Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.
Sempat dibesarkan dalam era progressive rock 70-an, tapi tetap cukup muda untuk menganut paham punk yang tidak kenal omong kosong, Soundgarden muncul pada akhir dekade 80-an di Amerika Serikat, membangkitkan era musik hard rock klasik—riff-riff blues yang kencang, seksi ritme yang solid, dan raungan vokal penuh lengkingan—tanpa elemen “rockstar” lebay yang kerap diterapkan band-band rock era sebelumnya. Mereka belajar dari kesalahan-kesalahan band favorit masa itu—entah album konsep yang jumud, lirik misoginis, atau kebanyakan gaya—dan mempersembahkan musik rock yang sederhana namun efektif. Ketika diwawancari Majalah Rolling Stone di salah satu edisi 1989, Cornell mengatakan “Led Zeppelin itu gerombolan idiot yang kebetulan menulis riff-riff gitar keren.” Soundgarden sebetulnya terpengaruh oleh groove band Jimmy Page dkk, tapi tetap bebas dari nuansa “fantasi” berlebihan. Soundgarden memilih menulis lirik tentang kehancuran lingkungan, maskulinitas cowok yang rapuh, dan gangguan mental.
Awal dekade 90-an, ketika karir Soundgarden mencapai puncaknya, mereka terlihat sangat perkasa dan penuh percaya diri, membuat kita lupa bahwa lagu-lagu terbaik mereka bercerita tentang perasaan lemah, kesepian, dan kekecewaan—berbagai bentuk keputusasaan yang mendalam. Lengkingan suara Cornell kerap disandingkan dengan vokal Robert Plant, namun ada perbedaan yang mendasar. Apabila frontman Led Zeppelin melengking untuk menirukan reaksi orgasme, lengkingan Cornell dimaksudkan untuk menyampaikan perasaan panik dan teror.
Videos by VICE
Kini, elemen kelam dari musik Soundgarden menjadi karakteristik utama band tersebut, apalagi setelah berita kematian vokalis Chris Cornell akibat gantung diri menyebar luas pekan lalu. Sisi gelap band ini seakan kembali dibangkitkan, membuat lagu-lagu seperti “The Day I Tried to Live,” “Like Suicide,” atau “Pretty Noose” memiliki makna yang lebih mendalam. Jangan salah, bukan berarti karena kejadian tragis ini, Soundgarden bisa dikategorikan sebagai band grunge serba “galau”. Biarpun lagu mereka yang paling populer bercerita tentang kehidupan di Minnesota yang depresif, diskografi Soundgarden memiliki banyak wajah yang berbeda. Berikut lima di antaranya menurut analisis mendalam Noisey lengkap dengan contoh-contohnya supaya kursus singkat kalian lebih maksimal:
Sisi Nge-Pop Soundgarden
Banyak orang mengira bahwa album Nevermind milik Nirvana menghapus popularitas hair metal. Padahal sesungguhnya Soundgarden memiliki peranan tak kalah penting dalam pergeseran selera musik anak muda di AS memasuki dekade 90-an. Soundgarden adalah agen ganda musik rock ideal, satu-satunya band dari label punk independent SST yang tidak akan terasa salah tempat saat membuka aksi panggung Guns n’ Roses, tapi di waktu berbeda bisa menjadi semacam segerombolan bocah punk yang tampil dalam acara metal MTV The Headbanger’s Ball.
Saat diwawancarai Marc Maron pada 2014, Cornell menceritakan pengalaman pertama kali mendengarkan lagunya “Get On The Snake,” di stasiun radio komersial: “Waktu itu gue denger lagunya diputer di antara sederetan musik folk ala Tom Petty. Trus gue membatin, ‘Wah bisa juga ya!’” Tidak heran, mengingat lagu tersebut mengikuti pakem standar hard rock: riff gitar yang cocok dimainkan di strip club, groove yang asik, dan lirik Cornell yang menggunakan kiasan untuk menggambarkan kemaluannya. Semacam tipikal lagu macho rock yang dikombinasikan dengan paranoia paska-AIDS: “jangan khawatir,” nyanyi Cornell berusaha meyakinkan pendengar, “semuanya bersih.”
