Pasti kamu pernah baca artikel macam ini: milenials punya prioritas berbeda dari orang tuanya. Butuh bukti? Lihat saja jumlah orang yang rela meninggalkan pekerjaan keren dan bergaji tinggi guna menuruti passion mereka. Tiga dekade lalu, ketika orang tua kita menimbang-nimbang mau berhenti kuliah atau memilih karis, prioritas mereka sederhana saja: cari pekerjaan yang gajinya gede, nabung yang banyak dan beli rumah buat keluarga.
Kini, pertimbangannya beda banget.
Generasi milenials ngebet keluar dari jebakan kerja 9-to-5 lalu mendirikan perusahaan sendiri. Produknya bisa apps buat untuk pecinta binatang atau krim penumbuh jenggot. Resikonya memang tinggi, tapi, kalau kata anak-anak milenial,hidup terlalu singkat buat dihabisin buat main aman doang?
Pakar yang saya hubungi:
Azalea Ayuningtyas adalah co-founder Du’Anyam, sebuah perusahaan yang menjual kerajinan anyaman tangan ciamik yang memberikan pekerjaan bergaji tinggi di daerah-daerah miskin di Indonesia timur. Perusahaan ini didirikan Ayu setelah memutuskan meninggalkan pekerjaannya sebagai konsultan di Amerika Serikat. Ayu harus rela meninggalkan kehidupannya yang nyaman di Boston untuk kembali ke Indonesia dan mengerjakan apa yang dia mau. Mau meniru apa yang dilakukan Ayu, berikut step-step yang ditempuh Ayu untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Langkah Pertama: Pandanglah pencapaian luar biasamu sebagai suatu yang bikin depresi.
Ayu belajar biologi selular dan molekular di University of Michigan dan epidemiologi di Harvard University. Intinya, dia punya CV yang bikin semua orang yang melihatnya melongo.
Setelah lulus dari Harvard, Ayu bekerja di sebuah perusahaan konsultasi di Boston. Pendapatannya selama sebulan berkisar $5.000 (setara Rp60 juta) sebulan. Tapi, gaji sebesar itu enggak bikin dia bahagia.
“Kerjaan saya sebenarnya cuma mengajukan strategi penetapah harga pada klien, kebanyakan sih perusahaan farmasi raksasa,” jelasnya pada VICE. “Terus-terus mikirin cara perusahaan besar bikin untung sebesar-besar lama-lama bikin bosen juga. Aku merasa aku cuma menggunakan latar pendidikanku dan kecerdasakanku cuma untuk car uang, aku enggak membantu orang yang benar-benar membutuhkan.”
Langkah Kedua: Cari ranah, sekecil apapun itu, tempat kamu bisa berkontribusi
Kalian tahu Flores punya angka kematian ibu melahirkan tertingg di Indonesia? Ini terhadi karena perempuan yang hamil tua masih harus bekerja di ladang. Di tempat inilah, rencana-rencana cerdas seperti yang dimiliki Ayu bakal punya imbas yang nyata.
Kawan SMA Ayu, Hanna Keraf, berasal dari Flores. Hanna yang pertama menemukan masalah ini. Dia juga yang melihat celah untuk menyediakan lapangan kerja yang tak terlalu melelahkan (membuat anyaman) bagi perempuan-perempuan Flores. Keduanya lantas mengajukan ide mereka MIT IDEAS Global Challenge. Tak dinyana mereka menang. Dalam sekejap, keduanya punya cukup dana untuk mendirikan yayasan yang kelak menjadi Du’Anyam.
Langkah Ketiga: Masa bodo orang bilang apa, tinggalkan pekerjaanmu
Setelah kamu cukup yakin kalau RENCANA BESARMU bakal berhasil, yakinkan diri dan segera cabut dari perusahaan tempatmu bekerja. Tentu, orang tuamu pasti kebakaran jenggot. Temenmu tak jauh beda. Mereka bisa sekonyong-konyong jadi bijak dan bilang “kayaknya itu bukan rencana yang baik deh.” Tapi, masa bodolah dengan mereka. Gas pol terus saja rencanamu.
Dalam kasus Ayu, ayahnya yang paling ketar-ketir atas keputusannya. Dia memberondong Ayu dengan pertanyaan “Kok kamu ngambil keputusan yang beresiko sih? “Kenapa kamu pergi ke daerah terpencil yang berbahaya bagi perempuan?” lalu, ayahnya akhirnya mengambil strategi terakhir: membuat Ayu merasa bersalah “coba pikir, kamu bakal dapat apa dari usahamu?” “kamu enggak mikirin perasaan ayah ya?” cecar sang Ayah.
Pada akhirnya dia berubah pikiran, ayahnya bilang, “Sekarang dia sering sok rendah hati padahal menyombong soal betapa saya menempuh pendidikan Amerika prestisius tapi memilih melakukan “kerja sosial,” meski saya yang lakukan sebetulnya adalah “social entrepreneurship,” ujar Ayu. “Saya enggak yakin dia bermaksud memuji atau menyindir bahwa saya tidak mengasah potensi saya.”
Sisanya tidak yakin. Seorang kawan laki-laki menuduhnya menggunakan “hak istimewa seorang perempuan,” untuk tidak menafkahi keluarga, sehingga mengizinkannya menjadi “eksperimental” dengan pilihan karirnya. Seorang kawan yang lain penasaran kenapa dia mau membanting tulang untuk suatu hal yang bermanfaat bagi orang lain.
