Cerpen ini tayang sebagai bagian dari ‘Pekan Fiksi VICE: Indonesia 2038‘. Redaksi meminta penulis-penulis muda potensial negara ini menjelajahi kemungkinan situasi Indonesia pada 2038. Naskah yang kami terima rata-rata bercorak fiksi ilmiah, menyajikan gaya tutur segar, serta sudut pandang menarik saat mengulas topik seperti teknologi, lingkungan, agama, hingga nasib bahasa di masa mendatang.
Selamat membaca!
Videos by VICE
Buyan
Mobil tanpa supir yang Tante Nana tumpangi ini bodoh. Mungkin mobil itu belum baca berita, bahwa setengah dari Jakarta sudah tenggelam sepinggang. Pemerintah sedang mengupayakan reklamasi darurat.Masalahnya kantor pusat mereka juga tenggelam. Mereka mau rapat koordinasi di mana? Sekarang sudah hampir setahun pemerintah menutup separuh Jakarta.
Sebab terlalu sibuk mempercantik swafoto diSnapGram, Tante Nana tidak lagi memperhatikan jalan. Mobilnya melenggang pelan di jalur biasa, dia pikir akan aman-aman saja sampai rumah saudaranya di Cipete. Klakson mobil bertalu-talu yang akhirnya membuat Tante Nana mengangkat pandangan dari media sosial favoritnya. Tante Nana bingung. Patung Dirgantara ada di sebelah kanannya. Bukannya belok kiri ke Pancoran, mobil takbersupir ini malah melaju lurus. Naga-naganya dia akan meluncur terus ke Semanggi. Tante Nana panik dan menelepon keponakannya.
“Denis, tolong dulu ini. Mobil tante mau masuk Jakarta Pusat. Bagaimana ini cara setop-nya? Tidak ada supirnya.”
“Tante buka app-nya. Cari di menu, ada help center. Coba Tante contact,” usul Denis.
“Kamu saja yang hubungi, kasih tahu Tante ini mau tenggelam.”
“Mana bisa, Tante. Pesan mobilnya ‘kan pakai app Tante. Lagian kenapa nggak naik taksi biasa, sih?”
“Ya ampun, Denis, bandara Halim hujan lebat tadi. Antrean taksi panjang sekali sampai ke terminal sebelah. Tante pesan Kejar dan yang jawab cuma mobil buyan ini.”
“Tante kenapa nggak pilih yang ada supirnya? ‘Kan bisa pilih itu di app. Driverless car ini masih uji coba.”
“Aduh, Tante nggak ngerti. Di Palembang, Kejar-nya pakai supir semua. Menu yang mana itu di app? Heh, buyan, jangan ajak Tante ngobrol. Tante sudah turun ke Gatot Subroto ini.”
Sejak Jakarta lumpuh karena banjir bandang, tanah Jakarta Timur dan Selatan yang masih kering memang mengalami peninggian serta pertumbuhan pesat. Sayangnya pertumbuhan itu tidak disandingi dengan pembangunan akses jalur memutar atau jalan layang. Titik-titik tertentu masih lebih cepat ditempuh lewat ruas Lingkar Dalam. Ke sanalah mobil canggih ini membawa Tante Nana.Dengan bantuan Denis, Tante Nana menemukan help center di app-nya.
“Bagaimana ini cara teleponnya? Tante nggak bisa bahasa Inggris.”
“Ada, Tante, yang simbol telepon.”
Begitu Tante Nana menemukan simbol yang dimaksud, dia menekannya, seketika memutuskan sambungan telepon dengan Denis. Operator mesin menjawab telepon Tante Nana.
“Tekan satu untuk layanan dalam bahasa Indonesia. Press two—“
Tante Nana memekik kesal dan menusuk angka satu dengan ujung kukunya di layar ponsel. Kejar ini tidak tahu dia buru-buru? Mau bicara dengan CS saja harus pencet berapa angka?
“Untuk memastikan layanan yang kami berikan tetap yang terbaik, seluruh pembicaraan Anda dengan operator akan kami rekam,” kata operator mesin. Tak berapa lama kemudian, muncul suara operator manusia. Akhirnya.
“Selamat sore, dengan Kejar, ada yang bisa kami bantu?”
“Dik, tolong dulu ini, mobilku mau masuk Semanggi. Tolong di- setop.”
“Dengan siapa saya bicara? Boleh sebutkan nomor customer Ibu?”
“Oi, buyan, ini emergency! Coba cari di komputer kau itu mobil mana yang menuju Semanggi. Cepat, Dik! Aku sebentar lagiterendam!”
Operator memintanya untuk menunggu dan Tante Nana terpaksa mendengarkan Avi Rahmat dalam iklan terbaru Kejar. Tak di radio, TV, maupun telepon, Tante Nana lihat dan dengar Avi Rahmat di mana-mana. Sudah berapa banyak duit Avi Rahmat? Laku sekali sepertinya. Jangan-jangan muncul di infotainment saja dapat duit.
“Ibu Nana, terima kasih sudah menunggu. Kami sedang melakukan pemeriksaan. Sepertinya ada kesalahan dalam sistem peta mobil Ibu, di mana mobil Ibu masih menggunakan peta Jakarta yang lama. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.”