Ketika “Outshined” mengangkat Soundgarden menjadi band favorit MTV di 1992, ini membuka jalan bagi band-band sludge rock lainnya seperti Kyuss dan Monster Magnet untuk masuk ke pasar mainstream (biarpun nanggung-nanggung). Namun kini, dampak dari peninggalan Soundgarden dalam kancah musik rock mainstream paling terdengar lewat lagu-lagu power ballad apokaliptik seperti “Black Hole Sun” dan “Blow Up the Outside World,” atau tembang akustik macam “Pretty Noose” dan “Burden In My Hand”—lagu-lagu yang menggabungkan aksesibilitas pop dan rasa cemas, sebelum nanti akhirnya diubah menjadi anthem bro-rock penuh amarah oleh Nickelback, Staind dan banyak lagi. (Jangan lupa, drummer Soundgarden, Matt Cameron pernah membantu Chad Kroeger menyanyikan lagu tema Spider-Man, “Hero.”)
Playlist Pop ala Soundgarden: “Get on the Snake” / “Outshined” / “My Wave” / “Fell on Black Days” / “The Day I Tried to Live” / “Burden In My Hand” / “Pretty Noose”/ “Been Away Too Long”
Sisi Ganas Soundgarden
Setelah dua puluh lima tahun, sulit dipercaya bahwa album crossover mainstream Soundgarden diisi oleh lagu-lagu seperti “Rusty Cage” dan “Jesus Christ Pose.” Lagu-lagu tersebut bukan hanya keras dan kencang, mereka juga aneh, teknikal, berstruktur ganjil dan penuh dengan teriakan histeris Cornell yang akan membuat bulu kuduk berdiri.
Lagu seperti “Loud Love” terdengar seperti Jimmy Page yang sedang dilindas traktor dan proto-doom “Fourth of July” diiringi oleh vokal double-tracked Cornell yang gila, menunjukkan esensi seseorang yang berusaha terlibat tabah biarpun batinnya panik. Bahkan setelah Soundgarden “diakui” oleh industri musik rock, mereka tidak membuang akar hardcore mereka—lagu “Ty Cobb” akan menghajar kuping anda layaknya tongkat baseball tanpa ampun. Dan biarpun album comeback mereka di 2012, King Animal dianggap terlalu jinak untuk bisa menyaingi band gahar lain dari era 90-an, maka lagu “By Crooked Steps” menunjukkan Soundgarden tetap bisa membuat para pendengarnya sekalipun terpukau.
Playlist gahar Soundgarden: “Beyond the Wheel” / “Loud Love” / “Rusty Cage” / “Slaves & Bulldozers” / “Jesus Christ Pose” / “New Damage” / “Birth Ritual” / “Cold Bitch” / “Fourth of July” / “Ty Cobb” / “By Crooked Steps”
Sisi Psikedelik Soundgarden
Akhir 80-an, pengaruh psikedelia (baca: narkoba) mulai menjalar ke dalam ranah musik post-hardcore underground yang dulunya anti obat-obatan. Soundgarden—band yang namanya diambil dari alat musik tradisional didgeridoo—sama sekali tidak keberatan menggabungkan brutalisme musik mereka dengan elemen psikedelia. Ya elah, wong lagu pertama di album perdana mereka dikasih judul “Flower,” berisikan senandung tanpa lirik Cornell dan tekstur gitar Kim Thayil yang terdengar seperti sitar (teknik yang digunakan di lagu-lagu seperti “Like Suicide” dari Superunknown dan “A Thousand Days Before” dari King Animal).
