pasanganmu komplen enggak? Hahaha.
Sebagai pengrajin tasbih untuk alat vital, apakah anda tahu sejak kapan tradisi ini bermula di dalam penjara?
Catur: Jujur saya tidak tahu persis. Sejak kecil saya sudah mendengar hal ini. Hingga saat ini rupanya masih berlangsung.
Apakah mungkin narapidana melakukan tindakan berbahaya ini karena bosan? Berapa biaya sekali pasang? Berapa lama proses pemasangan?
Catur: Buat saya ini sih penghasilan tambahan. Biaya hidup di penjara mahal. Saya tidak mematok biaya. Tapi [biaya jasa] di kisaran Rp150 ribu sampai Rp200 ribu biasanya. Prosesnya pun tidak lama. Kurang lebih setengah jam. Sama lah kayak ditindik kuping. Kalau disebut mengisi bosan, saya tidak tahu. Mungkin mereka ingin melakukan hal yang baru dan belum pernah dilakukan di luar penjara. Semacam oleh-oleh dari penjara.
Apakah praktik ini legal di lingkungan penjara?
Catur: Tentu tidak boleh. Sama seperti tato. Tidak boleh. Saya tidak tahu alasan pastinya. Mungkin karena berbahaya. Tapi di situ kan seninya, hahaha.
*Chandra Setiadji adalah penghuni lapas di kawasan Bandung. Atas alasan serupa seperti narasumber, nama aslinya disamarkan untuk penulisan artikel ini