“Gampang kau minta maaf. Lantas bagaimana setop-nya?”
“Kami sedang meng- update sistem peta mobil Ibu dan mengambil alih pengendalian setir dari headquarter. Ibu tidak perlu khawatir. Mohon ditunggu kembali.”
“Halo? Halo?”
Avi Rahmat muncul lagi, menggantikan operator manusia yang hilang. Suara selebriti itu melengking tinggi mempromosikan Kejar.
“Kejar diskon lima puluh persen, dengan KejarTanpa Supir! Karena Nana sudah pernah naik Kejar Tanpa Supir, perjalanan Nana berikutnya gratis!”
Avi Rahmat terdengar akrab sekali dengan Tante Nana. Iklan-iklan dengan hypertargetiniberusaha mengubah konsumen menjadi kawan, tetapi kali ini Kejar gagal. Tante Nana merasa dimanipulasi. Telinganya berdengung membuyarkan konsentrasi. Pantauan Tante Nana sudah sampai ke Balai Kartini. Dashboardmenunjukkan mobil masihkonsisten di 40 kilometer per jam, membawanya semakin dekat dengan Semanggi. Tante Nana bisa lihat palang pembatas dan garis air di ujung jalan. Meskipun pendingin mobil berhembus sejuk, noda keringat berkembang di ketiak kemeja Tante Nana.
“Halo? Sudah belum ngobrolnya?” seru Tante Nana ke smartphone-nya. Seolah mendengar seruan Tante Nana, operator itu kembali lagi.
“Ibu Nana, kami mohon maaf sekali. Kami belum berhasil mengambil alih pengendalian mobil Ibu karena interrupted connection.”
“Apa itu artinya? Bahasa Indonesia sajalah.”
“Interrupted connection,” ulang operator.
“Indonesia! Cepat, Dik, aku mau kelelep ini!”
“Tidak ada sinyal, Bu, kami—“
“Apa? Buyannian kau ini. Bikin mobil jalan sendiri bisa, tapi cari sinyal tidak bisa? Mana bosmu? Aku mau bicara,” maki Tante Nana.
“Maaf, Ibu, kami tidak bisa—“
“Tidak bisa terus dari tadi. Pembicaraan ini direkam ‘kan? Rekam ini baik-baik, sampaikan ke bos-bos kau. Daripada kau bayar Avi Rahmat mahal-mahal, lebih baik uangnya untuk cari sinyal dan bayar supir.
“Aku idak peduli bagaimana caranya, setop mobil ini sekarang. Kalau aku mati, aku hantui kau tujuh turunan. Kalau hidup, aku komplen kau di SnapGram. Aku punya tiga ribu follower, tahu kau?”
“Ibu Nana, harap tenang, kami sedang mengirim regu penyelamatan. Mohon teleponnya jangan dimatikan.”
“Penyelamatan palak kau. Itu banyu sudah di depan. Cakmano setopnyo, oi?Tolong, aku nak mati!”
Mobil bodoh yang Tante Nana tumpangi menabrak palang kayu yang memisahkan jalanan kering dan basah. Tante Nana berteriak ngeri diselingi istighfar, minta mobil segera dihentikan. Tapi mobil ini tak punya telinga. Adik operator yang punya. “Ya Allah, ya Allah, ya Allah,” kata operator.
“Sudah sampai mana itu regu? Airnya sudah masuk mobil. Dik, tolonglah. Aku ini ke Jakarta mau ziarah makam suami, bukan nyusul dia. Aku cintosamo suami aku, Dik, tapi belum mau susul sekarang,” isak Tante Nana.
Air yang merembes ke mobil sudah membasahi mata kaki. Tante Nana meringkuk di kursi penumpang, melolong pilu ke adik operator. Gedung Samsat bergeming menyaksikan mobil yang parkir di hadapannya. Ternyata mobil Tante Nana sudah tidak bergerak lagi. Lho?
Tante Nana berhenti menangis dan melihat sekelilingnya dengan bingung.
“Bu, Ibu Nana. Ibu baik-baik saja?” panggil operator. Nadanya prihatin, mirip dengan teman-teman arisan ketika bertanya kenapa Tante Nana belum kawin lagi.
Tante Nana membaca peringatan di layar dashboard mobil.
“Katanya, ‘Warning! Chharjs your kar to kontinyu your terip.’ Apa artinya, Dik?”
“Alhamdulillah, ya rabbi, mobil Ibu habis baterai, jadi dia berhenti. Ibu sudah bisa turun sekarang, central lock-nya bisa dibuka manual.”
“Oi, buyan, aku kau suruh berenang? Jemput aku sekarang. Mau pakai perahu atau helikopter, terserah!”
Tante Nana menutup telepon dan mengambil berlembar-lembar tisu. Dia menyeka air mata dan kakinya. Sampai rumah nanti, dia akan suruh segenap sanak saudaranya hapus app bodoh ini. Kalau perlu, Denis yang bantu hapus semuanya. Kakak-beradiknya itu bodoh semua.
Menggunakan kamera depan ponselnya, Tante Nana pastikan rias wajahnya masih rapi. Kemudian dia buka SnapGram dan merekam video.