FYI.

This story is over 5 years old.

Film

Perjalanan Tanpa Henti Merumuskan Konsep Black Metal Lokal Sejati

Ini cerita sutradara film dokumenter 'Where Do We Go' (2016) merekam denyut kehidupan kancah black metal Pulau Jawa dan Indonesia yang ingin mencari identitasnya sendiri serta menolak didikte pasar.
Sumber gambar dari cuplikan youtube

Black metal menemukan rumah yang nyaman di Indonesia. Genre musik ini berkelindan dengan kearifan lokal, hampir tiga dekade setelah gelombang kedua muncul di Skandinavia—yang dimotori oleh Darkthrone, Mayhem, Burzum, Emperor, dan lain sebagainya. Proses adaptasi subkultur black metal dalam kancah musik Indonesia tersebut coba ditangkap film dokumenter Where Do We Go (2016) garapan sutradara asal Yogyakarta Hernandes Saranela. Tema-tema satanis khas black metal mancanegara disesuaikan dengan konteks lokal, menjadi mistisisme Jawa, misalnya.

Iklan

"Saya tertarik dengan kegelisahan-kegelisahan band-band black metal lokal," ujar Hernandes. "Dari situ saya mendapatkan benang merah untuk membuat plot mayor tentang black metal dalam konteks nusantara."

Beberapa band turut tampil di film ini, sebut saja Immortal Rites, Sereignos, Mystis, Warkvlt, hingga Diabolical. Itu adalah nama-nama yang cukup dikenal para pegiat kancah black metal lokal di Pulau Jawa. Konsep awal Hernandes memang untuk sementar masih berkutat di kota-kota kecil Jawa dengan subkultur black metal kuat, misalnya Kediri, Gresik, hingga Malang. VICE Indonesia berbincang bersama Hernandes, untuk mengetahui lebih lanjut sikap para pegiat genre ini terhadap sorotan media dan menggali alasan komunitas black metal Indonesia menolak didikte pasar.

VICE: Bagaimana proses awal pembuatan film ini?
Hernandes: Awalnya, film ini saya niatkan sebagai dokumenter musik tanpa ada tema khusus. Seiring berjalannya proses wawancara, yang diawali diskusi black metal Garage Blackness di Surabaya, 15 Januari 2016, saya menemukan isu-isu kuat yang bisa saya angkat. Beberapa kesulitan yang saya rasakan hanyalah soal tempat dan waktu. Band-band black metal menyebar di banyak tempat dan akses saya ke tempat-tempat itu terbatas sehingga tidak semua tempat dapat saya kunjungi. Saya mendatangi tempat-tempat dengan link yang sudah terbangun di sana, tapi tentu saja saya tidak sekadar mencari, namun memilih band-band dengan karakter kuat.

Iklan

Apa sikap film dokumenter ini terhadap hubungan antara subkultur black metal dankancah musik Indonesia?
Black metal di Indonesia jujur saja bukan mayoritas. Namun tetap saja ada kebutuhan untuk mempertegas eksistensi; untuk mendapatkan pengakuan. Selama ini black metal dianggap musik "setan" atau "satanis", padahal argumen itu perlu dipatahkan dan kehadiran film ini tentunya akan menghadirkan sudut pandang baru. Film ini awalnya saya niatkan sebagai dokumenter musik untuk "konsumsi" orang-orang dalam ranah black metal saja. Ternyata apabila dikaitkan dengan konteks ke-Indonesiaan, sejarah archipelagic black metal di Indonesia, dan fakta bahwa ada orang-orang yang dalam balutan kesantunan dapat menghadirkan musik-musik black metal yang menggigit, maka tentu saja ada isu utama yang cukup jelas untuk dihadirkan pada khalayak.

Apa pendapat Anda tentang sikap band-band black metal di Tanah Air yang menolak sorotan media?
Sejatinya dalam skena black metal Nusantara selalu ada dua pilihan sikap: pertama, membiarkan musik ini tetap obscure dan menghasilkan orang-orang yang sangat militan, atau pilihan kedua mempertahankan spirit underground, namun tetap mengangkat atau mengekspos secara luas filosofi-filosofi yang mendasari evolusi black metal nusantara yang merupakan pergerakan dinamis dan patut dipertegas kehadirannya dalam konteks subkultur yang lebih luas. Dalam film ini saya tidak mengangkat band-band black metal yang sekadar membentuk diri utuk memenuhi demand pasar. Saya memperkenalkan band-band yang sudah menyadari identitas mereka.

Iklan

Film ini diapresiasi positif beberapa media, apakah ini sesuai ekspektasi Anda?
Project ini mendapatkan banyak sekali support dari teman-teman karena dalam prosesnya pun berita "perjalanan" saya sudah tersebar ke banyak tempat bahkan sebelum saya sampai di situ. Film ini bisa meninggalkan jejak budayanya di banyak tempat karena ada banyak orang yang merasa "memiliki" dan merasakan keresahan yang sama.

Bagaimana anda merespons tudingan subkultur black metal cenderung antimodernitas?
Dengan perkembangan teknologi, pesatnya arus informasi dari media sosial, dan lain-lain, istilah underground menjadi semakin "tipis" maknanya. Meski demikian, film ini sebenarnya tetap mengusung spirit underground sebagai bentuk resistensi terhadap dikte pasar. Ketika berkembang di Indonesia, black metal berasimilasi dengan budaya tertentu. Saya berharap Where Do We Go ini bisa memberikan pencerahan bahwa black metal Indonesia memiliki sejarah pergerakan yang panjang dan memiliki identitas sendiri.

Dari semua band yang diangkat di film ini, mana yang menjadi favorit anda?
Ditilik dari performa panggung yang mereka tampilkan, rata-rata band yang saya masukkan ke dalam dokumenter ini notabene sudah menjadi band-band favorit. Lebih dari persoalan favorit atau tidak favorit, ini film pertama dalam rencana trilogi Indonesian Black Metal Journey, jadi fokusnya bertumpu pada nuansa kenusantaraan yang mengejawantah dalam diri band-band tersebut. Saya menemukan banyak pengetahuan baru dari apa yang disampaikan oleh rekan-rekan yang mengusung tema dan konsep etnik ke dalam atmosfer bermusik mereka.

Saya lihat ada nama legendaris seperti Mystis di film ini.
Mystis menjadi perkara yang serius bagi saya sebagai band pertama yang mengusung kearifan budaya Jawa. Faktanya, mereka tidak buru-buru mengatakan atau membuat klaim bahwa dia adalah A atau adalah B. Bagi saya inilah sikap legenda sejati di tengah maraknya berbagai klaim dalam ranah Black Metal Indonesia.