Artikel ini pertama kali tayang di Noisey
Jujur saja, Pearl Jam tak pernah sepenuhnya dicintai atau dianggap keren sejak awal dekade ‘90an. Eddie Vedder Cs kadang tak lolos celaan dalam ulasan atau artikel yang agak “berpihak” mereka. Misalnya nih, kalau baca artikel dari masa itu mengenai alasan Pearl Jam sebenarnya lebih punya andil dalam membesarkan sebuah genre bernama grunge—yang ditulis dengan sangat menyenangkan oleh Brendan Kelly dari The Lawrence Arms, Pearl Jam tetap dituding sebagai “band grunge nomor dua yang cupu banget.”
Videos by VICE
Pearl Jam tak pernah bisa sepenuhnya cool bukan lantaran faktor inheren dalam band yang semula bernama Mookie Blaylock itu. Pada 1992, dikotomi antara Nirvana dan Pearl Jam sedang tajam-tajamnya. Kala itu album kedua Nirvana, Nevermind, masih nangkring di puncak Billboard Chart. Pearl Jam sebenarnya tak jelek-jelek amat. Mereka menguntit di posisi kedua. Semua kesan itu dipicu dikotomi persepsi publik antara kedua band tadi—yang intinya menganggap Nirvana itu keren dan orisinil, sementara Pearl Jam cuma musisi rock yang ikut arus grunge doang. Kesannya Pearl Jam berada di level lebih rendah dari Nirvana. Hal ini diperparah oleh ucapaan Kurt Cobain. “Saya selalu benci band mereka,” katanya kala ditanya wartawan tentang Pearl jam.
Begitulah, garis batas antara dua raksasa dari skena grunge ini ditarik dengan jelas—tentunya setelah dikompori media. Imbasnya tak main-main. Sampai saat ini, Nirvana selalu dianggap sebagai punggawa grunge yang tak pernah salah, tanpa cela. Sementara, Pearl Jam adalah band kelas dua yang ujung-ujungnya bertanggung jawab menghancurkan grunge itu sendiri.
Faktor lain yang mencemarkan nama baik Pearl Jam, ironisnya, adalah teknik bernyanyi yang menggeram—bahkan cenderung ngeden—ala Eddie Vedder. Lagi-lagi, ini juga bukan sepenuhnya salah Edward Louis Severson Jr II, nama lengkap sang vokalis Pearl Jam itu. Vedder memang bernyanyi apa adanya. Begitulah cara dia menyanyi—atau katakanlah menyalurkan emosinya. Masalahnya, cara bernyanyi macam ini dikodifikasi sebagai cara vokalis pria mengekspresikan dirinya dalam kerangka rock modern sejak pertengahan dekade ‘90an. Syahdan, lahirlah kemudian band post-grunge busuk macam Three Doors, Creed dan tentunya, yang paling parah, Nickelback. Saking banyaknya vokalis pria yang meniru cara Vedder bernyanyi, kita makin bingung membedakan Pearl Jam dari epigon-epigonnya.
Pertanyaannya kemudian, apakah Pearl Jam bisa dianggap sebagai band yang keren jika kita bisa mengesamping dua hal di atas? Jawabnya sederhana jelas: Bisa banget! Tanpa dua dua “cela” yang sudah disebut sebelumnya, Pearl Jam punya katalog album maupun EP yang kaya dan layak sekali dinikmati para pecinta rock.
Bahkan ketika masih berada di masa kejayaan komersialnya, Pearl Jam seakan mengambil posisi sebagai Grateful Dead-nya skena grunge—pilihan yang menurut saya kurang cihui. Mulai dari album ketiga mereka, Vitalogy, Pearl Jam secara sadar memilih mengeluarkan album yang kurang ramah dan komersial, bahkan untuk ukuran fans berat mereka. Eddie dkk sampai album itu tetap menolak mengeluarkan videoklip atau melakoni wawancara promosi. Tetap saja, dua hal ini tak lantas meredupkan sinar Pearl Jam. Toh saat itu, Eddie Vedder dkk kadung jadi salah satu band paling besar sejagat.
