Ada banyak cara untuk mengingatkan publik tentang konsekuensi pengelolaan alam yang seringkali tak etis dan justru merugikan manusia. Empat anak muda dari Manokwari, Papua Barat ini memilih fotografi sebagai jalannya.
Keempat fotografer tersebut mengikuti lokakarya KELANA, yang dihelat World Resources Institute (WRI) Indonesia, kolektif pelatih fotografi Arkademy, VICE Indonesia, dan Jurusan Biologi - Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Papua.
Mereka menyorot dampak pengelolaan hutan dan lahan dalam kehidupan sehari-hari di Manokwari dan sekitarnya. Akibat laju deforestasi di Indonesia yang sangat tinggi, Tanah Papua kini menjadi harapan terakhir bagi hutan Indonesia dan harus dilindungi. Masalahnya, pengelolaan tanah maupun perlindungan kawasan hijau masih belum berjalan optimal di Bumi Cenderawasih.
Keresahan itu disuarakan Yustinus Yumthe, 32 tahun, yang membuat esai foto tentang pengerukan pasir pantai oleh masyarakat adat di Kampung Pami dan Kampung Mandopi di Distrik Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari. "Pemanfaatan pasir pantai ini membantu masyarakat pemilik hak ulayat dan para pekerja untuk menunjang kehidupan mereka sehari-hari, Namun, di sisi lain tata kelola ekosistem pemerintah dipertanyakan, sebab pengerukan pasir pantai di Manokwari beroperasi bukan sebagai industri yang ilegal," ungkap Yustinus. "[Tambang pasir] diperbolehkan beroperasi karena tidak adanya peraturan pengelolaan sumber daya ini."
Para penambang pasir di Distrik Manokwari Utara. Foto oleh Yustinus Yumthe.
Foto oleh Yustinus Yumthe.
Foto oleh Yustinus Yumthe.
Keresahan serupa juga disuarakan lewat esai foto Safwan Ashari Raharusun, 20 tahun, yang mengangkat isu perlindungan hutan. Terutama di Taman Wisata Alam Gunung Meja. "Dengan luasan 402,16 hektar, Gunung Meja hanya dijaga oleh satu orang petugas yang diambil dari masyarakat adat dan dibantu dengan enam orang Polisi Hutan yang hampir sebagian besar bertugas di kantor," ujar Safwan.
Penjaga hutan di Taman Nasional Gunung Meja. Foto oleh Safwan Ashari Raharusun
Foto oleh Safwan Ashari Raharusun
Foto oleh Safwan Ashari Raharusun
"Masih terjadi kegiatan yang berdampak pada ekosistem di hutan seperti perburuan liar, serta pembukaan lahan untuk perkebunan oleh masyarakat di luar batas pemanfaatan tanpa izin."
Menurut peserta yang terlibat dalam lokakarya KELANA, sebetulnya ada cara untuk menghindari risiko terburuk. Yakni pemerintah konsisten menjalankan kebijakan satu peta.
"Tidak adanya satu acuan peta sebagai landasan kebijakan menyebabkan beragam konflik lahan, tumpang tindih kepemilikan lahan, korupsi di sektor lahan, pelanggaran hak-hak adat, dan kerusakan lingkungan yang memperparah krisis iklim," kata Martha Triasih Karafir, dari WRI Indonesia. "Kebijakan Satu Peta adalah salah satu program pemerintah untuk mengatasi konflik pemanfaatan dan kepemilikan lahan di Indonesia, dan mendukung konservasi lingkungan."
Miminal, kesadaran itu sudah muncul secara organik dari para peserta lokakarya KELANA. Isu-isu lingkungan itu jadi lebih membumi berkat jepretan kamera anak muda. Meisye Evelyne Alfian, misalnya, memotret kawasan Hutan Wosi, membandingkannya secara kronologis lewat pantauan Google Maps. Terlihat bila kawasan hutan semakin digerus oleh laju pembangunan. Dia merekam fenonema yang dekat dengan keseharian semua orang.
Kolase foto oleh Meisye Evelyne Alfian
Kolase foto oleh Meisye Evelyne Alfian
Kolase foto oleh Meisye Evelyne Alfian
Sementara Mario Nicolas Munthe, 25, mengangkat cerita salah satu pengusaha kayu di Kampung Sibuni, Distrik Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari.
"Kisah ini menggambarkan bagaimana eksploitasi sumber daya alam, dalam hal ini hasil hutan berupa kayu, dapat menopang perekonomian keluarga beliau, dan juga secara tak langsung, masyarakat adat yang hidup di dalamnya," kata Mario.
Foto industri kayu di Sibuni oleh Mario Nicolas Munthe.
Foto para penebang kayu Sibuni oleh Mario Nicolas Munthe.
Foto oleh Mario Nicolas Munthe.
"Namun di balik kisah hebatnya hutan dalam memberikan masyarakat sekitar penghidupan, tidak diiringi dengan langkah-langkah penanaman kembali hutan tersebut. Kira-kira apa yang akan masyarakat lakukan ketika tidak ada lagi kayu untuk dimanfaatkan?"
Lokakarya KELANA adalah kolaborasi World Resources Institute bersama Arkademy, didukung VICE Indonesia, digelar di Pekanbaru, Palembang, Manokwari dan Jakarta. Pesertanya adalah siapapun yang tertarik menjelajahi tema lingkungan secara visual, termasuk perwakilan masyarakat adat dan/atau siapapun yang secara aktif bergerak di isu lahan dan keadilan ekologis.
Hadiri pameran foto dari para peserta lokakarya tersebut di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, selama 2 Oktober hingga 8 Oktober 2019.