Mulai April 2021, pemerintah Jepang akan memberi insentif bagi pasangan yang bersedia menikah sebesar 600 ribu Yen (setara Rp75 juta). Insentif itu berupa bantuan langsung tunai yang bisa didapatkan pasangan yang mendaftar ke KUA setempat. Kebijakan ini dilakukan pemerintah Jepang untuk menggenjot angka kelahiran yang terus menurun di negara tersebut.
Meski insentifnya menarik, tidak semua wilayah menyiapkan dana tersebut. Hanya prefektur yang mengadopsi kebijakan “bantuan hidup dan pernikahan” yang memperoleh alokasi dananya. Dengan dana tersebut, menurut laporan TBS News, pasangan yang menikah diharap tidak perlu khawatir mencukupi beberapa kebutuhan dasar, terutama biaya tempat tinggal, di tahun-tahun awal pernikahan.
Videos by VICE
Bantuan dana untuk warga yang mau menikah bukan kebijakan baru di Jepang. Saat ini, sudah ada 281 kota yang mendapat alokasi dana 300 ribu Yen per pasangan baru menikah. Target pemberian dana ini adalah untuk mereka yang berusia 34 tahun ke bawah. Artinya, kebijakan anyar ini menggandakan jumlah insentifnya. Selain itu, menurut aturan anyar, mereka yang berusia di atas 39 tahun juga diizinkan mendaftar untuk memperoleh insentif dana tersebut.
Sumber dana ini 2/3-nya datang dari pemerintah pusat Jepang, sisanya ditopang oleh pemerintah daerah. Menurut Japan Times, pemerintah pusat ingin lebih banyak kota yang mengadopsi kebijakans serupa.
Jepang memiliki angka kelahiran yang cukup rendah dibandingkan negara maju lainnya. Sepanjang 2019, bayi yang lahir hanya di kisaran 864 ribu, rekor paling sedikit sepanjang sejarah Jepang modern merujuk laporan CNN.
Situasi ini terjadi karena anak muda Jepang tidak tertarik menikah, mengingat biaya hidup sangat tinggi. Menikah atau punya anak akhirnya dianggap beban finansial, sehingga banyak lelaki dan perempuan pilih melajang. Seperti dilaporkan Japan Times, seperempat dari populasi Jepang di rentang usia 20 tahun hingga 49 tahun saat ini melajang.
Problem lain yang memicu krisis populasi di Negeri Sakura adalah menyempitnya lapangan kerja. Banyak lelaki di negara itu kini harus bekerja paruh waktu atau menjalani dua profesi bersamaan agar bisa bertahan hidup. Sementara, lelaki yang belum mapan cenderung kurang disukai oleh keluarga yang ingin anaknya menikah. Problem budaya ini memperparah kecenderungan orang akhirnya melajang saja seumur hidupnya.
Menurut Ryosuke Nishida, guru besar the Tokyo Institute of Technology, saat diwawancarai The Atlantic, “jika kamu lulus kuliah tapi gagal dapat pekerjaan tetap, maka orang-orang akan menganggapmu manusia gagal.”
Jam kerja yang panjang di Jepang, bahkan lebih panjang dibanding negara-negara maju yang setara, juga mempersulit kesempatan orang tua muda membesarkan anak. Laporan terbaru menunjukkan banyak perempuan karir di Jepang yang harus bekerja 49 jam per minggu, sehingga mereka merasa tidak punya waktu untuk membesarkan anak secara layak.
Pemerintah Jepang turut menyorot problem jam kerja panjang ini, dengan mendesak perusahaan memaksa karyawan cuti, serta bisa pulang lebih cepat. Selain itu, semua biaya pendidikan pra-sekolah ditanggung negara. Meski begitu, problem populasi di Jepang belum akan berubah dalam semalam.
Negara itu masuk kategori menua, dengan orang-orang berusia di atas 65 tahun mencapai 28 persen dari total populasi nasional. Apabila kondisi ini berkelanjutan, jumlah penduduk Jepang pada 2065 akan tinggal 88 juta saja, turun jauh dibanding angka saat ini sekitar 126 juta penduduk.
Follow Frankie di Twitter dan Instagram.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Asia