Pilgub DKI Berlangsung Dibayangi Masa Depan Suram Pluralisme
Foto oleh DFAT

FYI.

This story is over 5 years old.

Pilgub DKI

Pilgub DKI Berlangsung Dibayangi Masa Depan Suram Pluralisme

Para calon gubernur mencoblos di TPS masing-masing. Pembelian suara dikhawatirkan terjadi dalam berbagai modus, bukan hanya pemberian uang tunai.

Nyaris tujuh juta warga DKI Jakarta memperoleh hak pilih dalam Pemilihan Gubernur yang berlangsung Rabu (15/2) pagi waktu setempat. Sebenarnya di tanggal tersebut berlangsung pemilihan kepala daerah serentak di enam provinsi lainnya. Namun Pilgub DKI yang lebih banyak disorot karena berbagai alasan. Pertama tentu saja karena konsentrasi media massa yang berada di Ibu Kota, alasan kedua dipicu masa depan kemajemukan Indonesia kini dipertaruhkan dalam pilgub ini. Masa kampanye dua bulan terakhir diwarnai sentimen negatif terhadap ras dan agama minoritas, baik di media sosial maupun aksi unjuk rasa umat agama tertentu.

Iklan

Berdasarkan pantauan lapangan, masing-masing calon sudah menggunakan hak pilihnya. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sang petahana yang oleh beberapa lembaga survei diprediksi akan unggul, menggunakan hak suaranya di TPS 54, Pluit, Jakarta Utara. Agus Harimurti Yudhoyono, putra pendiri Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, menggunakan hak pilih di TPS 6 Rawa Barat, Kebayoran Baru. Adapun Anies Baswedan, kandidat nomor tiga yang diusung oleh Prabowo Subianto, mencoblos di TPS 28, Cilandak, Jakarta Selatan. Sejauh ini, tidak ada insiden berarti sejak TPS dibuka pukul 06.00 WIB hingga berita ini dilansir. Hanya ada keributan kecil ketika wartawan diusir dari TPS 17 Petamburan, Jakarta Barat, yang lokasinya dekat sekali dari markas Front Pembela Islam. Sosok pria mengaku FPI yang mengusir para pewarta mengklaim organisasinya putus hubungan dengan wartawan karena sang pemimpin, Rizieq Shihab, kerap difitnah media massa. Kembali lagi soal persaingan tiga pasangan calon. Masing-masing kandidat mewakili kepentingan elit politik tingkat nasional. Posisi Gubernur DKI semakin penting dalam perpolitikan nasional, karena dianggap akan membuka jalan bagi siapapun yang berniat memenangi pemilihan presiden 2019 nanti. Masing-masing elit ingin mengulang formula sukses Joko Widodo yang melenggang ke Istana Negara, kurang dari tiga tahun setelah menjabat Gubernur DKI pada 2012.

"Semua elit memanfaatkan pilgub DKI sebagai perang proxy. Ini kan sebetulnya Jokowi vs Prabowo vs Yudhoyono," kata Yohanes Sulaiman, pengamat politik sekaligus akademisi Universitas Jenderal Achmad Yani. "Kepentingan ketiganya yang paling dominan, melebihi isu-isu lainnya."

Iklan

Lembaga-lembaga survei politik kredibel sejauh ini memperkirakan pasangan Ahok-Djarot Syaiful Hidayat akan maju ke putaran kedua menghadapi Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Tidak ada yang meyakini pemilu berlangsung satu putaran saja. Ahok memimpin dengan 38,2 persen dukungan responden, sedangkan Anies menguntit dengan dukungan 35,4 persen. Agus yang sempat unggul pada awal tahun, kini melorot ke urutan ketiga dengan 19,4 persen. Dengan skenario tersebut, perdebatan sektarian dikhawatirkan bakal menguat. Pangkal semua keributan menjelang Pilgub DKI adalah komentar Ahok soal surat Al Maidah di Kepulauan Seribu tahun lalu. Akibat kata-katanya yang dituding melecehkan agama Islam, Ahok kini harus menjalani sidang. Unjuk rasa, serangan terhadap status Ahok sebagai penganut Kristen dan keturunan Tionghoa, diyakini akan terus berlanjut jika sang gubernur petahana lolos ke putaran selanjutnya. Perkembangan sidang yang membelit Ahok juga masih bisa mempengaruhi persepsi pemilih, membuat proses Pilgub DKI kali ini berlangsung sangat dramatis. Di DKI Jakarta, kandidat harus meraup suara 50 persen plus satu persen untuk memenangkan pemilihan kepala daerah. Alhasil, permainan sentimen ras dan agama masih sangat kuat terutama menyasar pemilih menengah ke bawah.

"Skandal penistaan agama ini mengubah keadaan, seperti isu kebocoran email Hillary Clinton membuatnya kalah dalam pemilu AS. Hal seperti itu juga yang dialami Ahok. Isu ini akan diulang dan diulang terus," kata Yohanes.

Iklan

Putaran kedua berlangsung paling lambat April mendatang. Dinamika suara ini masih terus dipantau oleh lembaga survei. Muhammad Qodari, dari Indobarometer, menyatakan masih bisa terjadi kejutan di hari H seperti sekarang. "Pada survei 2012, Fauzi Bowo dinyatakan unggul semua lembaga. Nyatanya Jokowi yang kemudian menang," ujarnya.

Dengan kompetisi ketat seperti ini, Indonesian Corruption Watch (ICW) memperingatkan risiko pembelian suara oleh tim sukses masing-masing kandidat. "Ada kemungkinan mereka akan melakukan segala cara, termasuk membeli suara, untuk melewati putaran satu pilgub," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz.

Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta juga memperoleh indikasi serupa. Sejauh ini belum ada laporan bagi-bagi uang dari tim sukses, namun praktik pembelian suara berlangsung dalam modus berbeda.

"janji itu kan bisa saja ada dua. Pertama dia memang menjanjikan menggunakan uang pribadi untuk membangun sesuatu, atau bisa saja dia menjanjikan pembangunan itu berasal dari APBD sebagai bagian dari program kampanye," kata Ahmad Fahrudin, Anggota Bawaslu DKI Jakarta saat dihubungi VICE Indonesia.

Sejauh ini Bawaslu DKI sudah menerima 105 laporan dan temuan pelanggaran sampai 1 Februari. Kebanyakan adalah pelanggaran kampanye. Data ini melonjak dari 74 laporan dan temuan pada akhir 2016.

Tim Bawaslu DKI akan mengirim pengawas ke TPS-TPS rawan. Prioritas utama adalah apartemen. "Karena kita khawatir ada pemilih yang tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap," kata Fahrudin. Tim ini juga mengawasi rumah tahanan dan daerah bekas penggusuran. "Penduduk yang direlokasi biasanya tidak memiliki identitas sesuai."

Qodari optimis pembelian suara tidak akan mempengaruhi hasil pilgub DKI. Pemilih Jakarta dianggapnya rasional dan sejak jauh-jauh hari sudah menjatuhkan pilihan pada kandidat tertentu. "Vote buying di Jakarta bahaya lah kalau dilakukan, bisa dianulir nanti. Orang-orang sudah lebih aware."