FYI.

This story is over 5 years old.

Easy Riders

Melacak Akar Sate Taichan Yang Popularitasnya Menggila Dari Senayan

Sate, masakan impor yang sukses dimodifikasi jadi kuliner khas Indonesia, dianggap tak mungkin lagi ada variasinya. Siapa sangka kolaborasi turis Jepang dan pedagang asal Madura sukses menciptakan sensasi baru dunia sate.
Semua foto oleh Yudistira Dilianzia.

Sate adalah jenis panganan yang berhasil terus mengalami evolusi. Jajanan pinggir jalan ini berubah seiring waktu. Dari awalnya hanya sejumput daging ditusuk kayu lalu dibakar di bara api, sate berkembang ke semua tempat di Asia Tenggara. Masakan yang sangat populer bagi penduduk Pulau Jawa ini turut menyebar ke Suriname dan Belanda pada era kolonial. Rupanya, jika kita menilik akar budaya sate lebih lanjut, orang Jawa bukanlah penemu sate. Semua bermula lebih dari dua abad lalu, kala penduduk Indonesia terinspirasi pedagang asal Gujarat dan Tamil yang memperkenalkan kebab. Seperti bermacam olahan masakan Indonesia lain, sate adalah bukti akulturasi budaya. Kebab diubah citarasanya agar lebih cocok lidah lokal dan dibuat jadi penuh bumbu rempah. Modifikasi berbasis kearifan lokal ini sukses besar, hasilnya sekarang orang menganggap sate adalah masakan asli Indonesia, tanpa sadar akarnya dari Asia Selatan hingga Timur Tengah sana.

Iklan

Tonton episode perdana Easy Riders, kolaborasi kami bersama UBER untuk menjelajahi lokasi-lokasi paling asyik dari Jakarta.


Siapa sangka, evolusi sate masih terus terjadi. Sampai hari ini. Tak terhitung sudah macam-macam jenis sate sesuai modifikasi lokal. Sate madura misalnya, dikenal karena bumbunya mengandalkan saus kacang dan kecap manis dalam jumlah melimpah. Sate Maranggi, lain lagi, menyodorkan aroma khas ketumbar walaupun juga masih sama-sama manis. Belum lagi perbedaan sate berdasarkan dagingnya. Ada sate ayam, sate sapi, sate kuda, hingga sate ular!

Namun, sempat untuk berapa lama sate dianggap masakan yang tidak mungkin diutak-atik lagi. Namanya juga daging dibakar. Variasi baru dinilai mustahil muncul. Karenanya tak akan ada yang bisa mengalahkan upaya penafsiran baru tentang sate di Indonesia, kecuali kalian menyambangi Senayan. Sebab di sanalah yang tadinya dianggap mustahil benar-benar terwujud.

Jika kamu melewati Jalan Asia-Afrika di kawasan Senayan, ada pemandangan rutin terjadi tiap pukul 21.00. Dari arah Hotel Mulia hingga ke arah Patal Senayan menuju selatan, secara tiba-tiba puluhan lampu neon menyala satu per satu mirip seperti ombak lampu yang menyala saling bersusulan. Saat puluhan lampu neon warna-warni bertuliskan "sate taichan" dengan merknya masing-masing telah menyala, itulah tanda gemerlap kancah variasi sate termuda dalam sejarah kuliner Indonesia itu dimulai.

Iklan

Sate taichan benar-benar baru dibikin resepnya tahun 2014. Sosok paling bertanggung jawab atas popularitas taichan adalah Amir, seorang pedagang sate keliling asal Pulau Madura, Jawa Timur, yang lama merantau ke Jakarta. Amir yang mangkal di Senayan, saat diwawancarai VICE, menyatakan semua bermula saat gerobaknya didatangi seorang turis lelaki asal Jepang. Pria itu ingin makan sate, tapi dimodifikasi jadi macam yakitori.

