FYI.

This story is over 5 years old.

Tren Youtube

Kenapa Sih Tren Konten Unboxing di Youtube Tak Kunjung Mati?

Filsuf Jean Baudrillard tampaknya bisa membantu kita memahami alasan konten membosankan dan absurd macam itu terus menjadi fenomena online.

Artikel ini pertama kali tayang di i-D UK.

Tidak banyak filsuf yang pemikirannya berdampak besar pada budaya pop, atau setidaknya bisa menjelaskan realitas era posmodern seperti Jean Baudrillard. Analisisnya tentang cara kerja media, teknologi, dan budaya kontemporer sangatlah revolusioner. Buku terbaiknya, Simulacra and Simulation terbukti menginspirasi film kondang macam The Matrix, Synecdoche New York karya Charlie Kaufman, dan nyaris semua film Adam Curtis. Tapi kematian Baudrillard tahun 2007 membuat sang filsuf tidak bisa menyaksikan langsung sebuah fenomena posmodern yang membuktikan kebenaran teori-teorinya: maraknya tren video unboxing produk di Youtube.

Iklan

Konsep video unboxing lumayan gampang dimengerti sebenarnya. Si youtuber membeli sebuah produk, lalu merekam diri mereka sendiri dalam momen membuka bungkus, berikutnya membuka kotak produk itu, memberi sedikit komentar, lantas mengunggahnya ke YouTube. Di saat bersamaan, penonton menghabiskan waktu melihat orang lain membuka kotak, sambil mengomentari ritual aneh ini. Tidak seperti video review yang menampilkan sosok individu di depan kamera, video membuka kotak hanya menampilkan tangan seseorang membuka kotak produk memakai narasi tanpa wajah.

Yang menarik dari video-video unboxing, tren ini sebetulnya bukan wujud fetis sebagian konsumen terhadap barang mewah. Biarpun banyak video unboxing sekadar pamer baru beli iPhone terbaru atau sneakers langka, salah satu vlogger unboxing paling sukses hobinya hanya membeli mainan anak-anak murah.

Contohnya DisneyCollectorBR, Youtuber asal Brasil berumur 20'an yang tinggal di New York. Baginya, video membuka kotak bukan sekedar bentuk konsumerisme yang kompulsif, tapi bisnis yang penuh perhitungan. Dalam era ekonomi yang serba bergantung pada internet, balita (atau lebih tepatnya orang tua si balita) merupakan target pasar potensial yang akan melihat sebuah video berkali-kali, menawarkan keuntungan yang banyak untuk investasi kecil. Nah, konten macam ini memang memiliki tujuan yang jelas, tapi banyak juga video unboxing diunggah akun anonim dan memiliki angka view yang terlalu kecil untuk dimonetisasi. Video-video macam inilah yang sulit ditebak motivasi si pembuatnya.

Iklan

Video unboxing bisa kita sebut sebagai contoh nyata teori Baudrillard tentang simulacra, simulasi, dan hiperrealitas. Simulacrum adalah sebuah imej atau representasi orang akan sesuatu. Ya kayak tiruan gitulah. Simbol, tanda, dan foto bisa menjadi simulacra, dan tentunya juga video. Salah satu contoh awal simulakra adalah ikon penting suaatu agama. Karena dari ikon ini ajaran agama menampilkan konsep yang tidak ada versi aslinya (alias tidak pernah ada di dunia itu) atau sesuatu yang wujud aslinya sudah tidak ada lagi.

Frasa 'tidak ada lagi' adalah kunci memahami teori Baudrillard. Sang filsuf berpendapat masyarakat posmodern tidak bisa lagi mengalami realita seutuhnya, karena persepsi kita sangat terdistorsi oleh media dan teknologi. Kita tidak bisa lagi memisahkan realita dari imajinasi. Kita justru mengambang-ngambang dalam hiperrealitas, di mana fakta dan delusi bercampur menjadi satu. Ya mirip kayak cerita the Matrix lah, cuma lebih menantang untuk dibedah lebih lanjut, karena kamu tidak bisa merobek membran yang menipu bola mata dengan meminta pil warna warni dari karakternya Laurence Fishburne.

Media sosial contohnya. Kamu duduk di rumah sendiri di malam minggu, membuka InstaStory teman-teman yang sedang asyik dugem. Kamu langsung merasa kurang asyik. Tapi apa mereka benar-benar bersenang-senang? Ataukah mereka sebetulnya bosan di dalam klub tapi suasananya kelihatan lebih seru dalam frame sempit layar ponsel? Ya enggak tahu juga, tapi yang pasti kamu langsung merasa galau melihat teman-temanmu "terkesan" sedang bergembira. Inilah hiperrealitas. Sebuah Instagram story adalah wujud simulakrum.

Iklan

Pernahkah kamu pernah merasa galau setelah membeli barang yang sebenarnya kamu idam-idamkan sejak lama? Semacam mati rasa anti-klimaks akibat perasaan puas akhirnya mendapatkan sesuatu, yang tidak sebanding sama gairah menggelora yang kamu rasakan sebelum membelinya? Perasaan semacam itu bisa dijelaskan memakai teori Baudrillard. Kita langsung tak merasa senang setelah dapat barang incaran, karena sesungguhnya yang kita beli adalah simulakrumnya, bukan produk tersebut. Peralatan olahraga atau jaket parka supermahal itu tidak akan mengubah kita menjadi atlet profesional, kita sadar betul itu. Arloji mahal yang kalian beli lewat FJB tidak akan membuat kita terlihat seperti James Bond.

Perburuan barang terjadi akibat bujukan iklan. Para pakar pemasaran menjajakan eskapisme dari upaya membeli sebuah produk yang tidak benar-benar nyata manfaatnya. Apabila Baudrillard masih hidup menyaksikan berkembangbiaknya video unboxing, dia mungkin akan menganggap tren Youtueb ini sebagai upaya neurotik manusia modern menciptakan ulang ilusi hipperalitas yang dijual kembali pada kita, sebagai konsumen, lewat pemasaran canggih.

Daripada mempertanyakan sifat dari konsumsi itu sendiri, Youtuber yang menggarap unboxing menciptakan sebuah simulakrum dari produk yang mereka buka kotaknya. Dilihat lewat lensa YouTube, produknya berubah menjadi hiper-realitas yang sesuai dengan iklan, penuh potensial, sebuah obyek magis yang menghasilkan view, like, dan comment. Ada proses identifikasi di sini, selagi vlogger mencoba memaksakan realitas mereka untuk mengimbangi hiperrealitas dunia periklanan.

Isi kotaknya sendiri tidak sepenting sensasi membeli dan membukanya. Seolah berusaha menekankan sifat ini, perusahaan Zavvi menawarkan jasa berlangganan bulanan mail order kotak berisikan barang-barang acak yang populer di kalangan vlogger. Produknya tidak pernah digunakan dan videonya biasanya berakhir dengan klimaks proses membuka kotak. Begitu produknya menjadi nyata, ilusinya runtuh.

Dari aktivitas merekam proses unboxing, produk yang asli tersembunyi dalam hiperrealitas. Produk di video unboxing berubah dari satu simulakrum (imej marketing) menjadi simulakrum lainnya (video unboxing). Berkat video-video tersebut, produk tadi tak pernah sekedar menjadi obyek mati yang membosankan. Adanya video unboxing menjaga delusi konsumen, membiarkan si youtuber menghindari pertanyaan besar dalam hidup ini: apabila menghamburkan uang tidak bisa memuaskan kehampaan hati, apalagi yang bisa memberi manusia makna di masa sekarang?