Perseteruan orang tua murid versus sekolah belakangan ramai diperbincangkan setelah SMA Kolese Gonzaga, Jakarta Selatan, digugat Rp551 juta oleh Yustina Supatmi. Yustina adalah wali murid yang kecewa sekolah Katolik tersebut tidak menaikkan anaknya. Empat orang guru sekolah tersebut ia gugat perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Dikutip dari CNN Indonesia, empat orang yang dituntut Yustina ialah Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta, Kepala Sekolah Paulus Andri Astanto, Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) Bidang Kurikulum Himawan Santanu, Wakasek Bidang Kesiswaan Gerardus Hadian Paramokta, dan guru Sosiologi kelas XI Agus Dewa Irianto.
Menurut keterangan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, anak Yustina tidak naik kelas selain karena nilai pelajaran Sejarahnya di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), juga karena si siswa pernah makan kuaci di kelas dan merokok saat acara sekolah.
Yustina menganggap keputusan tergugat tidak menaikkan kelas anaknya, BB, cacat hukum. Ia meminta majelis hakim membatalkan semua putusan tersebut sekaligus meminta ganti rugi Rp551 juta. Tidak cukup sampai di situ, Yustina juga menuntut penyitaan jaminan terhadap aset Kolese Gonzaga berupa tanah dan bangunan sekolah dan harta kekayaan para tergugat.
Salah satu alasan Yustina gila-gilaan menuntut ganti rugi bisa jadi karena ia belajar dari sejarah. Pasalnya pada 2006 silam, kejadian orang tua murid menuntut sekolah pernah terjadi dan kasusnya dimenangkan orang tua murid.
Dalam kasus 13 tahun lalu itu, Sulami dan Romi yang tidak terima anaknya tinggal kelas di SMK 11 Surabaya membawa kasusnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. Anak mereka adalah salah satu dari dua siswa SMK 11 yang diskorsing 4 bulan karena memukul gurunya, Munir, di jalan umum. Karena vonis terjadi menjelang ujian kenaikan kelas, kedua siswa tidak bisa ikut ujian dan otomatis tinggal kelas. PTUN Surabaya kemudian memenangkan Sulami dan Romi.
“Membatalkan keputusan skorsing kepada siswa. Memerintahkan ujian kenaikan susulan kepada kedua siswa. (Kebijakan sekolah) juga melanggar asas keseimbangan, yaitu memberikan hukuman yang tidak seimbang dengan kesalahan, di mana kesalahan yang dilakukan oleh kedua siswa hanya satu perbuatan, sedangkan hukuman yang diberikan adalah dua sanksi yaitu tidak mengikuti pelajaran selama 4 bulan dan tidak dapat pula mengikuti ujian kenaikan kelas,” demikian pernyataan tertulis majelis hakim dikutip Detik.
Pindah dari Surabaya, kita menuju Sumatera Utara. Masih seputar kenaikan kelas, pada Juni 2019, Basidah Hasibuan dan istrinya mengamuk di area SMAN 1 Kualuh Hulu, Sumatera Utara. Mereka tidak terima anaknya dinyatakan tinggal kelas meski berasal dari kelas unggulan. Basidah sampai berteriak-teriak di ruang guru karena tidak satu pun perwakilan sekolah bisa datang dengan penjelasan dan kepastian. Robert Nainggolan, Wakil Kepala Sekolah SMAN 1 Kualuh Hulu, hanya bisa ngeles saat diwawancarai.
“Yang menjawab [pertanyaan] itu seyogianya kepala sekolah. Ya dititipkan sama saya [rapornya], tapi menjawab pertanyaan itu adalah wewenang kepala sekolah. Cuman rapor itu hanya dititipkan kepada saya,” ujar Robert kepada Redaksi Pagi.
Enggak melulu soal naik kelas, pada 2017 lalu sekumpulan orang tua murid di MTs Negeri Sejinjang, Kota Jambi, mendatangi sekolah untuk mengajukan protes terkait penyitaan ponsel anaknya. Bangape, salah satu orang tua murid, mengaku kesal karena peraturan diputuskan dan dijalankan sepihak tanpa sosialisasi kepada orang tua.
Videos by VICE
Padahal, ponsel milik anaknya masih kredit. Protes Bangape dan orang tua murid lain ditanggapi santuy oleh seorang guru bernama Jonarto Padang. Ia menyatakan peraturan penyitaan ponsel dibuat berdasarkan pengalaman sekolah menghadapi para siswa yang doyan main ponsel saat jam pelajaran. Lagi pula, peraturan ini sudah hadir sejak lima tahun lalu.
Merespons isu semacam ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) langsung merasa perlu memberi pandangan yang sebenarnya enggak membantu-membantu amat. “Dalam UU Guru dan Dosen, guru berhak memberikan penilaian terhadap peserta didik sesuai kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan,” ujar Ketua KPAI Susanto dikutip Detik.
Makasih banget loh, KPAI, pendapat kalian sungguh mencerahkan tata surya ini. Tapi mending kita balike kasus Kolese Gonzaga. Di media sosial, beredar komentar memaklumi keputusan sekolah yang tak menaikkelaskan anak Yustina mengingat Gonzaga. Jadi kayak ada anggapan sekolah Katolik memang lebih disiplin daripada sekolah kebanyakan.
Kalau berpegang pada twit ini, kemungkinan besar si anak nggak naik kelas bukan karena nilai pelajaran Sejarah, tapi lebih ke soal dia makan kuaci dan merokok tadi. Semoga latar belakang kasus ini bisa jadi pertimbangan majelis hakim biar prediksi Katolik Garis Lucu ini enggak kejadian.
Masak karena tuntutan setitik, kongregasi satu negara terancam bangkrut.