Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.
Oleh: Emily Odesser
Videos by VICE
Waktu saya cerita ke kawan-kawan bahwa saya belum pernah nonton Titanic, mereka terkejut bukan main. “Lah, elo seriusan belum nonton?” tanya mereka, lalu berhenti, sebelum mengimbuh: “Tapi elo tahu kan film ini tentang apa?”
Ya, saya tahu kok film ini tentang apa (lengkap dengan sejarahnya). Intinya begini, kan: cowok ketemu cewek di kapal (si cowok ganteng tapi kere, sedangkan si cewek cakep banget tapi ketajiran), mereka berdua lalu jatuh cinta, si cowok mikir dia lagi terbang, si cowok ngelukis cewek, gunung es (jenjeng!), si cewek enggak pengin lepas, si cowok beku, Celine Dion nyanyi.
Saya tahu, kok, di film ini Leo ganteng banget. Saya kesemsem sama LDC pas masih muda, dan saya hapal dialog-dialog dalam film ini, dan tahu betapa seringnya orang-orang ngomonin film ini. Saya enggak dengan sengaja menghindari film ini; emang belum pernah kesampaian aja—terutama setelah saya mengemban misi feminis untuk mengonsumsi seni ciptaan perempuan/ femme setahun lalu.
Titanic ditulis dan dibesut oleh seorang laki-laki. Jadi, saat malam hari saya kepengin nonton film, saya enggak pernah terdorong menontonnya. Tapi, hari ini adalah perayaan ulang tahun ke-20 film itu. Jadi, setelah setahun setengah saya secara khusus mengonsumsi seni ciptaan perempuan dan femme, saya duduk dan nonton film itu pakai akun Amazon Prime nenek saya.
Di bawah ini, kamu bisa lihat screenshot dan rekam waktu yang mendampingi kesan-kesan saya menyaksikan “kisah cinta teragung sepanjang masa.”
0:32:33: Saya punya daftar dialog terkenal dari film ini, dan saya udah mencentang yang pertama (“I’m the kind of the world!”), jadi ini saat yang baik buat catch-up. Intinya, sih, sekelompok pencari harta karun menemukan gambar tak senonoh seorang perempuan di dasar bangkai kapal laut, dan di situ penonton tahu bahwa subjek foto mengenakan kalung yang diinginkan para pencari harta karun. Saat mereka menunjukkan temuan mereka ke media, subjek gambar tersebut, Rose, mengenali dirinya di TV dan kemudian menemui mereka. Dia berusia 101 tahun tapi ingatannya masih tajam, dan sembari dia menceritakan kisahnya, penonton bisa menyaksikannya “langsung”.
Pada usia 20 tahun, Rose sudah tunangan, murung bukan kepalang, dan ketajiran—seperti dugaanku! Saking tajirnya, dia punya sekelompok asisten rumah tangga yang siap memboyong lukisan-lukisan Picasso dan Degas miliknya. Dan—ini rada malesin sih—dia sempat menyebut kapal Titanic “kapal budak.” Dasar skena kemewahan.
Di sisi lain, Jack Dawson yang diperankan LDC juga seumuran, meski hidupnya berbeda 180 derajat. Jack adalah cowok yang jago ngemeng, doyan judi, dan berkulit cerah (kayak model Glossier gitu deh)… yang memenangkan tiket naik kapal di detik-detik terakhir. Saya tahu, sih, pembuat film ini mencoba membuat dikotomi antara kedua karakter, tapi kecerobohan dan hedonisme si Jack ini rada lebay deh. Maksudnya, kalau kamu mendapatkan kesempatan naik kapal paling ekslusif di dunia secara cuma-cuma, kamu bakal lebih sayang nyawa, kan? Eh, dia malah berdiri di busur pagar, teriak-teriak bahwa dia raja dunia.
Lebay. Sedangkan si Rose mendekam di kabin bersama tunangannya yang asu, Cal.
0:39:17: Ya, semuanya lancar-lancar aja dan Jack/Rose udah saling mupeng. Sementara itu, semua orang memastikan bahwa tidak boleh ada interaksi antara Rose (yang duitnya enggak berseri) dan Jack (yang enggak ada duit sama sekali). Tapi, enggak berapa lama kemudian Rose turun ke lorong, nangis-nangis, dan Jack sadar si Rose mencoba loncat dari kapal.
