Orang Kaya Ternyata Merasa Bersalah karena Tajir Banget

Sebuah buku baru mengeksplor gangguan kecemasan yang menghinggapi mereka-mereka yang berduit. Saya bertanya kepada penulis kenapa juga kita orang-orang kere mesti peduli?

Rachel Sherman tidak yakin apakah dia menyukai orang-orang yang dia wawancarai untuk buku barunya tentang kaum elit tajir di New York. Sebagai seorang sosiologis di New School, tentunya anda harus bersikap profesional. Dia mengatakan bahwa dia bisa berempati dengan orang-orang kaya ini, dan niscaya setelah membaca buku baru beliau berjudul Uneasy Street: The Anxieties of Affluence, mungkin kamu juga bisa melakukan hal yang sama.

Videos by VICE

Lewat percakapan yang ekstensif dengan 50 orang—termasuk yang bekerja di bidang finansial, penerima warisan, ibu rumah tangga, dan masih banyak lagi—Sherman menemukan bahwa orang kaya tidak nyaman dengan status kekayaan mereka, atau paling tidak dilabeli “tajir”. Tentu saja ini bukan berarti mereka akan serta-merta membagikan uang mereka atau mengirimkan anak mereka ke sekolah publik (sekolah swasta lebih mahal). Mereka hanya ingin dianggap “normal,” apapun itu artinya.

Tidak banyak yang bersimpati dengan kaum orang kaya hari gini. Bahkan presiden AS Donald Trump yang terkenal suka pura-pura tajir dan menghabiskan waktu di country club pun sering sekali mengkritik kaum elite dan menggambarkan lawannya sebagai orang-orang brengsek Wall Street di saat pemilu.

Di saat yang sama, kelakuan mereka yang berduit kerap dinilai berdasarkan moralitas: terlalu banyak pamer kekayaan di Instagram dinilai negatif, sementara donasi yang besar justru dipuji. Tapi Sherman mengatakan bahwa menilai orang kaya berdasarkan gaya hidup mereka adalah hal yang kontra-produktif dan mengalihkan kita dari apa yang seharusnya kita fokuskan, yakni menganalisis struktur-struktur yang menimbulkan kesenjangan sosial.

Tapi tetap saja, gimana cara seseorang yang memiliki aset jutaan dolar bisa ngaku-ngaku mengadopsi nilai-nilai kelas menengah seperti pengakuan banyak narasumber dalam buku ini? Kami meminta Sherman untuk menjelaskannya.

VICE: di pembukaan bukumu, kamu mengatakan kamu berusaha menantang asumsi bahwa orang kaya itu tidak menyenangkan, rakus atau kompetitif. Ngapain sih ngabisin waktu melakukan proyek ini?
Rachel Sherman: Karena buku ini bisa menghasilkan percakapan yang lebih luas tentang kekayaan dan kesenjangan pendapatan. Inti buku ini mengatakan kalau kita membedakan antara orang kaya baik dan orang kaya jahat, apa yang sebetulnya kita lewatkan? Kenapa kita berfokus di atribut individual orang kaya seperti apakah mereka pekerja keras, hedon atau tidak, sombong atau tidak, rese atau enggak? Kenapa juga sifat-sifat ini yang menjadi basis kita menilai apakah seseorang layak tajir atau enggak? Apakah kita berusaha mengatakan bahwa seseorang yang bekerja keras dan tidak tinggal di istana dan rajin berderma harusnya memiliki kekayaan yang menggunung dan hanya orang-orang jahat dan kasar yang miskin?

Hal lainnya adalah kriteria yang kita gunakan untuk mengidentifikasi hak orang miskin. Orang miskin kerap dikritik karena sering besar pasak daripada tiang, dan sudah pasti yang mengkritik adalah mereka yang lebih berduit. Ini adalah bentuk penghakiman yang sama. Menurut saya, seharusnya kita lebih banyak membuka percakapan kultural yang eksplisit tentang apa yang seharusnya menjadi basis hak kekayaan seseorang.

Mestinya kita senang karena orang kaya merasa bersalah akibat terlalu tajir atau terganggu karena mereka cuman mikirin perasaan sendiri?
Pertanyaan macam inilah yang memang ditimbulkan buku ini. Saya berusaha mengatakan, “Apa yang akan terjadi kalau kita tidak menghakimi mereka sama sekali?” Apa yang akan terjadi kalau kita tidak bereaksi terhadap mereka dengan pemikiran semacam, “Mereka baik atau jahat ya? Kelakuan mereka ini buruk atau baik?” dan lebih berfokus ke sistem sosial yang menghasilkan orang-orang dengan kekayaan melimpah macam ini.

Sangat sulit untuk menulis buku ini, untuk menyingkirkan penilaian saya sendiri; karena tentunya saya tidak hidup di luar konteks kultural saya sendiri. Saya berpendapat bahwa tidak semua orang kaya itu sama dan beberapa dari mereka bahkan lumayan liberal secara politik. Dan ini mungkin bisa membuka percakapan tentang apa yang orang tajir liberal bisa lakukan dengan kekayaan mereka dan perubahan sosial macam apa yang bisa mereka kontribusikan.

