Kualitas demokrasi Indonesia dalam kondisi darurat. Beragam problem politik-sosial muncul bertubi-tubi, khususnya sepekan belakangan. Muncul gelombang gerakan masyarakat secara organik. Tak heran sepekan ini beragam tagar seperti #HidupMahasiswa, #SurabayaMenggugat, #ReformasiDikorupsi, atau #GejayanMemanggil trending di media sosial.
Belum tuntas isu soal represi militer di Papua dan bencana pembakaran hutan di berbagai daerah, kini masyarakat menghadapi ancaman lintas sektoral yang merongrong demokrasi. Aktivis kini mudah diberangus dengan alasan “memprovokasi massa” dan “menyebar kebencian.” Buktinya ya seperti yang dialami aktivis sekaligus pembuat film dokumenter Dandhy Dwi Laksono, serta musisi Ananda Badudu, yang dijemput polisi dalam waktu berdekatan atas dua kasus berbeda.
Videos by VICE
Dandhy jadi tersangka karena cuitannya soal ricuh di Papua. Dia jadi tersangka dengan jeratan UU ITE, meski tidak ditahan. Sementara Ananda, yang pernah menjadi jurnalis VICE Indonesia, dijemput aparat karena menggalang dana buat demonstrasi mahasiswa. Dia sudah bebas dengan status sebagai saksi.
Deretan problem tersebut masih ditambah terancamnya kebebasan individu yang dikekang revisi KUHP. Sementara perjuangan memberantas korupsi sebagai amanat reformasi terpaksa dikebiri dengan adanya pembahasan revisi UU KPK yang dikebut parlemen dalam hitungan kurang dari dua pekan.
Masih ada sederet pasal kontroversial dalam setidaknya lima revisi undang-undang yang dikebut Dewan Perwakilan Rakyat tanpa proses akuntabel. Misalnya saja RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS), yang menurut lembaga Safenet disusun hanya dalam lima hari. Padahal beleid itu kalau sampai disahkan DPR, maka semua data privatmu (termasuk kebiasaan belanja onlinemu) berhak dipantau dan dienkripsi oleh Badan Siber dan Sandi Negara. Untunglah menurut Damar Juniarto dari Safenet, dalam rapat hari ini, Jumat (27/9), DPR batal meneruskan pembahasan RUU KKS.
Kasus tak jauh beda terjadi dalam pembahasan RUU Minerba yang seharusnya batal dibahas, sesuai permintaan Presiden Joko Widodo. Beleid yang diklaim aktivis sangat melayani kepentingan industri tambang itu mendadak hendak dibahas lagi oleh Komisi VII bersama Kementerian ESDM. Setelah kabar lanjutnya pembahasa RUU minerba bocor ke medsos, agenda rapat pada Rabu (25/9) malam batal. Itu belum termasuk skandal tewasnya dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, akibat kekerasan aparat, memicu kecaman luas dari organisasi muslim Muhammadiyah maupun kelompok mahasiswa.
Di tengah ketidakpastian itu, mahasiswa oleh Menristekdikti Muhammad Nasir dilarang berdemonstrasi. Pemerintah hendak memastikan mahasiswa fokus belajar saja, dengan cara menjatuhkan sanksi bagi rektor yang gagal mengadang demonstrasi dari kampusnya. Ah, nostalgia NKK/BKK bersemi kembali di kepala saya. Amboi.
Hmm, di udara aroma-aroma klasik yang dulu gampang tercium oleh penduduk Indonesia kembali menguar. Demo dikecam, mahasiswa hendak dijinakkan, aktivis dijemput polisi malam-malam, kerja pemerintah dan DPR tidak transparan. Waw, bener juga, semua itu ciri unggulan era Orde Baru pimpinan bapak presiden daripada Suharto.
