Panduan VICE Bagi Pasangan Yang Ingin Bercerai

Baru-baru ini, video pengacara kondang Hotman Paris Hutapea viral di media sosial. Dalam video tersebut Hotman memberi petuah bagi perempuan yang ingin menggugat cerai suaminya. Hotman menyebutkan beberapa “strategi” sebelum menggugat cerai pasangan. Ia mengkritisi hukum di Indonesia “memang parah” apalagi bagi pihak yang paling rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Beberapa tahun terakhir, angka perceraian Indonesia meningkat. Sepanjang 2010-2015, merujuk data Kementerian Agama, jumlah perceraian di Indonesia meningkat 20 persen. Ada empat alasan utama memicu pernikahan berakhir, yaitu hubungan tidak harmonis, tidak ada tanggung jawab dalam berkeluarga, kehadiran pihak ketiga, dan persoalan ekonomi.

Videos by VICE

Perceraian seringkali menimbulkan dampak yang rumit, tidak hanya bagi hubungan pasangan, tapi juga urusan harta bersama dan hak asuh anak. Apalagi jika tidak adanya perjanjian pranikah sebagai antisipasi perceraian. Di Indonesia, perjanjian macam itu tidak lazim dilakukan.

“Dalam banyak kasus, karena masih banyak orang Indonesia yang menikah tanpa perjanjian pranikah (prenuptual agreement) atau bahkan tidak mempunyai daftar harta bawaan, menyebabkan kepemilikan harta dalam perkawinan, khususnya harta bawaan menjadi tidak jelas,” jelas Perencana Keuangan Aidil Akbar saat diwawancarai Wolipop.

Atas dasar itulah kami menyusun VICE Guide to Divorce untuk pembaca Indonesia. Panduan ini akan menjelaskan setidaknya persiapan dasar apa yang semestinya dilakukan sebelum, setelah, dan dalam proses perceraian. Aku menghubungi pengacara Anang Alfiansyah yang sering menangani kasus perceraian untuk mengetahui serumit apa sebetulnya proses sampai akhirnya cerai terjadi.

JANGAN SEGAN KONSULTASI DENGAN PENGACARA

Satu hal yang Alfiansyah berkali-kali ingatkan pada mereka yang ingin bercerai: bekali diri dengan pemahaman soal undang-undang. Jika tak sempat belajar sendiri, lebih baik konsultasikan pada pengacara yang memiliki basis ilmu hukum tentang perceraian.

Perempuan dan anak-anak jadi pihak paling rentan. Dalam hukum perundangan Indonesia, suami adalah kepala keluarga. Sementara itu, perempuan disebut sebagai pencari nafkah tambahan atau ibu rumah tangga. Dalam kasus perceraian, perempuan yang tidak berpenghasilan dan kemungkinan besar menerima hak asuh anak (di bawah 12 tahun) mendapat posisi yang rentan secara ekonomi.

“Jadi sebelum cukup hartamu, sebelum aman keuangan, jangan gugat cerai dulu suamimu. Karena hukum Indonesia agak parah soal itu,” Hotman Paris buka suara.

Namun, lagi-lagi Alfiansyah menerangkan bahwa yang diucapkan Hotman Paris perlu dikaji lagi. Setiap orang yang hendak bercerai punya kondisi khusus yang berbeda dengan yang lainnya. Hanya mereka yang hendak bercerailah yang bisa menentukan. Jika misalnya kondisi rumah tangga sangat berbahaya untuk apa lama-lama dipertahankan? Perempuan tak perlu ragu menggugat cerai jika masalahnya adalah KDRT ataupun penelantaran.

MENGAJUKAN PERCERAIAN KE PENGADILAN AGAMA TIDAK RUMIT SIH (KATANYA)

Kata Alfiansyah, bukan proses cerai yang rumit di Indonesia, melainkan akibat yang ditimbulkannya. Bercerai berarti terputusnya hubungan pernikahan antara dua orang secara hukum dan agama. Jika keduanya sudah sama-sama setuju bercerai, prosesnya tidaklah rumit. Dalam hukum Indonesia perempuan dan laki-laki, sama-sama berhak meminta agar sidang perceraian digelar dan diputuskan. Jika diajukan oleh istri maka disebut gugatan cerai, jika dilakukan oleh suami disebut permohonan cerai (permohonan talak dalam agama Islam).

Salah satu pihak berhak mengajukan gugatan cerai atas dasar beberapa alasan cerai yang sudah dibuat Undang-Undang. Intinya, hakim hanya akan memutus cerai sepanjang alasan tersebut sesuai dengan apa yang diatur dalam UU. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian seperti yang bisa dilihat di tautan ini.

