Obsesi Pada Video Perempuan Bugil Membuktikan Kuatnya Seksisme di Indonesia

Sebenarnya aku bisa memahami kehebohan akibat munculnya perempuan bugil yang berulang kali muncul di Jakarta Pusat sepekan terakhir. Siapa sih yang tidak kaget melihat perempuan cuma pakai thong masuk ke minimarket dan apotek seakan-akan semuanya normal. Masalahnya, siapa coba yang lebih “sakit”: si perempuan yang nyaris telanjang bulat; orang-orang di lokasi kejadian yang bergegas merekam kejadian tadi dan menyebarnya di medsos seakan seluruh dunia harus tahu; atau malah kita semua, penonton sekaligus pembaca berita yang terobsesi menguliti kehidupan gadis itu selama berhari-hari tanpa jeda.

Kronologi kejadian ini bisa diringkas sebagai berikut: dia pertama kali muncul tanpa pakaian di minimarket dan apotek kawasan pertokoan Lokasari, Jakarta Barat, membeli minyak angin. Beberapa hari kemudian perempuan yang sama muncul di pinggir jalan Mangga Besar.

Kenapa aku bisa tahu sebegitu detail? Ya pasti tahu, sebab setiap buka medsos ada kenalan yang menyebar videonya, atau berbagi liputan media massa se-Indonesia yang sampai artikel ini tayang masih saja terus mengunggah perkembangan terbaru cerita sepele tersebut. Seakan-akan cerita ini tak kalah penting dari follow up skandal megakorupsi. Apa sih alasan atas semua sorotan ini? Semata karena dia telanjang di ruang publik? Apakah ulah si permepuan menyentuh titik peka para moralis yang jumlahnya bejibun di Tanah Air?

Videos by VICE

Betapa hebohnya masyarakat mempermalukan dan menghujat perempuan tadi lewat gosip-gosip palsu dan obsesi untuk menjelaskan alasannya berulang kali keluar rumah tanpa busana. Mulai dari spekulasi gangguan jiwa, depresi akibat masalah pribadi, konsumsi obat penenang, sampai si perempuan dipaksa melakukannya akibat kalah taruhan. Macam-macam. Semua orang ingin turut berkomentar dan hasrat publik membelejati hidupnya terus dipuaskan oleh pasokan informasi media massa.

Akun Facebook Mak Lambe Turah menggelindingkan rumor kalau gadis itu menderita gangguan jiwa setelah ditinggal pacar yang menikahi sahabat baiknya. Media lain mengabarkan info sumir jika dia punya sejarah gangguan jiwa kronis dan sempat masuk RSJ bahkan dipasung oleh orang tuanya yang kaya raya. Gosip lain menyatakan bahwa VM baru kalah taruhan sebesar seratus juta rupiah. Gosip tentu saja sekadar kembang-kembang obrolan, tak ada kewajiban jurnalis serius melakukan verifikasi lanjutan. Namun, sekali lagi, untuk apa kita terobsesi membicarakan satu perempuan yang ada tidaknya dia, telanjang tidaknya dia di ruang publik, tak akan mengubah kehidupan nyaris 10 juta penduduk Jakarta, apalagi 200-an juta warga Indonesia lainnya.

Akhir pekan lalu, ketika cerita si perempuan telanjang belum meledak seperti sekarang, media massa nasional sampai membuat framing yang mengarahkan polisi untuk menyelidiki siapa dia dan apa motivasinya tak memakai baju ketika keluar rumah. Polisi benar-benar meresponsnya tak sampai sehari kemudian. Kapolsek Metro Taman Sari Jakarta Barat menelusuri rekaman berbagai CCTV, menawarkan imbalan bagi warga yang bisa memberi informasi keberadaan si perempuan, lalu mengirim anak buahnya mengamankan wanita tersebut di kediamannya di sebuah apartemen di Setiabudi, Jakarta Selatan. Pihak kepolisian dan ahli jiwa sekarang terus menyelediki kondisi kejiwaan perempuan ini untuk menentukan dia bisa dijerat ditindak pidana.