Tapi kan kita sekarang punya pers yang bebas? Iya sih, asal kartu persmu tidak “kekecilan” dan kalian dalam posisi aman sedang tidak merekam aparat ketika menggebuki demonstran, mungkin jurnalis bebas dari intimidasi (atau minimal ‘cuma’ diambil ponselnya begitu saja macam dipalak preman pasar). Mungkin ada yang bilang, “jangan lebay. Sudah tak ada lagi dwifungsi ABRI.” Secara de jure benar. Tapi kok media sekelas Kompas sampai menyinggung “dwifungsi Polri” ya? Wahwahwah….
Melihat semua prakondisi itu, celetukan bahwa kita sedang memasuki reformasi “rasa Orde Baru” tak bisa dianggap enteng. Seruan itu makin menggema di berbagai platform hari-hari belakangan. Tanpa komitmen pemerintah meneruskan semangat Reformasi yang didengungkan 21 tahun lalu, hampir pasti kita semua masuk dalam jerat Orde Baru 4.0 yang sudah disesuaikan realitas zaman digital. Sebab represi tersebut nantinya tak cuma terjadi di dunia nyata, tapi juga dunia maya.
Pakar politik Phillips J. Vermonte dari CSIS pernah mengingatkan publik, bahwa “kita harus selalu mencurigai kekuasaan.” Makanya, siap-siap dengan risiko terburuk tak ada salahnya bukan? Sebagai millenial tua yang pernah menjalani SMP selama kejayaan Orde Baru, saya lumayan punya modal dikit lah membikin persiapan menghadapi masa-masa kelam macam itu.
Maka, inilah panduan yang kami susun menghadapi kemungkinan hidup dalam rezim OrBa gaya baru bagi kalian anak muda, terutama yang tidak pernah mengalami sendiri “enaknya” zaman apa-apa murah termasuk nyawa orang, di bawah cengkeraman bapak presiden daripada Suharto.
Sedia nomor kontak darurat dan siagakan ponsel, kalau “dijemput” dini hari
Penangkapan Dandhy dan Ananda dilakukan saat orang seharusnya istirahat. Dandhy ditangkap di rumahnya pukul 22:30 WIB di Bekasi, sementara Ananda dijemput pukul 4:30 saat terlelap di Tebet. Jangan panik bray. Mintalah surat tugas dan surat perintah penangkapan. Tanya identitas petugas polisinya. Tanpa itu semua, kamu bisa menolak penangkapan.
Sikap yang dilakukan Ananda juga patut diapresiasi. Dia terus memperbarui status media sosialnya, semata demi memberi informasi ke khalayak jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Tak lupa, Ananda juga terus merekam momen penjemputan tersebut yang diunggah ke akun Instagramnya, serta sempat menghubungi beberapa nomor kontak teman yang bisa dipercaya mendampingi saat situasi darurat.
Rentetan penangkapan aktivis tak cuma dua kali ini saja, dan justru menunjukkan bahwa bau otoritarian masih tercium meski Suharto lengser 21 tahun lalu. Dalam sejarah Orde Baru tak terhitung lagi berapa aktivis yang dipenjarakan dan dihilangkan. Coba mereka dulu punya ponsel pintar. Ini keuntungan tersendiri sob. Tapi ya harus ada paket data. Jangan ngandelin wifi mulu.
Sebelumnya aktivis Robertus Robet juga ditangkap karena dituduh menghina institusi TNI dalam aksi Kamisan Maret lalu. Kemudian ada aktivis dan pengacara Veronica Koman yang vokal terhadap isu Papua dan dijadikan tersangka.
Pahitnya lagi, dijemput petugas di rumah tak cuma bisa dialami aktivis. Ingat, negara ini punya pasal karet bernama UU ITE. Salah ngomong dikit, surat cinta dari polisi (atau malah aparatnya sendiri) bakal menghampirimu kapan saja.
Mulailah rajin bikin kelompok diskusi offline
Penangkapan Ananda dan Dandhy dilakukan polisi berdasarkan aktivitas media sosial mereka. Ananda sempat membuka penggalangan dana di KitaBisa dan senantiasa bergerak di linimasa Twitter untuk memberi bantuan selama demonstrasi.
