Beneran Ga Sih, Lukisan 1937 Ini Sudah Gambarkan Orang Pakai iPhone?
Lukisan "Mr. Pynchon and the Settling of Springfield" oleh Umberto Romano, 1937. Sumber: US Postal Service/David Sansbury

FYI.

This story is over 5 years old.

Perjalanan Lintas Waktu

Beneran Ga Sih, Lukisan 1937 Ini Sudah Gambarkan Orang Pakai iPhone?

Kalau kalian jeli, pasti sosok pria mirip penduduk asli AS bikin otak kita berpikir keras.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Arahkan matamu ke kuadaran kanan bawah. Orangnya sedang duduk. Megang obyek kecil kotak kecil berwarna hitam setinggi tatapan mata. Ketemu orangnya? Tak ada keterangan siapa orang ini, tapi ada kemungkinan dia sedang asik berswafoto atau menscroll news feed. Dia sepertinya tengah asik memandangi layar gawai seperti layaknya orang modern melihat gawai mereka. Sepintas, orang ini baru saja melihat tweet goblok atau terhenyak oleh push notification dari Times berisi kekonyolan terbaru Donald Trump. Orang ini bakal tak begitu menarik perhatian, seandainya saja dia berada di masa dan tempat uang. Orang ini terlihat dalam mural multibagian dari era New Deal. Judulnya "Mr. Pynchon and the Settling of Springfield," selanjutnya kita sebut saja sebagai "Settling" biar lebih ringkas. Jelas, mural ini dikerjakan bahkan sebelum ilham tentang iPhone mampir di otak Steve Jobs. mural ini diselesaikan oleh pelukis semi abstrak Italia, Umberto Romano pada tahun 1937. "Settling" terinspirasi sebuah kejadian nyata sebelum Perang Revolusi Amerika Serikat: pertemuan dua suku dari New England, Pocumtuc dan Nipmuc, dan pemukim dari Inggris di desa Agawam (kini Massachusetts) pada tahun 1630an, kira-kira 200 tahun sebelum listrik ditemukan.
Telepon seluler sendiri dalam sejarah tercatat pertama kali diperkenalkan pada 3 April 1973—hampir empat dekade sebelum Steve Jobs membeberkan apa yang dikenal sebagai "satu gawai dengan berbagai fungsi" pada tahun 2007. iPhone sampai saat ini adalah salah satu ponsel paling laris sepanjang sejarah. Kesimpulannya, apapun yang dipegang oleh pria dalam mural tersebut tak mungkin sebuah iPhone. Kalau begitu, apa dong? Tepat sekali, itu pertanyaan kerap muncul saban kali saya teringat "Settling," lelaki yang sedang kita bicarakan terdapat dalam bagian pertama dari empat panel yang menceritakan kembali sejarah New Englaind. Saat ini, mural ini dimiliki oleh United States Postal Museum dan saat ini terpancang di Commonwealth of Massachusetts State Office Building (dulunya gedung Central Post Office) di Springfield. Yang bikin lebih misterius lagi, fokus mural bikinan Romano adalah William Pychon—orangnya ada di tengah pakai baju pink—yang menulis The Meritorious Price of Our Redemption, buku pertama yang dilarang beredar (dan kemudian dibakar) di tanah Amerika Serikat. William kebetulan juga nenek moyang dari novelis Thomas Pynchon yang saat ini masih hidup. Mungkin, saya terlalu banyak membaca novelnya Thomas Pynchon, yang lahir pada tahun—coba tebak—1937, tahun yang sama ketika Romano merampungkan "settling." karya-karya Thomas kebanyakan adalah fiksi paranoid sampai-sampai seorang pakar karya-karya Pynchon pernah bilang pada saya tahun 2012 silam, bahwa karya Thomas Pynchon "tak selalu menggambarkan teknologi sebagai sesuatu yang baik."