Ada seorang perempuan di bukumu yang mengatakan rasa malu yang menghinggapi orang kaya karena terlalu kaya sesungguhnya berbahaya karena bisa membuat mereka lebih enggan mendonasikan harta. Kamu percaya dengan pernyataan ini?
Perempuan itu membicarakan tentang kliennya: orang kaya progresif yang mengalami konflik tentang hal ini. Kebanyakan dari mereka adalah penerima warisan dan mereka agak merasa bersalah. Dia hanya berusaha mengatakan bahwa apabila seseorang berusaha menyembunyikan rasa bersalah mereka, mereka tidak akan bisa mengambil aksi yang konkrit.

Apakah itu yang akan menjadi keuntungan dari memiliki percakapan yang lebih transparan tentang kekayaan? Bahwa uang akan didistribusikan secara lebih adil?
Semakin banyak kita ngobrolin hal ini, semakin banyak hal-hal tidak terduga yang bisa terjadi. Ada semacam pedang bermata dua yang muncul dari kesadaran akan privilese seseorang, karena di satu sisi, seperti yang kamu bilang, bagus bahwa orang-orang tajir ini sadar akan privilese mereka. Di sisi lainnya, seperti argumen saya, dalam beberapa kasus mereka menggunakan kesadaran ini sebagai cara untuk kabur dari penghakiman. Contohnya sikap macam, “Iya gue emang punya lebih banyak duit daripada pembantu, tapi paling enggak gue selalu baik ke dia atau gue selalu baik ke mereka-mereka yang lebih tidak beruntung.”

Jadi rasa bersalah justru membuat mereka menghadapi problem kesenjangan di level permukaan saja?
Betul. Jadi di satu sisi, mereka memang jadi bersikap baik terhadap orang lain, tapi di sisi lain, mereka sebetulnya menyiksa diri sendiri karenanya. Tapi ini berlaku hanya untuk orang liberal atau progresif ya. Setelah merasa lebih baik, mereka memikirkan hal macam, Wah apa gue ngirim anak gue ke sekolah private ya? Atau gue perlu beli rumah kedua? Biarpun seru untuk mengolok-olok orang seperti ini, tapi mungkin kita bisa menggunakan pemikiran yang berbeda, seperti, “Ini konflik nyata yang sedang dihadapi seorang manusia dan dorongan untuk mengolok-ngolok justru sebetulnya melegitimasi kesenjangan ini.”

Bagian lain yang menarik dari buku ini adalah ketika kamu membicarakan rasa simpati untuk beberapa perempuan yang dipandang rendah oleh suami mereka sendiri. Para istri tersebut tidak menyadari privilese mereka karena dianggap sebagai warga kelas dua dalam pernikahan mereka sendiri.

Apa kaitan hal ini dengan fenomena yang kamu sebutkan tentang bagaimana manusia tidak bisa melihat keluar dari lingkungan mereka sendiri dan melihat diri sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan?
Mereka menjadi sangat berfokus untuk tidak menjadi orang kaya yang jahat, dan ini sangat mendistraksi. Terutama di pernikahan di mana ibu rumah tangga menikah dengan pria tajir, dinamika gender menjadi semacam distraksi dari kekayaan, terutama karena ada konflik soal uang, dan membuat para perempuan merasa mereka tidak memiliki kekayaan yang cukup, karena mereka tidak memiliki kendali akan finansial keluarga.

Sangat sulit bagi mereka untuk berbicara dengan suami dengan jujur soal ini. Mereka sering merasa direndahkan, padahal semua perempuan yang saya wawancarai berpendidikan tinggi dan pernah memiliki karir. Bukan berarti juga suami mereka maksa istrinya untuk terus bekerja, tapi penekanan bahwa mereka yang ‘bekerja’ adalah yang membawa uang ke rumah sangat tertanam kuat di masyarakat, ditambah lagi stereotip bahwa perempuan tajir hanya gemar belanja sana sini. Mereka memiliki dilema tentang hal ini. Mereka merasa serba kekurangan, dan saya sadar ini kedengarannya aneh banget, tapi dalam konteks pribadi, seperti inilah yang mereka rasakan.

Apakah kamu bisa menjadi orang baik dan tajir?
Saya tidak akan menjawab itu. Intinya bukan perihal, “Apakah kamu bisa menjadi orang yang baik dan menjadi bagian dari satu persen masyarakat yang terkaya?” Ini tergantung definisi seseorang tentang orang baik, ya toh? Tapi tentu saja menggunakan definisi yang umum, orang kaya adalah orang baik juga. Buat saya pertanyaannya adalah, “Kenapa kita ingin sekali orang kaya tidak bisa menjadi orang yang baik?”