Patut diingat, pasal karet UU ITE sudah ada jauh sebelum pasal-pasal kontroversial mangkrak di DPR. Betapapun elemen masyarakat mengecam pasal karet UU ITE, yang disahkan pada 2008, pemerintah bergeming. Undang-undang tersebut dijadikan senjata buat membungkam suara lantang publik dengan dalih menyebarkan kebencian dan pencemaran nama baik.
Salah satu pilihan dari sedikit opsi tersisa adalah bergabung dalam Paguyuban UU ITE. Ini kelompok advokasi penting yang lebih sering kopi darat, alias ketemuan di dunia nyata. Selain itu, buat kalian pelajar dan mahasiswa, rajin-rajinlah bikin kerja kelompok untuk mendiskusikan realitas sosial-politik terbaru. Reformasi 98 tidak terjadi ujug-ujug. Benihnya tersemai sejak dekade ’80-an dengan maraknya ‘study club’ di berbagai kampus, yang sebenarnya kaderisasi kelompok intelektual kritis. Jangan lupa bawa laptop, biar kelihatan kerja kelompok beneran, hehehe…
Ingatlah, gerakan akar rumput tak akan pernah bisa ditumpas. Sebab yang patah tumbuh hilang berganti. Masyarakat akan melawan sampai jadi debu.
Mulai berlatih manajemen aksi untuk persiapan demonstrasi jangka panjang
Selama revisi berbagai UU belum dicabut, proses legislasi harus dikawal meski periode kerja anggota dewan akan berganti. Medan perang tak cuma ada di meja hijau ataupun media sosial, tapi juga yang paling primordial sekalipun: jalanan. Maka ketika elemen mahasiswa dan masyarakat melebur menjadi gerakan perlawanan, hal itu tak akan bisa terelakkan. Menilik protes yang terjadi di Hong Kong yang menolak UU ekstradisi Tiongkok, demonstrasi bisa terjadi berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.
Apa yang dilakukan Ananda adalah bentuk pengorganisiran yang patut dicontoh. Sebab tanpa itu, gerakan masyarakat hanya bakal tercecer dan jauh dari hasil yang diinginkan. Mungkin saatnya kita belajar strategi para demonstran di Hong Kong, yang membuat polisi kewalahan. Berbekal payung, masker anti gas air mata, dan strategi melempar balik serangan polisi, demonstran Hong Kong tak sekalipun mengendur.
Pantau Kebangkitan ‘Kopkamtib Dunia Siber’
Yang mungkin terlewat dari perhatian masyarakat, rancangan UU Keamanan dan Ketahanan Siber juga tak kalah mengancam gerakan akar rumput. Meski belakangan Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan RUU tersebut tak bakal disahkan periode ini, tetap muncul kekhawatiran jika tak ada pengawalan dalam pembahasannya di legislatif.
Sebab, seperti dikutip dari draft UU tersebut, “Dalam rangka melaksanakan kegiatan keamanan dan ketahanan siber penyelenggara keamanan dan ketahanan siber wajib membentuk pusat operasi keamanan dan ketahanan siber.” Pusat operasi keamanan dan ketahanan siber sebagaimana yang dimaksud wajib terkoneksi dengan pusat operasi keamanan dan ketahanan nasional.
Yugo Hindarto, dalam esainya di CNN Indonesia, menilai komando keamanan siber itu tak ubahnya seperti Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang lahir di era Orde Baru sebagai bentuk represi terhadap semua yang dianggap mengancam keamanan nasional, sembari punya kekuasaan buat mengawasi masyarakat di semua lini kehidupan. Kopkamtib lantas bertransformasi menjadi Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang ada hingga di level kabupaten.
Jangan lelah menuntut akuntabilitas aparat dan pemerintah
Sepanjang sejarah gerakan masyarakat di Indonesia, selalu muncul martir akibat respon tangan besi pemerintah. Immawan Randi dan Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, tewas di tengah aksi menolak RUU bermasalah di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tenggara bersama sejumlah mahasiswa lain. Lubang sebesar pulpen di dada kanan Randi menganga. Dia kena peluru tajam. Sementara Yusuf tewas setelah koma akibat trauma di kepala.
