Ketika Orang Bilang Harus 'Ketimuran' atau Jangan 'Kebarat-baratan' Itu Maksudnya Apa Sih?
Ilustrasi oleh Dini Lestari.

FYI.

This story is over 5 years old.

Moral bangsa

Ketika Orang Bilang Harus 'Ketimuran' atau Jangan 'Kebarat-baratan' Itu Maksudnya Apa Sih?

Pantaskah istilah 'timur' atau 'barat' digunakan untuk menentukan mana baik-buruk serta salah-benar di Indonesia? Dari penelusuran kami, konsep itu bermasalah banget.

Di Indonesia, alasan semacam “bertentangan norma ketimuran” atau dituduh “menganut budaya kebarat-baratan” jadi semacam ancaman murah meriah. Pakailah istilah macam itu, maka orang cepat terbeli, bahkan tergerak menggeruduk yang jadi tertuduhnya.

Masih ingat enggak insiden akhir tahun lalu, ketika Djakarta Warehouse Project (DWP) mendapatkan serangkaian protes dari Ormas yang meminta agar Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan membatalkan atau menghentikan penyelenggaraan DWP. Sebagai respon dari tuntutan tersebut, Pemprov DKI Jakarta menyatakan DWP tetap bisa dilaksanakan asalkan tetap menjunjung “norma ketimuran”!

Iklan

Sebelumnya, segudang kegiatan ditentang dengan alasan serupa. Sebagai contoh, ajang Miss World 2013 yang diselenggarakan di Indonesia, peringatan Hari Valentine yang ditentang massa dengan demo, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan… apalagi kalau bukan LGBTQ. Terlepas dari problematika yang dimiliki oleh masing-masing acara tersebut, semua penolakan masyarakat disebabkan oleh alasan “bertentangan dengan budaya timur”.

“Sah-sah saja sebagai klaim [barat atau timur], dengan catatan tidak mensubordinasi budaya lain,” ujar Sosiolog Universitas Padjadjaran Yusar Muljadji kepada VICE Indonesia.

Nyatanya, kedua pihak, baik pengamal ‘budaya barat’ maupun pengamal ‘budaya Timur’ banyak yang sibuk saling mengsubordinasi. ‘Budaya Barat’ dianggap sebagai orang-orang yang jauh dari unsur religiusitas, tidak punya tatakrama, norma kesopanan, dan menganut gaya hidup bebas. Sementara itu, ‘Budaya Timur’ dianggap sebagai orang-orang ‘terbelakang’. Keberadaannya dianggap relijius, ganas, kaku, dan opresif.

Berdasarkan pendapat warganet yang kutanya via medsos, definisi ‘ketimuran’ dan ‘kebaratan” yang selama ini umum dianut di masyarakat sebetulnya sangat cair. Kebanyakan responden yang kuajak ngobrol mengaku tidak paham betul garis pemisah antara ‘kebaratan’ dan ‘ketimuran’.

“Yang sering saya dengar dari orang, ‘ketimuran’ itu norma yang mencerminkan orang-orang Arab dari gaya berpakaian. Pakai gamis, hijab. Gaya hidup seperti orang Arab yang katanya sopan,” kata mahasiswa 19 tahun, Adelia Ningrum Puteri yang menjadi respondenku di Instagram. “Nah kalau norma/budaya ‘kebaratan’ ya kebalikannya. Seperti orang Amerika dari cara berpakaian sampai gaya hidup,”

Iklan

Jika ‘budaya Timur’ diterjemahkan dalam konsep superfisial seperti baju tertutup, atau konsep anti Hak Asasi Manusia karena semata menganggapnya produk ‘barat’. Maka, apakah budaya tradisional Indonesia sesuai dengan ‘budaya timur’ yang ramai dianut masyarakat?

Di Indonesia razia pesta komunitas LGBT marak digelar tahun lalu. Beberapa di antaranya terkena hukuman pidana. Padahal, sejak zaman kuno, suku Bugis di timur Indonesia telah mengenal konsep lima gender. Begitu pula dengan kesenian Warok dari Jawa Timur. Keduanya erat menjadi akar sejarah keberadaan LGBT di Indonesia. Pun begitu dengan kelompok adat di hutan-hutan Jambi yang tidak mengenal konsep agama samawi. Untuk mendapat akses fasilitas negara ramai-ramai mereka digiring menganut agama yang diakui di KTP. Mirip juga dengan orang-orang adat di Papua yang tidak memakai pakaian seperti yang kita pakai di Jakarta. Apa lantas mereka dianggap menyimpang dari kebudayaan timur dan serta merta disebut “budaya barat”? Enggak aneh deh kalau puting susu lelaki di pernikahan adat Jawa di TV kena sensor juga.

