FYI.

This story is over 5 years old.

homofobia

Panduan VICE Untuk Ketua DPR Supaya Tak Keliru Lagi Saat Menulis Isu LGBT

Opini Bambang Soesatyo soal LGBT yang terbit dua hari lalu di koran banyak melesetnya. Tenang pak, kami tidak sekadar mengkritik. Nih, ada beberapa saran supaya ke depan opininya tidak homofobik lagi (kalau mau sih).
Foto Bambang Soesatyo via Wikimedia Commons/pajak.go.id/domain publik; Foto bendera LGBT via akun Flickr Ludovic Bertron/CC 2.0

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo adalah sosok homofobik sebenarnya bukan berita baru. Cuma, geli aja waktu dua hari lalu muncul opini dari politikus Golkar itu di Surat Kabar Koran Sindo. Bambang mengemukakan beberapa argumen yang bermasalah banget soal minoritas Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ). Di antaranya adalah: "ekses gaya hidup LGBT dianggap menghadirkan kasus pembunuhan berantai.” Bagian lain esainya juga bikin garuk-garuk kepala, yakni saat Ketua DPR mengasumsikan komunitas LGBT mendorong peningkatan kekerasan seksual terhadap anak. Dengan asumsi yang keliru tadi, menurut Bambang penting bagi publik mendukung perundang-undangan yang sedang dibahas Komisi III saat ini, tepatnya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dia berharap beleid yang “berfokus pada pengendalian gaya hidup komunitas LGBT”, dapat diloloskan dalam rapat paripurna.

Iklan

Mungkin karena keterbatasan ruang, waktu, dan ((wawasan))—asumsi kami kalau bukan dibikin sama ghostwriter, Bambang harus menulis opini tersebut di sela-sela kesibukannya memimpin parlemen—opini tersebut jadi banyak bolong-bolong di argumennya. Kami perlu melakukan ini supaya marwah Ketua DPR tetap terjaga, karena enggak mungkin dong membiarkan ketua DPR melontarkan argumen tidak logis dan datanya keliru parah. Makanya VICE sukarela mencoba menambal bolong-bolong di opini Ketua DPR. Untuk sementara, mari kita abaikan dulu fakta Bambang sering banget menggunakan kata sifat ganjil semisal “horor” dan “ekses” (apaan dah). Jadi, kami tidak sedang menyoroti gaya tulisan dan pilihan diksi. Fokusnya sama bangunan argumennya yang bermasalah. Berikut adalah tambahan informasi yang sebaiknya diketahui pembaca, dan terlebih Ketua DPR, supaya tidak terjebak kesalahan yang sama di kemudian hari. Siapa tahu nanti mau bikin opini lagi soal LGBTQ di Indonesia toh?

Mari kita mulai saja pembahasannya.

KOMUNITAS LGBTQ KERAP TERLIBAT TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN?

Di Opini Tertulis: “Akibatnya, masyarakat me­li­­hat dan merasakan bahwa ko­munitas LGBT kini tidak hanya leluasa mengekspresikan gaya hidupnya, tetapi leluasa pula me­la­kukan sejumlah tindakan yang terindikasi pidana.”

Faktanya: Dalam dua paragraf setelah pernyataan di atas, artikel tersebut menyebutkan empat kasus pidana pembunuhan yang kebetulan pelakunya adalah warga LGBT. Kasus mutilasi oleh Ryan (2008), jumlah korban tewas 11; kasus pembunuhan dengan racun oleh Mujianto (2012), jumlah korban 15, empat tewas; Lalu Kasus Badrun (2017), jumlah korban satu; serta Kasus Deni (2016), jumlah korban juga satu.

Iklan

Permasalahannya, opini Bambang sengaja tidak membandingkan kasus-kasus pidana pembunuhan oleh warga LGBTQ, baik secara kualitas maupun kuantitas, dengan kasus-kasus yang pelakunya heteroseksual. Kalau cuma begitu mah, saya juga bisa enteng menyebutkan kasus-kasus pembunuhan yang tak kalah “horor” dilakukan warga heteroseksual. Tapi kan enggak bisa gitu, soalnya orientasi seksual dan identitas gender tidak ada hubungannya sama perilaku kriminal.

Naila Rizqi Zakiah, Pengacara Publik LBH Masyarakat, sepakat sama pandangan saya merespons argumen Ketua DPR. “Nampaknya masih banyak orang yang tidak bisa membedakan perilaku dan identitas. Misalnya kalau ada satu orang Islam (identitas) melakukan pembunuhan (perilaku) terhadap 1 orang Kristen (identitas) [jangan sampai] kemudian disimpulkan bahwa ekses dari agama Islam sangat mengerikan karena terjadi pembunuhan terhadap kelompok agama lain. Apalagi sampai disimpulkan penganut Islam tukang bunuh. Ini adalah contoh kekeliruan berpikir,” kata Naila.