Biarpun dari sisi sound, Soundgarden tidak pernah terdengar seperti band 60-an, tapi mereka sering melontarkan sentimen bernuansa hippie dalam musik-musiknya. Apa bedanya? Musik yang mengiringi psikedelia ala Soundgarden lebih mirip heavy metal. Di lagu “Hands All Over”, contohnya, Cornell berteriak “kau akan membunuh ibumu!” Tenang, dia sejatinya sedang bernyanyi tentang kerusakan ekologi di planet Bumi (Planet yang menjadi ibu semua manusia).
Playlist Psikedelik Soundgarden: “Flower” / “Hands All Over” / “Searching With My Good Eye Closed” / “Superunknown” / “Head Down” / “Like Suicide” / “Jerry Garcia’s Finger” / “Applebite” / “A Thousand Days Before”
Sisi Funky Soundgarden
Soundgarden muncul di akhir 80an ketika musik “alternative rock” penuh dengan band-band metal yang suka menampar bass—Jane’s Addiction, Faith No More, dan sebagainya. Semenjak awal karir mereka, Soundgarden selalu menunjukkan seksi ritme yang prima—EP debut mereka, Screaming Life, menampilkan lagu post-punk dub bernuansa Bauhaus “Entering.” EP selanjutnya, Fopp menunjukkan pengaruh besar dari band funk legendaris, Ohio Players.
Bahkan ketika grunge menjadi semakin populer dan tergolong straight-forward di AS, Soundgarden tidak pernah kehilangan groove, biarpun groove ini menjadi semakin rumit. Gak peduli apakah anda mengerti time signature 7/4 atau tidak, lagu “Spoonman” masih menjadi lagu dengan breakdown perkusif gemerincing terbaik selain “Funk #49,” milik James Gang.
Playlist funky ala Soundgarden: “Entering” / “Fopp” / “Mood for Trouble” / “Thank You (Falletinme Be Mice Elf Again)” / “Let Me Drown” / “Spoonman” / “Kyle Petty, Son of Richard” / “Dusty”/ “Non-State Actor”
Sisi Jenaka Soundgarden
Tidak banyak foto resmi Soundgarden yang menampilkan anggota band tersenyum, tapi mereka selalu berusaha mengingatkan pendengar bahwa mereka bukan tipe yang kelewat serius. Ingat ketika mereka mengcover lagu Spinal Tap “Big Bottom” dan lagu Cheech and Chong berjudul “Earache My Eye”?
Di potongan kompilasi “Sub Pop Rock City” rilisan 1988, mereka secara iseng merekam skit dialog pendek menggunakan pesan mesin penjawab telpon dari pendiri label tersebut, Jonathan Poneman dan Bruce Pavitt. Album perdana Soundgarden, Ultramega OK, ditutup dengan lagu “One Minute of Silence,” semacam “cover” dari lagu John Lennon dan Yoko Ono “Two Minutes of Silence”—yang hanya berisikan suara ocehan sayup-sayup dan bunyi plug-in ampli gitar.
Ketika album Louder Than Love dirilis di 1990, gurauan-gurauan pribadi ini berkembang menjadi kritik kultur yang nakal, misalnya “Big Dumb Sex” yang mengolok-ngolok tipikal lagu hair metal yang penuh innuendo seksual. Momen-momen ringan seperti ini biasanya bisa ditemukan di B-side seiring rilisan Soundgarden menjadi semakin emosional. Biarpun berita kematian Cornell sudah pasti akan mendorong penggemar untuk kembali mendengarkan lagu-lagu Soundgarden yang paling spiritual, lagu terbaik yang menunjukkan sosok Cornell secara lengkap tidak lain adalah “She Likes Surprises.” Lagu ini menunjukkan sisi ballad bernuansa Beatles dan sisi rocker Cornell secara ringan lewat sebuah lagu power-pop berdurasi tiga menit yang apik.
Playlist jenaka Soundgarden: “One Minute of Silence” / “Sub Pop Rock City” / “Full on Kevin’s Mom” / “Big Dumb Sex” / “Big Bottom” / “Earache My Eye”/ “Half” / “Exit Stonehenge” / “She Likes Surprises”