“Dikotomi ini tidak terlepas dari prasangka budaya yang menganggap/menempatkan budaya ketimuran [di Indonesia] memiliki nilai-nilai luhur jika dibandingkan dengan nilai-nilai budaya lain, barat khususnya,” jelas Yusar Muljadji. “Memang, hal ini menjadi semacam prejudis terhadap budaya selain budaya timur. Dikotomi ini juga menjadi sangat politis untuk menjustifikasi bahwa "nilai-nilai asing" lebih rendah daripada nilai-nilai lokal (yang bercorak ketimuran).”

Iklan

Subordinasi masing-masing pihak baik “Barat” terhadap “Timur”, maupun “Timur” terhadap “Barat” sudah berlangsung lama dan terus terjadi hingga kini. Kajian soal dikotomi “Timur” dan “Barat” ini lekat dengan gejala poskolonialisme. Samuel P. Huntington pernah membahas hal yang disebut dalam buku The Clash of Civilizations.

Dalam bukunya Huntington pun membagi peradaban dalam tujuh atau delapan peradaban utama. Anehnya, Ia menamai perdabannya sebagai “Western civilization”, sedangkan peradaban lainnya disebut dengan sebutan agama seperti Confucian, Japanese, Islamic, Hindu, Slavic-Orthodox, Latin American dan kemungkinan African. Pengajar Poskolonialisme di Universitas Sanata Darma, Katrin Bandel pernah mengkritisi buku Huntington, dalam bukunya, Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas.

Katrin khusus membahas soal salah satu unsur wacana identitas Barat dan Timur, yakni agama dan spiritualitas. Menurutnya, wacana publik soal di negara-negara “Barat” maupun “non-Barat”, “budaya Timur” dipandang sebagai budaya yang lebih “spiritual” atau “relijius”. Katrin menulis, pandangan demikian hadir sebagai perayaan keutamaan “spiritualitas Timur”. Sikap tersebut tidak lepas juga dari sikap memandang rendah budaya Timur sebagai “tradisional” atau “konvensional”, dengan asumsi bahwa meninggalkan agama merupakan bagian dari usaha mencapai kemajuan.

Baru-baru ini, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte mengeluarkan pendapat soal dukungannya terhadap komunitas LGBT. Ia bahkan mempertimbangkan soal ide menjadi biseksual agar ia bisa “bersenang-senang dengan kedua cara”. Sebuah pernyataan yang kemungkinan besar mengundang riak-riak kontroversi dari Gereja Katolik konservatif yang mengakar kuat di Filipina.

Iklan

“Why impose a morality that is no longer working and almost passé. It’s leftover rice,” kata Duterte ketika merespon soal LGBT yang bertentangan dengan kebijakan hukum Filipina dan Gereja Katolik. “So I am with you.”

Meninjau pernyataan Duterte soal LGBT, jika definisi timur dan barat adalah definisi hitam dan putih, apa jadinya dengan negara Asia (Timur) lainnya? Taiwan misalnya, negera ini bahkan sudah lebih dulu melegalisasi pernikahan sesama jenis di negaranya. Lebih dulu daripada banyak “negara Barat”. Negara di Asia lainnya yang terkenal dengan kesultanannya, Thailand pun santai saja dengan budaya transvestite dan keberadaan transgender yang sering diasosiasikan dengan Thailand.

Yusar menduga, fenomena yang terjadi di beberapa negara Asia tersebut, akibat semakin menguatnya masyarakat sipil, iklim demokrasi dan HAM. Terlebih jika hal-hal tersebut ditafsirkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam institusi agama mayoritas atau spiritualitasnya.

“Sangat mungkin juga negara tersebut [Filipina, Taiwan, Thailand] tidak ingin mencampuri hak-hak privat warganya,” kata Yusar. “Pilihannya adalah mendukung hak-hak privat daripada merepresinya.”

Sementara itu menurut Yusar, yang terjadi di Indonesia, “barat” senantiasa dikambinghitamkan sebagai hal yang bertentangan dengan struktur yang dominan. Dominasi ini dipahami sebagai “nature” dari masyarakat dalam kondisi stabil atau harmonis. Jika ada anasir tertentu, dalam hal ini “budaya barat”, maka hal tersebut dianggap mengganggu kestabilan sistem sosial.

“Sejauh ini nilai agama masih menjadi struktur dominan dan para agennya pun masih aktif memelihara strukturnya,” jelas Yusar. “Kembali, nilai-nilai barat akan terus dikambinghitamkan. Kondisi ini dapat berubah jika terjadi perubahan/pergeseran dalam struktur dominan masyarakat.”

Cara kontrol masyarakat dengan klaim biner semacam “Timur” dan “Barat” bisa jadi tidak ampuh lagi. Kontrol penyimpangan masyarakat bisa dilakukan, tentunya dengan akal sehat. Bukan berdasarkan klaim-klaim kalau sikapmu “kebarat-baratan” atau “ketimur-timuran”. Timur mana dulu nih masalahnya? Timur Laut? Jawa Timur? Apa… Timur Tengah?