“Sama dengan kasus yang dicontohkan dalam op-ed, di situ terlihat sekali pengaburan antara identutas dan perbuatan. Pembunuhan itu bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak ada hubungannya dengan identitas seseorang.”

Sepemahaman Naila, statistik menunjukkan pembunuhan yang pelakunya heteroseksual jumlahnya “jauh lebih mengerikan.”

“Dari 173 pembunuhan terhadap perempuan yang terjadi pada 2017, menurut data 97,7 persennya dilakukan oleh laki-laki,” katanya. “Dan dari 193 pembunuhan terhadap perempuan pada 2016, hanya 4 yang pelakunya sesama perempuan.”

Iklan

KOMUNITAS LGBTQ SERING TERSANGKUT KEKERASAN TERHADAP ANAK?

Di Opini Tertulis: “Dalam catatan akhir 2017, Lembaga Perlindungan Anak In­do­nesia (LPAI) melaporkan bah­wa persoalan LGBT atau ke­ke­ra­san seksual sudah menjadi per­ma­salahan nomor dua bagi anak. Se­panjang 2017, ada 28 kasus anak kor­ban kekerasan; 17 kasus ke­ke­ras­an seksual, 9 kasus kekerasan fisik, dan 2 kasus ke­ke­rasan psikis. LPAI me­ng­ingatkan, ketidak­se­no­noh­an sek­sual sesama jenis ter­hadap anak memiliki kadar ke­burukan yang luar biasa, yaitu pe­nyesatan orientasi seksual anak.”

Perlu diketahui: Tak pernah ada bukti ilmiah dari penelitian di negara manapun, bahwa identitas seksual berkaitan dengan perilaku predator seksual menyasar anak-anak. Southern Poverty Law Center mengklarifikasi soal itu. Disebutkan bahwa telaah atas serangkaian penelitian yang dilakukan Gregory Herek, profesor di Universitas California, tidak menemukan bukti bahwa jumlah kekerasan seksual terhadap anak-anak oleh laki-laki homoseksual lebih tinggi ketimbang yang pelakunya laki-laki heteroseksual.

Menurut penelitian A. Nicholas Groth, perintis studi kekerasan seksual terhadap anak, ada dua jenis pelaku: fixated dan regresif. Tipe pertama tidak bisa dianggap homoseksual atau heteroseksual karena seringkali pelaku tidak memiliki hasrat seksual terhadap orang dewasa (baik perempuan maupun laki-laki), dan seringkali mengasari anak-anak tanpa pandang bulu. Sementara tipe kedua pada umumnya memiliki ketertarikan pada orang dewasa, namun kemudian boleh jadi menyasar anak-anak dalam kondisi tertekan.

Iklan

Groth turut menyimpulkan mayoritas pelaku memiliki orientasi seksual hetero dalam hubungan mereka bersama orang dewasa lainnya. Selain itu, The Child Molestation Research & Prevention Institute mencatat 90 persen pelaku menyasar anak-anak dalam lingkungan keluarga dan pertemanan, dan mayoritas adalah laki-laki yang sudah menikah dengan perempuan.

FYI aja nih: Laporan Lembaga Perlindungan Anak In­do­nesia (LPAI) yang disebut dalam artikel Bambang Soesatyo tidak ketemu setelah browsing ke sana ke mari. Artikel ini merupakan satu-satunya yang membahas laporan terkait, itupun tidak menyebut kaitan kasus-kasus kekerasan anak dengan komunitas LGBT. Saya juga tidak menemukan situsweb yang bisa memberi data pembanding. Omong-omong, LPAI dan Komnas Anak merupakan dua instansi yang berbeda. LPAI (tadinya Komisi Perlindungan Anak Indonesia) merupakan lembaga swasta yang diketuai Kak Seto. Sementara itu, Komnas Anak merupakan instansi pemerintah yang bekerja di bawah naungan Kementerian Sosial.

LGBTQ BISA DISEMBUHKAN?

Di Opini Tertulis: “Komunitas LGBT tak perlu khawatir ber­le­bihan, karena pe­nam­bahan materi pemidanaan itu tetap ber­pijak pada prinsip HAM. Ar­tinya, mereka yang ter­kategori sebagai LGBT atau se­se­orang dengan orientasi sek­sual ber­­beda tidak serta-merta bisa langsung dipidana, jika tidak mempertontonkannya di ruang publik, sebab LGBT mau­pun per­bedaan orientasi sek­sual pada prinsipnya bisa di­sem­buhkan. Faktor lain yang pa­tut diper­ha­tikan dengan sung­guh-sungguh oleh ko­mu­ni­tas LGBT adalah me­nguatnya resistensi masyarakat terhadap perilaku ini.” (Semua cetak miring dan penebalan dari saya ya).