Satu hal yang kemudian menyingkirkan Pearl Jam dari perhatian penikmat musik mainstream adalah saga melawan Ticketmaster. Gara-gara perlawanan mereka pada kartel penjualan karcis pertunjukan ini, penikmat musik kesulitan menonton salah satu band terbesar di Negeri Paman Sam di puncak kesuksesan. Kala itu, rasanya tak masuk akal bagaimana band yang berhasil menjual 32 juta album di AS saja, ditambah 60 juta keping lainnya di seluruh dunia, dilarang mangung di venue-venue besar dan berubah statusnya sekelas band cult dalam sekejap. Pearl Jam tampaknya tak peduli mengalami boikot dari jaringan kartel penjualan karcis. Mereka nyaman memanggul status sebagai band cult.
Singkatnya, gara-gara apa yang mereka lakukan melawan Ticketmaster, Pearl Jam menutup diri dari dunia dan membiarkan diri mereka dianggap sebagai band bagi “om-om” yang tidak terlalu berusaha merangkul pendengar baru. Ironisnya, itulah yang jadi alasan dasar kenapa kita harus menyempatkan diri mendengarkan Pearl Jam. Eddie Vedder dkk sudah berada di posisi ini begitu lama dan menciptakan musik dengan caranya sendiri. Bermodal kemauan yang keras, Pearl Jam bertahan lebih dari dua dekade. Barangkali, Pearl Jam melakukan semua ini untuk menunjukkan bahwa menjadi band nomor dua itu ada untungnya dan meredup bisa jadi jadi pilihan yang lebih bijak daripada terbakar habis dalam waktu singkat seperti Nirvana.
Untuk menghormati semua capaian mereka, berikut panduan redaksi Noisey bagi para pemula, atau mereka yang tak terlalu mengenal Pearl Jam, jika ingin menikmati katalog musik Eddie Vedder dkk yang sangat kaya.
Pearl Jam Sebagai Band Classic Rock-nya Kancah Grunge
Ten, yang dirilis pada 1991, mencuatkan nama Pearl Jam dalam peta musik global. Masalahnya kalau kami memasukkan semua hits dari album tersebut ke playlist ini, tentu itu tindakan goblok. Kita toh sudah hafal mati semua lagu-lagu itu. Pun, kita sudah memilih untuk menyukai atau membenci lagu-lagu itu. Tapi, ketahuilah, kalau kamu pernah sangat membenci Ten, Pearl Jam juga terang-terang memusuhi album ini bahkan dari awal pengerjaannya.
Lalu, walaupun, pada 2009, hasil mixing ulang album ini—dijuduli Ten Redux—berhasil meningkatkan kualitas sound albumnya, usaha itu tak berhasil mengangkat semua potensi debut Pearl Jam. Proses penulisam album Ten sepenuhnya disetir oleh gitaris Stone Gossard dan bassist Jeff Ament. Duo ini berusaha mati-matian menarik Pearl Jam keluar dari bayang-bayang glam metal Mother Love Bone—band keduanya yang bubar dengan tragis. Sayang, usaha Gossard dan Ament tak sepenuhnya berhasi. Ten masih kerap dibayang-bayangi pengaruh glam metal pada anggota Pearl Jam. Namun begitu, versi Ten Redux dari “Once” dan “Release” menunjukkan sebenarnya Pearl Jam perlahan menjauhi ambisi glam metal atau hard rock 80an mereka. Tanpa produksi yang murahan, dua lagu terbukti nendang abis.
