FYI.

This story is over 5 years old.

Perlindungan hewan

Pemerintah Konon Melarang Atraksi Lumba-Lumba, tapi Saya Masih Nemu Sirkusnya di Surabaya

Mamalia cerdas itu tak dirawat pengelola sirkus, sampai diiming-imingi ikan busuk supaya mau melompati lingkaran. Para aktivis terus menggelar protes.
Semua foto oleh JAAN.

Tenda biru besar berdiri di Lapangan Albatros, Sidoarjo, kabupaten yang bertetangga dengan Surabaya, Ibu Kota Jawa Timur. Nampak gambar anak-anak bermain basket dengan lumba-lumba dicetak pada bagian dinding kayu arena itu. Seekor beruang mengendarai sepeda roda tiga pada gambar lain di dinding tenda. Di udara tercium bau selokan dan banyak lalat mengerubungi tumpukan sampah bagian belakang tenda raksasa. Saya mendatangi lokasi sirkus lumba-lumba keliling—atraksi kejam yang bertahan di Indonesia meski dilarang oleh pemerintah pusat dan dikritik oleh kelompok pembela hak-hak hewan. Di dalamnya, lumba-lumba secara ilegal ditangkap oleh nelayan dan dijual kepada sirkus. Lumba-lumba ini dipaksa tampil untuk menghibur pendatang.

Iklan

Pintu gerbang lumba-lumba.

"Pengelola sirkus itu tinggal bertemu nelayan dari mana saja terus bilang, 'Oke, kalau kamu bisa nangkap lumba-lumba akan saya beli seharga satu atau dua juta [rupiah]," ujar Ajier Rifqi, dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN). "Saya sempat ngobrol sama  nelayan yang pernah menjual lumba-lumba." Lumba-lumba dipaksa hidup dalam kolam kecil mengandung banyak kaporit. Para ahli menyatakan jika terpapar zat klorin itu terlalu lama itu mata lumba-lumba berisiko buta. Semen pada sisi kolam merusak sonar lumba-lumba karena panggilan mereka dipantulkan oleh tembok dan hasilnya adalah gema yang memusingkan dan membuat mereka tuli. "Ibaratnya memaksa seseorang hidup di kamar berisi cermin selama-lamanya," berdasarkan laporan tertulis JAAN, yang telah menghabiskan lima tahun terakhir berjuang mengakhiri praktik sirkus lumba-lumba di seluruh Indonesia. "Kami akan berjuang sampai semua lumba-lumba ini [kembali] ke lautan," ujar Ajier.

Aktivis JAAN menggelar demonstrasi di Surabaya

Jadi bagaimana sebenarnya cara sirkus-sirkus ini menghindari larangan pemerintah? Latar belakang masalah ini, menurut Ajier, sangat rumit. Pada 2013, Kementrian Kehutanan sempat berkata sirkus-sirkus tersebut ilegal. Mengingat rumitnya birokrasi di Indonesia, lumba-lumba rupanya secara legal adalah satwa "milik" Kementerian Kehutanan. Sementara hewan laut lainnya—hiu, paus, ikan-ikan—di bawah pengawasan Kementerian Kelautan. Apalagi setelah kini Kementerian Kehutanan dilebur dengan Kementerian Lingkungan Hidup, skema pengawasan lumba-lumba ini jadi terlantar. JAAN telah menemui pejabat pemerintah pusat beberapa kali. Tapi terlepas jaminan bahwa mereka akan menghentikan pertunjukan lumba-lumba keliling, faktanya penyayang binatang masih menemukan tiga sirkus keliling yang masih leluasa beroperasi di Tanah Air. "[Mereka bilang] kami akan mencoba menghentikannya, kami akan mencoba menghentikannya, tapi nyatanya ya tidak dilakukan," kata Ajier. Dia percaya bahwa sirkus-sirkus ini terus beroperasi karena pemiliknya menyewa lahan dari militer atau institusi pemerintah, dan menyediakan sumber penghasilan besar, sehingga tak ada yang berani menutupnya. Para pemilik sirkus pun menolak menghentikan bisnis mereka walau rutin didesak para aktivis. "Mereka selalu memikirkan tentang bisnis dan uang," kata Ajier mengenai sikap para pemilik sirkus. "Saya rasa kalau lumba-lumbanya mati, mereka tinggal cari lumba-lumba lain dan melatihnya lagi." Tingkat kematian sangat tinggi di antara sirkus-sirkus lumba-lumba. Di alam luar, seekor lumba-lumba dapat hidup selama empat puluh tahun. Dalam sirkus, sebagian besar lumba-lumba mati kurang dari lima tahun, ujar Ajier. Tingginya angka kematian berkaitan dengan kondisi buruk sirkus keliling. Lumba-lumba sering dipindahkan dalam truk tanpa air, ujar Ajier. "Dibutuhkan setidaknya satu hari untuk memindahkan mereka dari [satu kota ke kota lain]," ujarnya. JAAN menyatakan mereka pernah menenemukan pengelola sirkus yang sengaja membuat lumba-lumba kelaparan supaya hewan malang itu semangat tampil.

"Mereka selalu membuat lumba-lumba kelaparan untuk [pertunjukan] agar lumba-lumba mau menuruti instruksi," ujarnya. "Ikan-ikan [yang diberikan sebagai makanan mereka] tidak segar. Biasanya sudah berumur tiga hingga empat hari."

JAAN menggelar protes dua kali sebulan agar sirkus-sirkus tersebut ditutup. Satu-satunya cara mereka dapat membuat dampak adalah untuk menelusuri pangkal permasalahan sirkus. Mereka mengadakan seminar pengajaran pada sekolah-sekolah lokal, dan berkumpul di luar sirkus itu sendiri. Tapi, terlepas dari protes-protes tersebut, banyak orang Indonesia yang tidka menyadari betapa kejamnya pertunjukan lumba-lumba ini, ujar Ajier. "Orang-orang di Indonesia tidak pernah memiliki pendidikan mumpuni soal perlindungan binatang," ujarnya pada VICE Indonesia. "Mereka cuma memikirkan hiburan." Wersut Seguni Indoensia (WSI), perusahaan yang mengelola sirkus di Sidoarjo, menolak berkomentar sampai tulisan ini ditayangkan.