SKENARIO 1: KEDUA PIHAK SEPAKAT BERCERAI
Jika kedua pihak sepeakat bercerai, kedua belah pihak berarti sudah rela menerima segala risiko termasuk (sementara) tidak memiliki hak asuh atas anak (jika dikaruniai anak), dan atas harta bersama yang dibagi dua. Jika kerelaan tersebut sudah muncul dari masing-masing individu yang hendak bercerai, maka proses persidangan tidaklah rumit. Tinggal proses teknis sidang yang perlu dijalani.

SKENARIO 2: HANYA SALAH SATU PIHAK YANG INGIN BERCERAI
Nah, jika hanya salah satu pihak saja yang ingin bercerai maka prosesnya pasti akan lebih berliku. Karena salah satu pihak tidak memiliki kerelaan melepas pasangannya, anak, ataupun harta bersama. Jika hal ini terjadi maka salah satu pihak bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi hingga kasasi ke Mahakamah Agung. Hal ini menjadi contoh jika tidak adanya kerelaan dari kedua belah pihak maka permasalahan sidang dan perceraian tidak akan sesederhana yang dibayangkan. Kebayang kan ini baru urusan kedua pasangan untuk bercerai, belum lagi harta bersama dan anak.

BISAKAH MENYATUKAN SIDANG PERCERAIAN DENGAN HAK ASUH, NAFKAH ANAK, DAN NAFKAH BERSAMA?

Alfiansyah menjelaskan ada dua kemungkinan terjadi soal pelaksanaan sidang pembagian harta bersama. Penentuan tersebut harus sesuai kebutuhan. Dalam ketentuan UU Peradilan Agama Pasal 86 Ayat (1) dinyatakan gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun, pembagian harta bersama hanya bisa dilakukan setelah perceraian diputuskan punya kekuatan hukum tetap. Ini berarti seseorang diberikan pilihan dengan mempertimbangkan kondisi yang dimiliki pasangan.

SKENARIO 1:
harta bersama yang dimiliki banyak dengan kondisi rumah dan tanah luas dan tersebar banyak. Dengan kondisi demikian, Alfiansyah menyarankan agar gugatan harta dipisahkan dengan gugatan perceraian. Karena apabila gugatan harta bersama digabungkan, maka putusan perceraiannya akan lama. Lama karena proses pemeriksaan (bukti-bukti) perceraian dilakukan juga bersamaan dengan pemeriksaan bukti harta bersama. Putusan cerai akan relatif lebih lama, apalagi jika pasangan sudah tidak harmonis.

SKENARIO 2:
harta bersama yang dimiliki pasangan tidak banyak, ataupun perjanjian kepemilikan harta masing-masing sudah jelas. Dengan keadaan demikian proses perceraian sekaligus pembagian harta bersama tidak akan serumit kondisi sebelumnya. Sehingga, Alfiansyah akan menyarankan penggabungan gugatan.

PROSES SIDANG

Sidang perceraian dilakukan beberapa tahap. Sidang dilakukan secara tertutup. Jika gugatan sidang sudah didaftarkan ke Pengadilan Agama, otomatis akan mendapatkan nomor perkara sidang. Dalam sidang pertama, secara teknis hakim membuka sidang tanpa menyentuh perkaranya. Hakim hanya akan menyampaikan apakah memungkinkan bagi pasangan untuk rujuk, termasuk dimediasi di ruang terpisah.

Jika dalam keputusan mediasi kedua pihak setuju berdamai dan melanjutkan rumah tangga, maka sidang perkara tidak dilanjutkan. Jika keputusan mediasi telah diambil dan salah satu atau kedua pihak masih ingin bercerai, maka pasangan bisa kembali meneruskan sidang perkara dalam agenda berikutnya.

Umumnya setelah mediasi, tahapan selanjutnya adalah respons dari pihak lelaki maupun perempuan, disusul tahap pembuktian bukti pernikahan dan alasan cerai termasuk menghadirkan saksi-saksi. Tahap lainnya yang akan dilewati seperti tahap kesimpulan di mana para pengacara menyimpulkan perjalanan sidang pertama sampai keempat.. Terakhir baru tahap terakhir yaitu putusan. Total 12 minggu prosesnya dari sidang awal sampai putusan bila semua berjalan normal.