Mereka belum pernah ngobrol, tapi Jack berhasil mengambil langkah preventif bunuh diri terburuk yang bisa dipikirkan seseorang: main berani-beranian. Karena ini film romantis, ya bisa-bisa aja sih, dan karena Jack sangat memesona, dia dapat undangan makan malam bersama keluarga Rose yang tajir melintir. Mengerikan sih bahwa film ini menggunakan percobaan hampir-bunuh diri sebagai katalis romantis, dan saat mereka berdua udah ketemu, pemulihan Rose bukan lagi menjadi fokus.
0: 58:44: Tampaknya, Jack bakal jadi manic pixie dream boy buat Rose. Dia nunjukin Rose gambar-gambar erotis buatannya dan mereka merencanakan kencan naik kuda di California (kemudian si Rose bilang: “Teach me how to ride like a man… and spit like a man” hhh yaelah mb) sebelum mereka pergi makan malam. Dia mendapatkan perombakan penampilan—klise abis—dan kita bisa nonton tegangan seksual antara Jack dan Rose saat Cal yang hipermaskulin dan cemburu mencoba merendahkan Jack berulang kali. Sepasang kekasih itu menghadiri pesta di bawah deck di mana mereka menumpahkan banyak sekali bir (dialog Rose selanjutnya yang bikin cringe adalah “What, you think a first class girl can’t drink?”) dan mereka main-main sementara pelayan Cal memata-matai mereka.
1:10:53: Ya, fixed deh. After-effects percobaan bunuh diri Rose diabaikan sepenuhnya. Sejam selanjutnya kita nonton Rose jatuh cinta sama si Jack. Rose kekeuh sementara semua orang mencoba mengontrolnya—Cal tuh agresif banget deh (entar saya lanjutin) dan ada adegan yang simbolis banget saat ibunya mencoba mengikatkan korset dan menceramahinya soal masa depan keluarganya.
1:21:21: Jack, yang romantis itu (haha), masuk ke wilayah orang-orang kaya, dan narik Rose masuk ke dalam sebuah kamar, dan menampilkan monolog yang intinya sih bilang: “Elo gengges banget dan ripuh, meski begitu, gue masih suka sama elo.” Ya, ya. Mantep bang. Si Rose membalas Jack dengan kalimat: “It’s not up to you to save me,” yang kemudian diabaikan saat dia menemukan Jack di busur pagar, bilang dia cinta Rose, dan mengaku bahwa Rose berubah pikiran, Jadi, dia nge-ssssht Rose, menyuruhnya menutup mata, membuatnya memanjat busur pagar dan “terbang” berduaan. (Ini bukan eufimisme.)
Jack tuh, ya, benar-benar enggak peduli soal keselamatannya. Dan mungkin bukan ide bagus untuk main sama Rose di pinggir kapal, mengingat dia pernah mencoba bunuh diri. Anyway, saya tahu adegan ini seharusnya menjadi indah dan tak lekang waktu, tapi dialognya jijik banget dan reaksi mereka lebay—jadilah alih-alih terbuai, saya jadi ngakak-ngakak.
1:25:40: Ada kilasan cepat untuk mengingatkan kita bahwa kisah cinta yang indah nan tidak realistis ini akan amblas dan mereka semua bakal mati, lalu kita kembali ke drama. Akhirnya, ini waktunya saya menyaksikan langsung adegan yang ternyata sering keliru saya kutip: saat Rose mendapatkan potretnya. Saya ingat sebuah masa di awal kuliah, setiap saya lagi berbaring saya bakal berkelakar, “draw me like your French girls” dan untungnya ya gusti fase itu udah kelaaar. Kalau saya jadi Rose, bakal frustrasi banget harus baring selama itu! Tapi itu momen pemberdayaan bagi Rose dan saya senang dia mendapatkan “pengalaman erotis” di mana dia yang pegang kendali. Intinya, adegan itu terasa lebih lembut dan vulnerable ketimbang seksi. Satu-satunya pertanyaan saya adalah, apakah mereka menyewa pengganti tangan atau LDC emang jago gambar.
1:40:05: Sekarang mereka udah cinta banget dan dikejar-kejar ke seluruh kapal oleh pelayan Cal, Lovejoy. Mereka sempat-sempatnya ngewe di sebuah ruangan setelah berhasil menghindari LJ. Saya gugel dan ternyata adegan ini dianggap sebagai salah satu adegan seks terbaik di film—lah? Tapi, saya ngobrol dengan beberapa kawan dan kami semua sepakat bahwa adegan itu terlalu berkeringat dan enggak ada erotis-erotisnya sama sekali. Kesannya malah enggak nyaman dan lepek. Selain itu, mereka tampak lebih menikmati kejar-kejaran di dalam kapal ketimbang seks itu sendiri.