“Kadang sakit hati sih dengar yang kayak gitu,” ujarnya. “Saya dibesarkan di keluarga yang mapan dan tunangan saya memiliki pekerjaan yang berupah tinggi. Saya merasa bersalah dan terbebani dengan hak istimewa saya. Lagipula, bukankah lebih baik untuk menggunakan hak istimewamu untuk membantu sesama, alih-alih menimbun kekayaan?”
Langkah keempat: Berani Kere.
Ayu tumbuh di lingkungan yang cukup nyaman. Dia sudah terbiasa makan makanan bergizi, berbelanja, dan menikmati suka cita pekerjaan berupah tinggi. Lalu dia pindah ke Flores.
“Situasi hidup di Flores jauh lebih sederhana daripada kota-kota besar,” ujarnya. “Tahun pertama Du’Anyam pada 2014 saya hanya dibayar Rp1.000.000 per bulan, yang mana tidak cukup menurut standar kota besar. Tentu saja, upah saya sudah naik sejak itu, tapi mungkin tidak akan pernah menyamai upah saya di Boston.”
Langkah Kelima: Resapi Pekerjaanmu.
Ketika kamu menghancurkan karirmu, kamu bekerja lebih giat, bukan sebaliknya. Ayu bekerja setiap hari sepanjang minggu. Setiap saat dia memikirkan tentang Du’Anyam, tentang kesejahteraan perempuan-perempuan di Flores.
“Ternyata hal ini lebih memotivasi saya dibandingkan uang,” dia bilang. “Lega banget bahwa dunia ini enggak berpusat pada saya lagi, bahwa ada orang-orang lain yang saya pedulikan.”
Langkah Keenam: Bangga Dengan Pekerjaanmu.
Ayu bilang bahwa dia merasa terharu dan bahagia ketika dia memikirkan tentang yang dia lakukan di Flores. Sukses di pekerjaan lamanya, sebagai konsultan, lebih abstrak—itu hanyalah satu garis di spreadsheet yang berarti perusahaan farmasi mendapatkan keuntungan lebih. Kini dia melihat dan merasakan langsung dampak pekerjaannya.
“Para perempuan ini sangat bersyukur dan mendukung Du’Anyam,” ujarnya. “Pada pertemuan-pertemuan komunitas, mereka menyatakan rasa senang dan syukurnya yang sekuat pendukung garis keras sebuah partai politik. ‘Berkat Du’Anyam, kini keluarga saya bisa makan lebih baik,’ dia bilang. ‘Hidup Du’Anyam! Hidup Du’nyam! Lumayan lucu sih.”
Langkah Ketujuh: Berbanggahatilah Karena Kamu Nekat.
Gini ya, kalau kamu mau melakukan suatu hal baik, lalu, pada akhirnya orang-orang akan mulai membicarakannya. Kamu akan lumayan tenar. Ayu telah diliput di banyak artikel. Dia telah menjadi tamu di beberapa acara televisi populer.
“Sejujurnya, saya masih merasa canggung soal itu,” dia bilang. “Saya merasa tersanjung dan ingin terus menjadi sederhana. Karena saya tau perjalanan Du’Anyam masih panjang, dan bahwa ini semua adalah hasil kerjasama, saya enggak sendirian.
Media senang fokus pada satu persona saja dan semua liputan ini membuatnya terdengar seperti saya doang yang kerja. Tapi di sisi lain, publikasi macam ini sangat berguna ketika saya harus ngobrol dengan investor.”
Langkah Kedelapan: Berani Mimpi Tinggi.
Tidak peduli seberapa kerenya kamu, tak peduli seberapa sulitnya jalan ke depan, jangan berhenti bermimpi. Du’Anyam meluncurkan banyak program untuk memperbaiki kehidupan perempuan di Flores, menyalurkan keuntungannya untuk membangun kandang ayam milik komunitas, untuk mendidik perempuan-perempuan tersebut, dan untuk menggunakan penghasilan dari menenun untuk membeli makanan bergizi.
Kedepannya, Ayu ingin Du’Anyam mengembangkan produk-produk budaya lain dan mereplikasi model usaha ini ke bagian terpencil lainnya di Indonesia.
“Kami telah memulainya di Papua,” dia bilang. “Kami punya program-program lain di Lombok dan kami berencana menjangkau bagian-bagian Flores lain juga. Cita-cita kita adalah supaya Du’Anyam bisa membawa profit pada 2018. Kita juga telah meluncurkan paket-paket turisme ramah lingkungan ke Flores untuk meningkatkan kesadaran dan untuk membantu dengan perkembangan ini.”
Wejangan terakhir:
“Kalau kamu enggak mencobanya, kamu enggak akan tahu, enggak akan belajar,” ujar Ayu pada saya. “Secara pribadi, menggagas dan mengelola Du’Anyam adalah pengalaman belajar yang lebih berharga ketimbang program MBA apapun. Kalau semua hal gagal, kita selalu bisa kembali ke karir mainstream. Kamu paling sedikit tertinggal dari kawan seangkatanmu, tapi pengalamannya akan jauh berbeda.