Situasi tersebut melempar kembali pada ingatan 20 tahun silam. Ketika gerakan mahasiswa dan masyarakat dibungkam dengan semburan peluru aparat. Pada 24 September 1999, mahasiswa Teknik Elektro Universitas Indonesia Yap Yun Hap meregang nyawa saat mengikuti aksi menolak UU Penanggulangan Keadaan Bahaya di. Insiden itu lantas dikenang sebagai Tragedi Semanggi II. Usia Yap dan Randi sama ketika mengikuti aksi: 21 tahun.
Dari era Orde Baru hingga sekarang, impunitas aparat ibarat benteng yang tak akan pernah bisa ditembus. Keadilan tak juga muncul buat para keluarga dan penyintas. Dalangnya tak pernah terungkap meski kecaman masyarakat dan investigasi tim independen menumpuk. Tapi kita tidak boleh lelah. Sebab energi menuntut akuntabilitas itu yang harus dijaga. Jangan khawatir, kita punya panutan yang harus dicontoh: mereka adalah ibu-ibu Kamisan yang selalu berdiri konsisten lebih dari 600 pekan di seberang istana menuntut jawaban kenapa keluarganya dulu dibunuh dan diculik saat Reformasi 1998.
Selalu perhatikan kiprah ‘Harmoko’ era baru: para buzzer medsos
Harmoko adalah simbol Orde Baru paling dibenci pegiat reformasi. Dia bertahun-tahun menjabat sebagai Menteri Penerangan, atau lebih tepatnya, menteri propaganda rezim Suharto. Berkat penjelasan Harmoko, pemerintah selalu berhasil dan hidup terasa baik-baik saja. Harga gabah oke, ekonomi siap tinggal landas, presiden selalu peduli nasib kita, memang sih terjadi pembantaian di Santa Cruz dan umat muslim di Tanjung Priok tidak pernah ada pelanggaran HAM, itu semua “hoax”. Akibat sifat manipulatifnya itu, nama Harmoko sempat diolok sebagai kepanjangan dari “Hari Hari Omong Kosong.”
Departemen Penerangan dibubarkan setelah reformasi. Kominfo beda banget tugasnya. Tapi jangan salah, Harmoko-Harmoko kecil bermunculan. Wujudnya adalah buzzer yang gentayangan di medsos kalian. Mereka aktif kapan saja. Menjelang pemilu, ataupun di hari-hari biasa. Di tangan buzzer, semua kabar tentang kubu yang mereka bela jadi positif. Sementara semua lawan politik nista. Mereka ini parasit demokrasi, yang mendekat pada kekuasaan, menjadi perpanjangan tangan negara, padahal tak dipilih secara demokratis.
Harmoko gaya baru ini dalam wujud buzzer ini bahkan bisa bikin aparat kepleset lho. Lihat saja insiden kabar soal ambulans DKI dan PMI mengangkut batu dan bensin tempo hari. Netizen jengkel pada isu batu ini, karena unggahan video akun Twitter @TMCPoldaMetro dibarengi dengan beberapa akun lain yang kental citranya sebagai buzzer pro-pemerintah. Berturut-turut, akun-akun ini mengunggah berita yang senada dengan yang diunggah polisi. Ada tiga akun yang mengunggah video soal dugaan ambulans batu itu lebih dulu daripada akun resmi kepolisian.
Jadi, waspadalah. Selalu pantau tagar yang diramaikan akun dengan kombinasi huruf dan angka. Kalau ramainya gara-gara giveaway, yakinlah ada udang di balik batu yang sedang disodorkan pada penghuni dunia maya. Misalnya ya, kabar kalau industri sawit itu selalu baik. Awas, tidak boleh dibantah. Kalian mau jadi musuh rezim lalu dijemput malam-malam?!