"Mula-mula ada orang yang makan dan minta satenya dibakar tapi enggak pakai bumbu kacang," kata Amir mengenang penemuan awal membuat resep sate Taichan yang kini heboh itu. "Sudah dibakar dan matang dia bilang jangan dikasih bumbu, tapi dikasih garam sama jeruk aja. Terus sambalnya ditaruh di pinggir karena dia enggak suka pedas."

Amir mengaku lupa nama si turis. Padahal, dia juga pantas disebut sebagai penemu. "Dia [orang Jepang] yang ngasih nama sate ini sendiri, dia langsung bilang kalau yang begini sebaiknya disebut sate taichan."

Aku diajak Amir menyaksikan langsung proses pembuatan sate taichan. Awalnya daging ayam yang dipotong kecil-kecil dan ditusuk sebatang bambu kecil seperti kebanyakan sate lainnya. Bedanya, sate taichan tidak diberi bumbu apapun. Kemudian, setelah dibakar hingga warnanya kecoklatan, sate dilumuri garam dan perasan jeruk nipis, baru setelahnya disajikan bersama dengan sambal dan lontong.

Rasa khas dan unik dari taichan segera populer bagi penikmat kuliner Ibu Kota. Kemacetan selalu terjadi setelah pukul 9 malam di sepanjang ruas Jalan Asia-Afrika, karena mobil dan motor berebut parkir di dekat tenda-tenda penjual sate taichan. Kurang dari dua tahun, nyaris semua pedagang kaki lima Senayan ikut berjualan sate taichan, meniru resep Amir. Dulunya mereka pedagang nasi goreng. Mereka beranggapan, taichan memberikan keuntungan yang lebih menjanjikan. Salah satunya Juki, 35 tahun, yang kini mengembangkan sate yang dia sebut 'taichan panahan'—berdasar lokasi pelatihan atlet panah yang hanya berjarak ratusan meter dari tempatnya berjualan.

Iklan

"Rata-rata semuanya [dulu] jualan nasi goreng, sekarang pindah jualan taichan karena lakunya lebih banyak," kata Juki yang akhirnya ikut tren menyajikan sate dua tahun lalu. "Dulu saya jualan nasi goreng begadang sampai pagi, lakunya cuma 20 porsi, taichan bisa 100-200 porsi, keuntungan jualan taichan bisa naik 80 persen dari waktu jualan nasi goreng."

Tentu, ada saja pedagang lama di ruas Asia-Afrika yang menolak ikut arus. Misalnya Bang Ucok, pedagang nasi goreng teri ala Medan yang berkukuh mempertahankan masakan utama warungnya. Dia menganggap sate taichan hanya akan jadi tren numpang lewat bagi kawasan Senayan. "Karena taichan itu sebetulnya kan bukan makanan pokok. Kita mau bertahan begini karena suatu saat nanti rombak lagi [trennya]. Kalau tren aja kan [harus] diikuti terus," kata Ucok.

Apapun nasibnya nanti, bertahan lama atau singgah sejenak di jagat kuliner Indonesia, faktanya tren sate taichan telah membuat wajah Senayan berubah. Dari yang awalnya didominasi anak muda keringatan pulang olehraga, atau mereka yang hendak balap mobil dini hari, kini malam di Senayan menjadi lebih hidup, lebih terang, membuka rezeki banyak orang.

Sebelum balik dari Senayan, aku kembali mendatangi gerobak Pak Amir. Aku bertanya padanya, seperti apa rasanya menjadi pencetus varian baru sate yang resepnya yang kini dicontek banyak orang? Apakah dia marah karena masakannya ditiru begitu saja oleh pedagang lain?

"Saya malah senang kalau sate taichan berkembang kemana-mana dari saya pelopornya," kata Amir, yang tersenyum dalam kucuran keringat di malam ramai itu. "Tidak ada perasaan kesal [resep saya ditiru], masing-masing orang kan sudah punya rezeki."