Iklan

Mungkin juga saya keseringan berkelakar (bersama teman) tentang pengelana waktu intergalaktik. Mungkin juga karena saya—kendati bekerja untuk publikasi tentang teknologi—masih sering kewalahan menggunakan produk teknologi mendasar. Salah satunya iphone—oplosan antara beragam kandungan Bumi dan kerja-kerja melelahkan dengan bayaran minim. Atau mungkin, ini ada hubungannya dengan usaha melawan kecenderungan untuk memproyeksi kegalauan masa kini melalui narasi genosida yang sudah di-whitewash habis-habisan. Apapun itu, saya enggak bisa berhenti memandangi pria misterius itu. Makin sering saya memoloti sosoknya, makin jelas di mata saya, bahwa gestur lelaki ini benar-benar berasal zaman digital. Belum lagi yang bikin penasaran adalah pose yang digital age banget ini malah lukisan yang dibuat dan menceritakan tentang kejadian jauh sebelum zaman gawai seluler.
Saya pertama kali "diperkenalkan" dengan lelaki ini oleh sejarawan dan penulis asal New York City, Daniel Crown, yang pernah menulis esai mencerahkan tentang William Pynchon di The Public Domain Review pada 2015. Crown sepintas menyebut tentang obyek yang dipegang lelaki misteris itu (dalam sebuah caption gambar yang ditulis oleh editor PDR). Crown menyebut obyek yang dipegang pria itu sangat mirip ponsel pintar. Romano, yang meninggal pada 1992 di usia 77, sepertinya tak pernah menyinggung-nyinggung tentang lelaki misterius pemegang obyek aneh dalam muralnya. Kalaupun dia punya penjelasan memuaskan, Romano mungkin membawanya ke liang lahat. Sepanjang pengetahuan saya, Crown adalah orang pertama yang menulis tentang lelaki misterius. Jadi, tanpa ragu, saya segera menghubungii Crown. "Saya ngomong ini dengan cara yang paling halus ya… Estetika Romano yang disebut-sebut 'abstrak' itu ambigu secara sengaja," Crown bilang lewat surel. Tapi bisa juga, imbuhnya, si laki-laki ini secara harafiah memandang dirinya sendiri dalam objek di genggaman itu, memandang balik dirinya. "Ketika Romano melukis mural itu, orang Amerika sangat terobsesi dengan tipe 'orang dusun yang mulia'," ujar Crown. "Mengingat adegan ini berfokus pada temuan Springfield, Romano, dalam perspektif reduktif, mungkin mencoba untuk memotret perkenalan modernitas menjadi komunitas yang gagap teknologi tapi penasaran, yang langsung terpesona oleh harta mengkilap milik Pynchon." Harta apa tuh? Dia pikir itu sebuah cermin. Firasat ini nyambung dengan lokasi fugur laki-laki di dalam peti yang penuh dengan yang tampak seperti kendi keramik, di tengah pemandangan yang penuh dengan barang-barang dagangan. Oleh karena itu, dapat dipercaya bahwa barang yang sedang diamati sang laki-laki bukanlah objek "pribumi", melainkan berasal dari Eropa, seperti cermin-cermin, yang sering ditampilkan dalam pertukarang macam itu. Cara sang laki-laki menggenggamnya, jika dia memang memandangi wajahnya sendiri yang memantul, jadi masuk akal. Ketika warga Eropa mengenalkan alat memantul semacam itu kepada warga "Pribumi" di era 1600'an, "banyak bangsa asli menggabungkan [cermin] ke dalam estetika tribal dan konteks budaya," sebagaimana ditulis pakar seni Pribumi, fesyen, dan desain Dr. Jessica R. Metcalfe di postingan blog pada 2011 mengenai cermin dalam budaya Pribumi. Dalam tulisan tersebut, Metcalfe, yang sendirinya berasal dari Turtle Mountain Chippewa, North Dakota, mengutip The Arts of the Native American, buku tahun 1086 oleh spesialis seni Pribumi Edwin L. Wade, yang merefleksikan perbedaan dalam penggunaan cermin di antara orang Indian dan pendatang Eropa pada saat itu:

Iklan

For Native Americans, mirrors were symbols of wealth and prestige. They were commonly mounted in dance batons or other objects of ceremonial regalia, since it was their light-reflective property, not their ability to reflect images, that was considered important.

Dalam pandangan ini, dapat dikatakan bahwa orang-orang Pribumi, yang kemungkinan besar menggunakan properti pemantul citra yaitu kolam air sebagaimana yang diperlukan sebelum pendatang Eropa tiba, membalikkan konsep cermin kolonialis.

Meski begitu, kita tetap bisa memandang tampilan bagaimana teknologi asing menyihir seorang individu untuk pertama kalinya.

"Ada banyak sekali hal yang salah dengan gambar ini, sampai-sampai saya enggak tahu mesti mulai dari mana."

Teori lainnya adalah ide mengenai pengaruh dari luar yang berpotensi korup. Kalau bukan sebuah cermin, yang dipegang laki-laki itu bisa jadi teks religius ukuran saku, kata Crown. "Salah satu gospel atau bahkan Psalm," imbuhnya. "Saat itu teks seperti itu sudah ada dan bentuknya persegi mirip-mirip." Dr. Margaret Bruchac, Asisten Profesor di Anthropology dan Coordinater di Native American & Indigenous Studies Initiative di University of Pennsylvania, menawarkan teori berbeda. Menurutnya, mungkin sekali bahwa objek itu adalah pisau besi, dengan ujung tajam yang ditekan pada telapak laki-laki itu. Meski begitu, Bruchac menggarisbawahi keakuratan lukisan tersebut, atau justru ketidakakuratannya. "Ada banyak sekali hal yang salah dengan gambar ini, sampai-sampai saya tidak tahu mesti memulai dari mana," ujarnya. "Seniman ini jelas-jelas tidak pernah melihat banyak objek yang dia gambarkan." Meski pisau merupakan barang dagang yang digemari pada era 1600an, Bruchac menjelaskan bagaimana gambaran pisau yang akurat seharusnya punya lubang, berfungsi untuk mengencangkannya menjadi pegangan untuk kapak atau tomahawk. Kotak yang diduduki laki-laki, yang Bruchac curigai berperan untuk membuat ruang penyimpanan untuk kano atau peti belanjaan, "tidak ada mirip-miripnya dengan wadah kayu dalam sejarah atau kapal dari negara apapun." Seperti itu, perempuan dengan dorongan bayi (kiri kuandran bawah) seharusnya berpakaian, dan pakaian Inggris itu keliru ("kenapa pakai jubah pink deh?") dan ada penyihir dengan sapu terbang jauh di latar belakang. "Bisa lah bilang bahwa gambar ini merupakan catatan genre artistik yang diromantisir yang menyatakan banyak hal soal fantasi Amerika modern dan fiksi dominasi kolonial kulit putih vis-à-vis Indian," ujar Bruchac, "sementara menyampaikan informasi yang tak berguna secara virtual soal orang-orang Amerika Asli." Meski demikian, soal apapun itu yang dipegang laki-laki di lukisan, Bruchac tidak bisa mengabaikan kemiripannya. "Mirip banget, dengan cara objek itu dipegang dan cara hal itu fokus pada perhatiannya, seperti smartphone," dia bilang. Objek itu bisa jadi pisau. Teks religius. Cermin. iPhone di genggaman seorang pengembara waktu. Benda persegi panjang itu bisa kalian bayangkan manasuka deh. Kalaupun kalian ngotot itu ponsel pintar, ya sah-sah aja. Tapi belum tentu iPhone. Bisa jadi, itu Android kan?