FYI.

This story is over 5 years old.

edm

Lirik-Lirik Musisi EDM Sekarang Lebih Nelangsa Daripada Emo

Kepanjangan EDM kayaknya harus diubah jadi Emotional Dance Music.

Artikel ini pertama kali tayang di THUMP UK.

I had a dream
We were sipping whiskey neat
Highest floor, The Bowery
Nowhere's high enough
Somewhere along the lines
We stopped seeing eye to eye
You were staying out all night
And I had enough

Stanza di atas bukan berasal dari karya penyair kontemporer. Lirik-lirik ini juga tidak dicuplik dari cerita-cerita nelangsa khas penyanyi folk Sun Kill Moon. Lirik ini, Bung dan Nona, diambil dari Lirik Kygo. Ya artis EDM itu. Engga percaya, coba lihat sendiri deh:

Iklan

Narator dalam lirik ini menderita semacam isolasi eksistensial. Uniknya, bukan cuma Kygo musisi elektronik yang tertarik melakukan introspeksi diri.

"I am fire gasoline, Come pour yourself all over me, We'll let this place go down in flames only one more time." Bagian ini juga tidak dinukil dari sebuah puisi. Syair tentang dorongan emosi untuk menghancurkan bisa kamu temukan di single Zedd terbaru: "Stay The Night".

Tak mau ketinggalan Dua Lipa di single Martin Garrix "Scared To Be Lonely," juga bernyanyi dengan sangat emotif. "Where was the real? Undefined, spiraling out of touch, Forgot how it feels."

Lalu simak lirik berikut: "Sitting in the living room, You look at me, I stare at you, I see the doubt, I see the love." Jika kamu pikir ini diambil langsung dari terjemahan karya penyair kacangan, kamu kecele. Percayalah itu semua lirik buatan MØ di album barunya, yang kini dirilis oleh Snakehips record.

Kesimpulannya, ada tren baru di ranah EDM. Musik elektronik arus utama berusaha keras terdengar serius. Belum jelas kenapa tren ini terjadi. Barangkali, para punggawanya ingin menjauhkan EDM dari citra musik remeh buat party doang. Yang menarik, strategi para produser EDM—terutama mereka yang sangat peduli dengan posisi single di tangga lagu—adalah mengimbuhi singlenya dengan lirik-lirik emo, tak jauh beda dari lirik sendu The Used atau Taking Back Sunday. Kami sih usul ada penyebutan genre baru: Emotional Dance Music.

Iklan

Generasi produser "Emo-DM" ini menyuguhkan lirik-lirik penuh emosi yang meledak-ledak, bercerita tentang cinta yang menyesakkan, patah hati, dan perjalanan keliling dunia dengan sepenuh hati. Mereka mencoba mengobrak-abrik emosi pendengarnya menggunakan lirik puitis sendu atau tema-tema drama, seperti yang tampak dalam single baru Clean Bandit. Bisa jadi bagi generasi produser ini, single EDM itu tak cukup cuma bikin pendengarnya mengangkat tangan dan mengoyang badannya. Single yang bagus, bagi produser Emo-DM ini, harus juga bikin pendengarnya ikut merasa terpuruk secara emosional.

Musik Pop lazimnya memang terus melahirkan tren. Tapi, biasanya tren seperti mewujud dalam gaya produksi, videografi dan dresscode. Tren terbaru di ranah EDM justru berkisar di narasi lirik. Kini, mata produser EDM tak sepenuhnya terpaku pada kaum doyan pesta yang ada di depan hidung mereka. Yang menarik bagi produser EDM kini adalah jeritan hati dan kondisi manusia. Mantab jiwa!

Jika disejajarkan, karakternya menyerupai lirik-lirik sendu dari genre lain, emo misalnya. Narasinya mirip abis. Tokohnya ketebak, selalu seorang gadis dan perjaka—kulit mereka coklat gara-gara sering tanning dan struktur tulang mereka bikin kamu berdecak kagum. Pokoknya mereka adalah pasangan ganteng dan cantik, yang cuma punya satu masalah: dunia mereka tengah runtuh, hancur lebur. Dalam narasi-narasi itu, ada memori kabur dari pesta semalam dan penyesalan yang tersisa. Mungkin, kedunya sempat "menenggak pil di Ibiza" dan kini mereka merasa lebih sepuluh tahun dalam sekejap. Mungkin mereka mabuk habis-habisan karena hidup memang lagi sepet-sepetnya, seperti yang dirasakan oleh Justin Bieber dalam "Cold Water." Drama yang dibangun dalam narasi ini momen depresif—baik itu yang sifatnya emosional atau kimiawi. Oh jangan lupa, selalu ada balconi dalam tren lirik-lirik EDM termutahir ini.