Tanda-tanda pertama yang menunjukkan Pearl Jam berhasil menemukan sound mereka sendiri adalah “State of Love and Trust,” salah satu soundtrack film Cameron Crowe, Singles. Track ini memperlihatkan Pearl Jam yang berhasil menyeimbangkan chorus yang angsty yang kala itu merajai radio alt-rock dengan riff-riff classic rock yang digodok oleh Gossard dan McCready. Pearl Jam lantas mengembangkan formula ini dalam album kedua mereka, VS. Album kedua Pearl Jam ini dipenuhi dengan komposisi yang lebih direct dan performa liar yang seakan-akan dibuat untuk menjawab tudingan bahwa Pearl Jam bukan sebuah band yang otentik. “Leash” adalah contoh yang paling gampang. Pearl Jam, di lagu ini, memanfaatkan part lead guitar yang kedengarannya asal-asalan dengan baik dan menggunakan sebagai counterpoint melodik bagi teriakan parau Vedder “Get out of my fucking face.”
Meski dipenuhi dengan lagu-lagu rock beroktan tinggi, VS juga untuk pertama kali mengunjukkan bagaimana jadinya jika Pearl Jam memberangus semua tendensi bombastis mereka dan bermain dengan sangat kalem. “Daughter” contohnya, lagu ballad ini berhasil memamerkan kemampuan sebenarnya Eddie Vedder sebagai seorang vokalis.
Vitalogy adalah album terakhir yang mengusung semangat zaman awal 90’an, dan mungkin album terakhir Pearl Jam memiliki hits di tangga lagu. Vitalogy royal sekali memberi Vedder ruang memamerkan segala kemampuan vokal yang dia miliki. Lantas, rekan-rekannya berhasil mendekati sound yang mengaburkan batas lagu rock yang gesit dengan ballad kaya ratapan lewat lagu “Last Exit” dan “Corduroy.” Dua lagu ini lantas berfungsi sebagai cetak biru track-track Pearl Jam di masa setelahnya. Lewat dua lagu inilah, Pearl Jam dengan sengaja keluar kerangka grunge, menuju sesuatu yang asing di skena yang membesarkan nama mereka.
Di tahun-tahun setelah Vitalogy, Pearl Jam nyaris berhenti menyuguhkan lagu-lagu yang “siap santap..”. Hal ini paling kentara di album No Code dan bahkan di album yang dianggap sebagai usaha Pearl Jam kembali ke sound-sound awal mereka, Yield. Kendati demikian, yang menarik dari Pearl Jam adalah Eddie Vedder cs selalu menyisipkan lagu-lagu crowd pleaser bahkan di album-album mereka yang paling susah dinikmati sekalipun. Lagu-lagu seperti “Given to Fly,” “Insignificance,” atau bahkan “The Fixer” dari album Backspacer [2009] terdengar seperti lagu-lagu yang harusnya merajai gelombang radio jika dirilis pada tahun 1995. Dan lagu-lagu ini membuktikan bahwa kendati sering bereksperimen bikin lagu yang kurang asoy di kuping, Pearl Jam sebenarnya diberkahi kemampuan bikin lagu rock klasik yang selalu enak dinyanyikan penuh tenaga di tengah konser skala stadion.
Playlist: “Once” / “Release” / “Leash” / “Daughter” / “I Got Id” / “Last Exit” / “Corduroy” / “Hail, Hail” / “Smile” / “Given to Fly” / “In Hiding” / “Insignificance” / “The Fixer”
Pearl Jam Sebagai Band Folk
Salah satu kritik yang paling sering diterima Pearl Jam adalah mereka kelewat jujur. Hal yang sama bisa ditudingkan pada lirik-lirik Eddie Vedder. Kendati kental dengan amarah khas anak muda (pada masanya), Eddie seakan belajar menulis lirik dari Bruce Springsteen yang liriknya dikenal kering metafora. Imbasnya, walau Pearl Jam berutang banyak band band-band classic rock, kekaguman Eddie Vedder pada sosok The Boss dan Neil Young yang dikemudian hari menuntun kawan-kawannya menggubah lagu-lagu folk yang lembut. Ini lantas menambah khasanah baru dalam katalog Pearl Jam. Dan yang paling penting, lagu-lagu folk dan ballad-lah yang “menyelamatkan” karir Pearl Jam (terutama Eddie Vedder) seiring berjalannnya waktu.
