Dengan penuh kesedihan, rerpaksa kami informasikan bahwa buaya berkalung ban di Palu yang nasibnya begitu menyita perhatian segenap redaksi VICE belum juga terselamatkan. Ban yang diduga udah melekat di leher buaya sejak empat tahun lalu itu gagal dilepas Matthew Wright dan Chris Wilson, dua pakar buaya dari Australia yang turut membantu operasi penyelamatan.
Selain karena izin berada di Indonesia mereka sudah habis, Wright dan Wilson menghentikan pencarian karena mendapati perubahan perilaku buaya yang semakin takut kepada manusia semenjak operasi penyelamatan dilakukan.
Videos by VICE
Ketua Satgas Penyelamatan Satwa Liar dari BKSDA Sulteng, Haruna, mengatakan bahwa keduanya berniat kembali apabila pada Mei 2020 ban di leher sang buaya belum juga terlepas. Saat ini, tim penyelamat memutuskan untuk cooling down situasi demi keselamatan warga sekitar.
“Operasi akan kami terus lakukan walaupun tidak seintensif ini. Kami coba menarik simpati dulu sama satwa ini agar tidak terjadi perubahan perilaku yang signifikan,” kata Haruna kepada Kompas.
Haruna khawatir kalau terus-terusan diburu, buaya berkalung ban bisa stres. Kalau stres, khawatirnya buaya-buaya lain akan ikut terganggu. Kalau mengganggu buaya lain, kemungkinan besar bisa mengganggu masyarakat di sekitar Sungai Palu pula. Makanya tim memutuskan akan mantau situasi dulu aja.
Oke, ketika Haruna emang harus mikirin kepentingan masyarakat, bagaimana tentang kesehatan si buaya berkalung ban sendiri? Apakah dia happy-happy aja dengan hidupnya yang berbeda dibanding buaya lain ini? Menurut Wright, sampai saat ini kondisi buaya tersebut untungnya masih sangat sehat.
“Dia belum terpengaruh pada ban itu. Jadi, kita punya waktu beberapa tahun lagi,” ujar Wright. Pas dia ngomong gitu, rekannya, Chris Wilson, udah pulang duluan ke Australia.
Meski gagal, mari hargai perjuangan mereka berdua yang telah mendedikasikan delapan hari waktunya demi sang buaya. Ia datang dan bergabung bersama tim pada 10 Februari silam. Sebenarnya, izin berkunjung Wright di Indonesia udah berakhir pada Sabtu lalu (15/2), namun kemudian diperpanjang oleh BKSDA Sulteng hingga Selasa (18/2).
Selama di Palu, Wright dan Wilson udah melakukan berbagai cara untuk menangkap si buaya. Pertama, Matt memasang perangkap berbentuk kurungan dengan umpan bebek pada Selasa (11/2). Buntung, yang terjebak malah buaya lain. Lalu, ia dan BKSDA Sulteng juga mencoba memancing buaya keluar dari persembunyiannya dengan mengikat ayam ke drone yang diterbangkan di atas Sungai Palu. Mungkin kalau buaya takut kepada manusia, siapa tahu kepada teknologi dan ilmu pengetahuan sang buaya jadi lebih open. Sayang, cara ini juga gagal.
Lantas, tim mencoba cara yang lebih agresif. Saat buaya berkalung ban menampakkan dirinya, tim penyelamat mencoba menembakkan tombak harpun ke arahnya. Percobaan pertama gagal menembus kulit buaya, percobaan kedua malah meleset. Wright menganggap gerakan buaya terlalu cepat, mungkin karena ia punya ban (apakah jokes ini masih terlalu dini untuk dikeluarkan?).
Ada satu kendala yang diakui tim soal kenapa sulit sekali menyelesaikan misi ini, dan rasanya Indonesia banget: kehadiran masyarakat di sekitar sungai yang ngebet nonton proses penyelamatan.
“Kami optimis jika masyarakat yang menonton tidak bersorak, maka upaya penangkapan itu akan berhasil,” kata Haruna kepada Kumparan.
Menurut BKSDA, ada beberapa pihak yang juga mendaftarkan diri untuk jadi penyelamat buaya namun belum diberi kesempatan karena izinnya belum diurus. Soal izin yang ribet itu bisa dibaca di sini. Sementara waktu, penanganan buaya oleh BKSDA Sulteng akan dibantu oleh Satgas Penanganan Konflik Buaya BKSDA NTT Oktavianus Sene per Rabu mendatang (19/2).
Dari segenap jajaran redaksi yang begitu sayang dengan buaya ini, VICE akan terus melaporkan perkembangan sang buaya untuk Anda.