Pertanyaannya, apakah setelah putusan sidang cerai dari hakim, pasangan secara otomatis bukan suami istri lagi secara hukum? Tidak, karena secara hukum kedua pihak tersebut diberi waktu 14 hari menerima atau tidak putusan hakim. Jika salah satu pihak tidak setuju dengan putusan cerai, maka diperbolehkan banding ke pengadilan tinggi. Mereka kembali harus menjalani persidangan. Jika putusan sidang masih tidak bisa diterima oleh salah satu pihak, peluru terakhir yang bisa dilakukan adalah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

AKIBAT PERCERAIAN YANG NJELIMET

Setelah cukup alasan untuk mengajukan gugatan, Alfiansyah mengatakan yang semestinya diperhatikan bukan hanya proses cerai, tapi pada akibat dari status hukum tersebut. Inilah yang bikin proses perceraian njelimet. Persoalan hak asuh anak dan pembagian harta bersama (gono-gini) menjadi yang paling membingungkan. Apalagi setelah disinggung sebelumnya, tidak adanya perjanjian pranikah jika suatu saat terjadi perceraian.

HAK ASUH ANAK
Ketika anak belum dewasa, Ia tidak bisa memilih ke pihak mana anak akan ikut, bisa ayahnya atau ibunya. Anak baru bisa memilih setelah mereka berusia 12 tahun. Jika anak belum berusia 12 tahun, hukum secara prinsip memberikan hak pengasuhan kepada ibunya sampai umur 12 tahun. Karena ibu dianggap punya hubungan dekat dan punya memiliki fungsi pembinaan. Pembinaan dianggap hanya bisa dilakukan oleh pihak ibu. Namun hukum memberikan pengecualian berkaitan dengan kepentingan anak. pengecualian berlaku apabila ibu dianggap tidak bisa memenuhi fungsi pembinaan, dan tentunya harus dibuktikan di persidangan.

TUNJANGAN ANAK
Seperti yang sudah disebutkan, bahwa anak dan perempuan mendapatkan posisi rentan dalam perceraian, terutama dari fungsi ekonomi. Perwalian anak yang masih di bawah 12 tahun akan jatuh ke tangan ibunya. Di saat bersamaan, banyak perempuan yang misalnya ketika menikah tidak memiliki pendapatan tetap sebagai ibu rumah tangga.

Dari konteks hukum di Indonesia, suami/ayah adalah kepala keluarga dan orang yang bertanggung jawab terhadap sandang papan anak, termasuk pendidikan hingga jenjang tidak terbatas. Apabila anak yang belum dewasa, maka tunjangan diberikan melalui ibunya. Karena ikatan pernikahan terputus, tunjangan untuk mantan istri sudah tidak menjadi kewajiban pihak mantan suami secara hukum.

Dalam praktiknya, salah satu pihak (umumnya di Indonesia pihak mantan suami) ada yang berinisiatif memberikan ‘hadiah’ bagi mantan istrinya. Sebaliknya, salah satu pihak berhak memohon/meminta kepada hakim agar mantan pasangannya memberikan ‘hadiah’. Umumnya ketika salah satu pihak melihat kondisi ekonomi mantan pasangannya setelah bercerai, apalagi jika salah satu pihak tersebut hidup bersama anaknya. Hal ini di luar tunjangan anak, dan bukan kewajiban.

HARTA BERSAMA
Harta bersama umumnya diartikan sebagai harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan baik oleh suami maupun istri, yang berada dalam kekuasaan suami dan istri secara bersama-sama, sehingga penggunaannya harus berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.

Apabila sebelum perkawinan pasangan membuat perjanjian kawin untuk memisahkan harta bawaan dan perolehan harta suami istri, ketika bercerai, masing-masing pihak hanya memperoleh harta yang terdaftar atas nama mereka. Namun, apabila tidak pernah dibuat perjanjian kawin, dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa harta istri menjadi harta suami begitu pula sebaliknya. Jika perceraian terjadi, maka harta harus dibagi dua sama rata. Terlepas dari misalnya salah satu pihak yang berkontribusi lebih besar pada harta selama perkawinan.

Tentu ada pengecualian. Harta bawaan, yaitu berupa hadiah atau warisan dari orang tua masing-masing pihak, dan harta yang diperoleh sebelum perkawinan, dikuasai oleh masing-masing pihak tanpa harus dibagi dua dengan mantan pasangan. Semua harta yang dibagikan atau diperebutkan harus dibuktikan di pengadilan.

Jadi, begitulah kira-kira.

Pernikahan dan perceraian bukan hal yang murni baik ataupun sepenuhnya buruk. Percaya pada institusi pernikahan adalah pilihan individu seutuhnya. Namun, percaya bahwa hal pernikahan bukan instusi paling indah dan bahagia sepertinya adalah hal yang masuk akal. Bagi siapapun pasangan yang menikah, semoga beruntung!