Perlu diketahui: LGBT merupakan orientasi seksual dan identitas gender, bukan penyakit. Jadi, tidak bisa dan tidak perlu disembuhkan. Daripada mengulang-ulang debat yang mulai basi, silakan baca pernyataan American Psychiatric Association ini, yang juga memuat tautan berisi surat untuk Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.

Iklan

Selanjutnya, kira-kira apa yang dimaksud sama Ketua DPR soal penanganan “berpijak pada prinsip HAM”?

Saya kembali meminta bantuan Naila Rizqi Zakiah untuk menerangkan maksud Bambang. Siapa tahu saya salah baca. Rupanya Naila juga bingung tuh. “Bagaimana bisa kita memegang prinsip HAM kalau UU yang dibuat adalah untuk mengkriminalisasi kelompok tertentu karena perbedaan orientasi seksual atau ekspresi gendernya?” ujarnya. “Prinsip dasar HAM yang mendasar adalah nondiskriminasi.”

“Pengaturan apapun terkait LGBT jelas bertentangan dengan HAM. Kalau kita mau teguh dan konsisten pada prinsip HAM yang harus kita lakukan terhadap fenomena ini adalah menghentikan kebencian, tidak melakukan kekerasan, atau diskriminasi, serta menjamin perlindungan kepada mereka," imbuh Naila.

Selain itu, Naila juga menjelaskan, “mempertontonkan” identitas maupun ekspresi gender di ruang publik adalah bentuk dari kemerdekaan berekspresi yang harus dihormati dan dilindungi UU di Tanah Air. “Saya bisa bebas pakai jilbab maka orang lain, terlepas dari identitas gender, identitas politik, dan lainnya, punya hak dan kemerdekaan yang sama.”

Kita harus ingat, penggerebekan-penggerebekan yang dilakukan aparat hukum tak jarang terjadi di ruang-ruang privat. Contohnya kasus penangkapan 14 orang di Surabaya karena orientasi seksualnya. Tak jarang pula anggota kepolisian dibantu warga sipil menyasar pasangan gay di kos-kosan.

Iklan

BONUS: SOLUSI BUAT KETUA DPR KALAU KALI LAIN MAU MENULIS LAGI SOAL LGBTQ

Penting nih, supaya saya enggak dibilang bisanya cuma "mengkritik".

Di Opini Tertulis: “Karena sulit me­ne­mukan pasangan, kelompok-kelompok LGBT tak jarang membidik dan menjebak rema­ja serta anak-anak di bawah umur.”

"Pada 2012, Ke­menterian Kesehatan me­nge­luar­kan data yang menye­but­kan ada 1.095.970 pria penyuka seks sesama jenis. Per­tum­buh­an jumlah pria tipe ini diduga cukup pesat, karena tahun lalu sudah muncul perkiraan bahwa popu­lasi kaum gay sudah men­capai 3 persen dari total populasi In­do­ne­sia, atau sekitar 7 juta orang. Kalau jumlah ini aktif mem­pro­mo­sikan gaya hidup mereka, ten­tu saja akan sangat meng­kha­wa­tirkan.”

Kesimpulan: Jadi, menurut Bambang Soesatyo penyebab kelompok-kelompok LGBT “membidik dan menjebak remaja serta anak-anak di bawah umur” (yang kita tahu tidak berdasar sama sekali) adalah kelangkaan calon pasangan. Waduh, kalau begitu LGBT mending dibiarkan aja mencari pasangan. Sebab ketika mereka enggak jomblo, menuruti logika berpikir Ketua DPR yang cemerlang, komunitas LGBT enggak akan menyasar anak-anak dong (yang sebenarnya ngawur juga sih argumennya, karena sekali lagi, tak pernah ada bukti dan data valid bahwa semua LGBT menjadi predator seksual anak).

OK, mari serius. Kesimpulan yang benar: Warga heteroseksual mayoritas di Indonesia, termasuk Bambang Soesatyo, tak perlu khawatir berlebihan deh sama minoritas LGBTQ. Toh sebelum Indonesia merdeka, mereka udah ada dan segitu-segitu aja. Minim sekali yang rese' dan bikin onar (apalagi dibandingkan yang hetero). Kecuali dari awal niat bikin opini provokatif dan homofobik kayak gini adalah menarik simpati sebagian pemilih konservatif lewat metode mengkambinghitamkan komunitas LGBTQ. Kalau betul pola pikirnya kayak gitu, ya berarti udah enggak bisa dibantu deh. :P