Mungkin karena saya cewek, saya enggak pernah ngintip orang bercinta. Sejumlah teman laki-laki saya yang punya, stok kisah-kisah mengintip adegan ranjang di ruangan pribadi. Mereka bahkan punya istilah Jawa-nya, nginjeng.
Kalau satu aktivitas sampai bernama, artinya banyak pelakunya, walau saya enggak tahu ini berlaku di daerah mana saja. Tokoh utama Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas juga melakukannya, tapi saya tidak. Teman-teman perempuan saya pun tidak.
Videos by VICE
Jangankan mengintip. Suatu hari saya sedang mencuci piring di dapur kosan. Denting air jatuh ke bak aluminium yang begitu ribut tak cukup meredam lenguhan dari kamar di sebelah dapur. Mungkin dua orang di kamar tahu ada yang sedang di dapur dan tak peduli. Saya kikuk. Teman saya yang berkamar di sebelah kamar berisik itu keluar, siap berangkat kerja. Kami bertatap muka dan sama-sama malu atas perbuatan orang lain.
Mungkin karena saya cewek, ketika saya tahu ada orang sedang bercinta, saya pilih pura-pura tak tahu dan tak peduli. Mungkin karena saya cewek, saya bertanya-tanya, kenapa sih ada orang yang tega menangkap basah orang lain yang sedang bercinta, bahkan merekamnya, bahkan mengaraknya tanpa pakaian? (Jika yang ditangkap basah adalah pasangan selingkuh dan penangkap basahnya seorang kekasih yang terluka oleh pengkhianatan, saya tak bertanya-tanya.)
Twit yang diskrinsut di atas adalah contoh mentalitas sama. Argumennya emang ngawur ke mana-mana, prokreasi adalah kecenderungan alami titah evolusi, tapi kemarahannya tak asing. Beberapa tahun lalu sepasang laki-perempuan diarak dan ditelanjangi karena tuduhan berzina. Salah satu otaknya bahkan ketua RT setempat. Tuduhan mereka tak terbukti, videonya viral ke seluruh negara.
Sadis bahkan, pencinta alam yang diskrinsut di atas bahkan tak bicara soal aktivitas seksual di luar lembaga pernikahan. Ia sudah merasa cukup alasan untuk marah hanya dan hanya karena sepasang pria-wanita ngeseks di gunung dalam tenda seadanya. Kemarahannya sampai membuatnya kehilangan akal dengan membagikan video penggerebekan di media sosial. UU 19/2016 tentang perubahan UU ITE mengatur hukuman maksimalnya, 6 tahun penjara dan/atau denda Rp1 miliar.
Artinya, jika seks dalam tenda di sebuah gunung dianggap pelanggaran moral, ini adalah satu pelanggaran moral yang dihajar, diganjar dengan pelanggaran moral lainnya, yakni merekam orang tak berpakaian dan menyebarkannya di internet.
Hari ini, tak banyak pelanggaran di masyarakat yang dihukum dengan cara begini. (Mungkin menggerebek aktivitas seksual terus langgeng karena aparat dan televisi terus memperbarui contohnya, meski tanpa dasar hukum.) Yang jelas mempermalukan di depan umum ( public shaming) bukan hukuman baru alias bisa dijumpai di berbagai belahan dunia dan ditelusuri jauh ke belakang.
Jika kamu pernah menonton film Malèna, kamu mestinya ingat adegan para perempuan gundik tantara Nazi ditelanjangi dan dibotaki di depan umum. Di novel-novel Yu Hua, penggambaran Revolusi Kebudayaan Tiongkok tak lengkap tanpa penyiksaan orang-orang yang dituduh kapitalis dan agen Kanan dalam bentuk: disuruh memakai rantai di leher yang digantungi papan bertuliskan kesalahannya, misalnya “Saya tuan tanah”.
Saya tak ingin jadi polisi moralnya polisi moral. Tapi saya mau soroti apa yang sebenarnya sudah disoroti banyak orang: orang-orang lemah dihukum lebih kejam.
Para terhukum ini bisa pasangan yang bercinta di tempat darurat, YouTuber pemula yang demi nongkrong hemat membagi satu gelas Starbucks ke tiga gelas lainnya, atau SJW Twitter yang mendadak switching ke bahasa Inggris ketika berdebat dengan orang.
Mungkin kita perlu lebih banyak bicara tentang segregasi kelas. Itu isu yang lebih penting. Apalagi karena Parasite yang secara jeli membicarakan topik ketimpangan ekonomi baru saja menang Oscar.