Iklan

Tapi jangan buru-buru menyimpulkan bahwa ini narasi semua umat manusia di dunia. Sebaliknya, ini adalah kisah pedih mereka yang memiliki privilese. Jadi sebenarnya, ini ironis: EDM yang berusaha dianggap serius malah gemar mendokumentasikan problema cinta kaum elit 1 persen (kita tahulah, yang betul-betul menjiwai genre ini kan orang kaya doang).  Emotional Dance Music pada akhirnya mengurusi problema hidup mereka yang terbangun di penthouse di Manhattan dengan basian sisa pesta semalam. Sesaat kemudian, sang lakon untuk sadar bahwa hubungannya dengan orang yang kerap dikirimi foto bugil lewat snapchats tengah berada di ujung tanduk. Orang-orang ini lah yang menurut produser EDM generasi baru ini harus diberi dukungan moral.

Semaua analisis tadi membuat kita—mau tak mau—membicarakan The Chainsmokers. Dua orang laki-laki macho yang tampak seperti tukang bully—kini jadi produser paling kesohor di genre electro pop.

Chainsmoker berhasil menciptakan cetak biru Emotional Dance Music dalam "Paris." Single yang bertengger di tangga lagu Inggris ini mempunya semua karakteristik yang saya sebut di atas: nelangsa ditinggal pasangan, mabuk-mabukan dan tujuan plesiran yang jauhnya tak terkira serta tentu saja balkoni. Usaha Chainsmoker untuk terkesan serius malah hancur berantakan. Yang ada, liriknya terasa sangat surreal. Contohnya, perhatikan kalimat yang muncul di awal video mereka ini: "Paris \ pa-rəs \ n 1: a sentimental yearning for a reality that isn't genuine 2: an irrecoverable condition for fantasy that evokes nostalgia or day dreams." Pendekatan yang diambil The Chainsmokers untuk terlihat pintar bahkan belum bisa dibilang sekadar copy-paste. Yang mereka lakukan cuma memasukkan kata-kata yang kedengarannya keren dan menara Eiffel lalu lihat mana yang pas.

Iklan

Ya kira-kira seperti itu.

Di samping itu, The Chainsmokers juga memamerkan ketidakkonsistenan, kalau bukan kemunafikan, di jantung EDM yang tengah berusaha jadi emosional. Di awal lagu, dua produser ini menjanjikan "If we go down then we go down together," Tapi, jangan lupa kedunya pernah getol banget   ngomong "Bahkan sebelum sukses, ngewe itu udah biasa." Tentunya rasanya absurd mendengar orang yang seperti tak pernah bosan "gituan" tapi di kesempatan lain, orang yang sama merilis album yang berisi lirik-lirik yang mengasihan diri sendiri. Mendingan Mick Jagger kemana-mana. Setidaknya aki-aki rock n' roll satu itu konsisten. Konsisten bajingannya.

Inilah kenapa eksistensi EDM menjadi menyebalkan. Narasi-narasi seputar putus cinta dan perjuangan hanyalah sekedar fantasi lelaki kulit putih belaka. Perempuan dianggap sebagai bidadari jatuh dari surga yang kemudian terlalu asik berpesta dan tidak menghiraukan cinta sang lelaki. Sementara semua lelaki digambarkan sebagai seniman yang tersiksa. Sama seperti karakter millennial Danielle Steel, musisi EDM penuh delusi dan sok-sok 'menderita' ketika tahu bahwa anda akan merasa kesepian ketika ngetop—sama seperti Drake, cuman lagunya gak enak. Konten lirik EDM masa kini kebanyakan mengandalkan mitos  bahwa penderitaan itu menarik, bahwa produser-produser penuh previlesi ini layak menjadi sosok protagonis dan depresi adalah bentuk dari kedewasaan artistik. Dengerin aja lagu "I Took a Pill in Ibiza," sebuah lagu setengah hati tentang seseorang yang sedang introspeksi diri dan mulai berpikir "mungkin partying terus gak sehat buat kesehatan mental gue ya?"

Kancah EDM itu dulu kekanak-kanakan. Isinya orang-orang mengenakan kostum konyol dan lempar-lemparan kue. Sekarang EDM mungkin ibaratnya mulai masuk fase remaja dan tenggelam dalam rasa mengasihani diri sendiri ditambah drama-drama gak penting masa muda. Berikutnya lirik EDM jadi kayak gimana dong? Membahas krisis paruh baya om-om usia 30-an?