Percobaan pertama Pearl Jam mengakrabi folk dimulai di album VS, tepatnya di lagu “Elderly Woman Behind a Counter in a Small Town.” Di lagu yang terletak hampir di akhir album kedua mereka itu, Pearl Jam sesaat menanggalkan atribut hard rock mereka dan memutuskan menulis lagu yang bisa dinikmati remaja yang geram dengan keadaaan di sekitarnya sekaligus orang tua mereka. “Better Man” juga tak jauh beda. Lagu ini memang lebih ngerock, tapi masih dengan kentara memperlihatkan Pearl Jam yang tak malu-malu memamerkan sensitivitas mereka. Formula inilah yang berkali-kali dirujuk Vedder seiring band ini menua. Dia seakan selalu punya intiusi yang bagus untuk menyempilkan lagu-lagu macam “Off He Goes” or “Thumbing My Way” dalam sebuah album tanpa harus kelihatan berjarak dari lagu lainnya.
Playlist: “Elderly Woman Behind a Counter in a Small Town” / “Better Man” / “Off He Goes” / “Around the Bend” / “Soon Forget” / “Thumbing My Way” / “Just Breathe”
Pearl Jam Sebagai Band Punk
Sepanjang dekade ‘90an, Vedder sering kali ngoceh tentang betapa ia mencintai Fugazi, walaupun kekagumannya justru kurang sehat bagi bandnya sendiri. Penolakan Pearl jam untuk menuruti aturan industri musik di tengah dekade ‘90an berdampak buruk pada Pearl Jam, tak cuma karena menyeret Pearl Jam jauh dari sorotan penggemar musik, namun juga karena ini memicu pergeresan tongkat kendali Pearl Jam. Dari Ament dan Gossard ke tangan Vedder yang hampir bikin band ini goyah. Walau Pearl Jam tak pernah benar-benar jadi band punk, ambisi Vedder mendekatkan Pearl Jam pada punk mengindikasikan ketertarikan Pearl Jam pada genre satu ini.
“Spin the Black Circle” adalah bukti yang paling kuat. Gossard dan McCready mengumpul beberapa riff dan langsung menggebernya tanpa ragu. Hasilnya bukan hanya lagu ini jadi lagu paling ngebut di sepanjang diskografi Pearl Jam, tapi juga terdengar seperti berasal dari koleksi B-side Dead Boys. Sejatinya sebelum itu, Eddie Vedder sudah lebih dulu menyuguhkan punk dalam gayanya sendiri di “Rearviewmirror.” Lirik lagu ini sebenarnya Bruce Springsteen banget. Isinya tentang meninggalkan segala sesuatu untuk memulai pencarian akan sesuatu yang baru. Standar banget. “Rearviewmirror” tak langsung agresif dari detik-detik awal, lagu diakhir dengan punk banget dia dua menit terakhirnya.
Jika Pearl Jam adalah ember yang digunakan Vedder untuk menampung segala unek-uneknya, lagu seperti “Lukin” yang ditulis tentang stalker yang menabrakkan mobilnya ke rumah Vedder, adalah lagu paling direct dan sederhana yang pernah dia nyanyikan. Dia seakan ingin merobek pita suaranya di lagu ini dan terdengar seperti hampir tak kuat menyelesaikan lagu ini (makanya durasinya pendek). Obsesi terselebung Pearl Jam menjadi anak punk tak sepenunya hilang setelah itu. Dalam 15 tahun terakhir ini, Vedder masih bisa menyakinkan kawan-kawannya untuk sesekali waktu menulis lagu-lagu yang tak akan ganjil kalau dimasukkan dalam album-album The Menzingers seperti seperti “Comatose” or “Got Some,” yang pada dasarnya adalah komposisi tiga akor tanpa embel-embel lainnya.