Tahu apa yang lebih menyedihkan? Ketika cerita dan video telanjangnya tersebar ke seluruh Indonesia, media massa terkesan “cuci tangan” dengan mengutip para pejabat yang mengingatkan masyarakat agar tidak terpancing membagikan gambar-gambar telanjang si gadis. Media massa berbondong-bondong mengutip pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Yohana Yambise yang mengecam ulah perekam video dan penyebar gambar-gambar ini, sebagai “predator” yang “menambah panas suasana negara ini.” Pemerintah, lewat Menkominfo Rudiantara, turut mengingatkan bahwa penyebar rekaman si perempuan bisa dipidana berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Coba kita bandingkan kasus ini dengan kasus pemuda bugil (tanpa celana dalam!) naik motor di Banyuwangi, Jawa Timur, setahun lalu. Ulasan media terhadap kasus ini lebih banyak diwarnai framing bernuansa humor. Masyarakat berkomentar soal kenekatan dan betapa “badass” ulah pengendara motor bugil tadi. Mungkin dengan nada setengah geli, setengah penasaran. Bahkan ada komentar yang memuji si pengendara bugil masih tahu mengenakan helm, dan membandingkannya dengan ulah anak kecil bertingkah konyol. Tidak ada kata-kata pedas menghujat kewarasan dan ataupun mempertanyakan kesusilaan si pelaku. Tidak ada desakan pada polisi agar segera mencari tahu siapa identitas lelaki tadi dan buru-buru menangkapnya memakai bekal UU Pornografi. Meskipun gambar-gambarnya beredar di medsos, kasus lelaki bugil Banyuwangi tidak menjadi viral seperti kasus perempuan telanjang di Jakarta. Mari kembali menguji kewarasan dan hati nurani kita. Apakah karena kasus si lelaki terjadi di Banyuwangi, yang notabene jauh dari tentakel industri media massa Ibu Kota? Atau, sekali lagi, peristiwa kali ini lebih menggedor syaraf keingintahuan kalian lantaran statusnya sebagai perempuan yang telanjang?

Kalaupun mau perbandingan yang lebih setara, ada juga kok berita pria albino telanjang keliling kawasan Rasuna Said, di Jakarta Selatan. Hasilnya? Tetap saja tidak viral seperti kejadian sepekan terakhir. Tak ada pula minat berlebih dari media massa menguliti kehidupan pribadi si lelaki albino. Akun gosip tak sibuk mencari tahu motivasinya atau mendorong polisi bergerak mengungkap tujuanya bugil di jalanan.

Media-media arus utama sampai sekarang tetap meneruskan “liputan” tentang si perempuan, memperlakukannya seperti isu skala nasional. Untuk apa? Buat saya, semua kehebohan ini terjadi lantaran dia perempuan, berkulit putih, tubuh langsing, dan mungkin dalam imajinasi masyarakat kita, berparas cantik. Atribut cantik itu membuatmu diharapkan tak memicu masalah. Jika kau sampai bernasib serupa si perempuan telanjang, maka publik dan media berhak menyoroti semua detail kehidupan pribadinya sampai tandas tak bersisa.

Standar ganda inilah—baik dari aparat hukum, publik, maupun media massa—yang membuatku muak. Ketika yang telanjang itu laki-laki paruh baya dan albino, sorotan di media sosial tak sampai sebesar ini. Tak ada perbincangan mengenai definisi “pornoaksi”, dan memaksa polisi bergerak cepat melacak keberadaannya.

Seandainya tak ada puluhan orang yang tergerak melakukan tindakan “mulia” merekam si perempuan telanjang, seandainya mereka menghubungi polisi, peristiwa Mangga Besar paling banter berujung di kolom mungil surat kabar kuning yang terlupakan sehari setelahnya.

Kali lain, apabila peristiwa serupa kembali terjadi—kemungkinan besar pasti bakal terulang—coba kalian merelakan waktu sejenak merenungkan pertanyaan sederhana ini. “Apakah aku akan peduli melihat, membicarakan, dan merekam seseorang telanjang, seandainya dia laki-laki?”