Setelah ngewe, mereka kembali ke spot awal saat mereka berjumpa pertama kali. Jack dan Rose ciuman, dan kamera menyorot kru kapal yang baru menyadari gunung es di hadapan mereka. Mereka berupaya sekuat tenaga untuk banting setir—saya enggak tahu apakah kapten kapal tahu soal gunung es sejak dulu—tapi mereka terlambat. Kapal dan gunung es bertabrakan.
1:48:16: Air mulai menggenangi deck, dan Jack dan Rose enggak sengaja mendengar para kapten membahas kerusakan kapal. “This is bad,” kata Jack, lalu mereka mencoba memperingatkan keluarga Rose sebelum terlambat.
Tapi Cal, karena udah putus asa, mengacak-acak kamarnya sendiri dan juga brangkasnya supaya dia bisa menjebak Jack atas perampokan. Jadi saat Jack dan Rose turun ke bawah, Lovejoy memasukkan barang berharga Cal ke dalam kantung Jack, dan kemudian dia ditangkap. Cal ngomel-ngomel dan misoginis abis saat dia menyebut Rose “a thing,” menamparnya dan memanggilnya lonte. Pentonton tahu, ada satu jam sebelum kapalnya karam, jadi para kru kapal mencoba memastikan semua penumpang mengenakan jaket keselamatan. Tapi, adaaaa aja kendalanya. Jack diborgol dan diseret ke lantai bawah oleh Lovejoy.
2:49:44: Yak, chaos dah. Di awal film, penonton tahu cuma ada segelintir perahu karet untuk mengakomodasi setengah penumpang kapal—kru tersebut harus menghadapi kenyataan bahwa tujuan estetis mereka bisa mengakibatkan banyak orang tewas. Ada banyak adegan orang panik dan putus asa yang intens banget, sampai-sampai saya harus mengambil jeda dan bersumpah enggak akan naik kapal lagi.
Orang-orang kere terkunci di lantai bawah dan menyadari mereka akan mati, tapi orang-orang kaya bahkan enggak ngeh kalau kematian ada di ujung pengkolan. Cal juga masih gedek sama hubungan Jack dan Rose, sampai-sampai saat Rose membuka borgol Jack, si Cal mengabaikan kesempatannya naik ke perahu karet, lari ke lantai bawah, menyeberangi banjir, dan mencoba menembaki sang sepasang kekasih. Film ini juga menampilkan misogini sekadar supaya ada; film-film feminis (kejutan!) ternyata lebih realistis dalam menampilkan pola pikir laki-laki yang penuh kekerasan, sementara Titanic mah lebay doang.
Empat puluh menit terakhir berisi orang-orang tenggelam dan membeku dengan cara yang berbeda-beda. Cal teruuuus aja jadi asshole. Tidak ada pelajaran sejarah penting soal upaya penyelamatan Molly Brown, dan tentunya, Jack mati membeku. Keke Palmer benar. Film ini berakhir dengan Rose di zaman modern membuang kalungnya ke air—mungkin supaya bisa bergabung dengan Jack dan bangkai kapal? Entah.
Titanic dapat rating 6 dari 10, deh, dari saya. Dialognya norak betul dan karakter-karakternya satu dimensi thok. Tapi, ya, sinematografinya cakep. Rose cukup menarik untuk dianalisis (meski saya enggak kepengin mendukung Kate Winslet sejak komentarnya soal Woody Allen), dan hal ini mengajarkan saya soal kisah kapal itu dibandingkan pelajaran sejarah manapun.
Ngomong-ngomong, boleh ya saya kasih beberapa alternatif judul buat Titanic:
– Lovejoy Will Tear Us Apart
– Cowok Mengeksploitasi Trauma Perempuan Uzur Untuk Tujuan Kapitalis
– Si Tajir Mr Clarke Dari Stranger Things dan Daddy Warbucks dari Annie (Disney) Merusak Segalanya
– Bunuh Diri Sebagai Perangkat Romantis
– Kamu Enggak Bakal Mau Naik Kapal Lagi