Playlist: “Spin the Black Circle” / “Rearviewmirror” / “Habit” / “Lukin” / “Grievance” / “Green Disease” / “Comatose” / “Got Some” / “Mind Your Manners”
Pearl Jam Sebagai Band Art-Rock
Mulai album Vitalogy, Pearl Jam memulai kebiasaan baru: menulis album yang diperuntukkan untuk mereka sendiri. Anggota Pearl Jam sepertinya tak memasukkan faktor “kepuasaan pendengar” dalam karya-karyaynya mereka yang nyentrik mulai album itu. Apapun alasannya, Pearl Jam mulai memasukkan lagu-lagu yang sekilas cuma inside joke belaka. Contohnya lagu “Bug” misalnya. Lagu pendek ini hanya berisi suara Vedder (yang beneran bernyanyi tentang serangga) dengan diiringi permainan akordion yang terdengar kurang nyetem. Jika kaliam pikir ini adalah lagu paling aneh di album ini, kalian salah besar. Vitalogy dipungkasi dengan “Hey Foxymophandlemama, That’s Me”, sebuah lagi—mungkin lebih tepatnya sih disebut montase—sepanjang 12 menit berisi permainan gitar asal-asalan, isian drum sekenanya dan rekaman suara pasien rumah sakit jiwa. Lagu-lagu ini barangkali hanya didengar fan Pearl Jam sekali dalam setahun—itu juga kalau mereka mencintai Pearl Jam sepenuh hati mereka. Meski demikian, seaneh apapun lagu-lagu ini, setidaknya dua lagu ini bisa digunakan sebagai modal—setidaknya untuk penggemar baru—guna memahami arah yang dipilih Pearl Jam beberapa album ke depan.
No Code, album Pearl Jam setelah Vitalogy, memberi ruang pada obsesi ganjil ini. Vedder Cs mengambil part-part ganjil dari dua lagi di atas dan mengembangkannya menjadi satu album penuh. Jangan salah sangka. Tak semua lagu di No Code terdengar senyelenah “Bug.” Hanya saja, No Code memperlihatkan apa jadinya kalau Pearl Jam benar-benar dibiarkan menghabiskan semua tenaganya dan mengolah semua inspirasinya untuk menggarap lagu-lagu yang intim tapi nyeleneh. “Sometimes”—salah satu single—dari album itu adalah contohnya yang paling gemilang karena di sinilah kita mendengar penampilan terbaik Vedder sepanjang karirnya. Lagu ini sengaja dibuat terdengar genting dan seakan-akan akan mencapai puncak di satu titik, tapi titik klimaks itu tak nongol sekalipun sampai lagu berakhir.
Komposisi seperti bakal lebih mendalam dieksplor Pearl Jam dalam dua album mereka di awal tahun 2000an, Binaural dan Riot Act. Dua album ini berisi komposisi yang dibuat dengan penuh perhitungan dan direkam dengan sangat ambisius. Lebih dari itu, dalam dua album ini, Pearl Jam tidak membuat satupun lagu yang anthemic. Kendati dua-duanya dianggap album jeblok, Riot Act dan Binaural berfungsi sebagai album pemanasan bagi sound baru Pearl Jam yang belum sepenuhnya terbentuk seperti yang terlihat dalam lagu-lagu seperti “Light Years,” “Sleight of Hand,” dan “Help Help.”
Masing-masing lagu mengisyaratkan jenis musik yang akan ngetren dalam beberapa tahun setelahnya. Eddie Vedder cs bahkan seperti menyediakan template bagi track-track yang digubah The National di akhir dekade 2000an. Dan kendati Binaural atau Riot Act tak benar-benar berfungsi sebagai album yang baik, dua album itu masih punya momen-momen mengasikkan dan mencapai sound yang sebenarnya cocok bagi Pearl Jam tapi—seperti biasa—segera ditinggalkan oleh Vedder dkk.
Playlist: “Bugs” / “Hey Foxymophandlemama, That’s Me” / “Sometimes” / “Do the Evolution” / “Light Years” / “Of the Girl” / “Sleight of Hand” / “Grievance” / “Can’t Keep” / “Help Help”
David Anthony bisa diajak ngobrol soal grunge via Twitter.