FYI.

This story is over 5 years old.

Alkohol Lokal

Miras Oplosan Kembali Tewaskan Puluhan Orang, Pemerintah Tak Mau Belajar dari Sejarah

Sejauh ini 82 orang tewas di Jakarta dan Jawa Barat. Angka itu sangat mungkin bertambah. Sumber miras maut terus dilacak. Tragisnya, oplosan marak gara-gara kebijakan ketat pemerintah dalam perdagangan alkohol.
Miras Oplosan Kembali Tewaskan Puluhan Orang, Pemerintah Tak Mau Belajar dari Sejarah
Pemusnahan ribuan botol minuman keras di halaman Polres Jakarta Barat. Foto oleh Beawiharta/Reuters.

Sejak pekan lalu, sudah 82 orang tewas dan puluhan lagi dirawat akibat mengonsumsi miras oplosan di Jagakarsa, Jakarta Selatan dan beberapa daerah di Jawa Barat, memicu pemerintah Kabupaten Bandung menetapkan peristiwa tersebut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Di Jawa Barat, menurut kepolisian, miras oplosan jenis ginseng sudah merenggut 51 jiwa, sementara di Jakarta 31 orang meregang nyawa. Peristiwa tersebut akhirnya membetot perhatian Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno yang menyebut bahwa pesta miras di seluruh DKI Jakarta bisa mencapai 15-20 pesta per kecamatan.

Iklan

Sementara di Kabupaten Bandung minuman ginseng seharga Rp20 ribu per botol dari Cicalengka tersebut telah merenggut 45 nyawa. Dua penjual miras oplosan ginseng tersebut sudah ditangkap. Menurut polisi, racikan oplosan ginseng tersebut cukup berbahaya, namun polisi belum meneliti kandungannya.

"Kalau dari yang kita periksa (korban) langsung minum, efeknya 10 menit. Ada yang naik motor langsung jatuh,” kata Komisaris Besar Polisi Enggar Pareanom, Direktur Narkoba Polda Jabar.

Kerabat membawa pulang keranda jenazah korban tewas miras oplosan di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dari RS. Foto oleh Raisan Al Farisi/Antara Foto/Reuters

Pemerintah Indonesia tampaknya enggan belajar dari fakta sejarah. Larangan penjualan minuman alkohol secara bebas sejak 2015 justru memicu tingginya angka kematian akibat konsumsi minuman oplosan. Miras oplosan memang relatif mudah didapat dan harganya jauh lebih murah, ketimbang minuman bercukai resmi pemerintah yang harganya bisa berlipat-lipat.

Mari kita ingat momen Mei 1985, ketika Pemimpin Uni Soviet kala itu, Mikhail Gorbachev, mengumumkan kampanye antialkohol. Gorbachev berharap produktivitas pekerja meningkat dan perekonomian membaik, dengan cara melarang penjualan vodka. Kenyataannya, beberapa bulan setelah peraturan berlaku, keadaan justru memburuk. Pendapatan pajak negara menurun hingga 100 milyar ruble. Miras oplosan atau disebut ‘vodka bak mandi’ yang terbuat dari cologne, kentang busuk, penghilang cat kuku, dan alkohol industri, menjamur. Perekonomian negara semakin terpuruk karena terbebani biaya kesehatan untuk merawat kasus keracunan yang merebak.

Iklan

Adapun larangan penjualan bir dirancang sejak awal 2015 oleh Menteri Perdagangan yang saat itu dijabat oleh Rachmat Gobel. Pemerintah di berbagai daerah lantas beramai-ramai mengeluarkan perda yang melarang berbagai bentuk penjualan dan konsumsi alkohol. Merujuk laporan lembaga riset independen Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menunjukkan keberadaan toko yang menjual alkohol dari pasar gelap meningkat sebanyak 75 persen sejak 2010—ketika alkohol masih dengan mudah didapatkan di minimarket.

Lebih dari 58 persen penduduk Indonesia yang mengkonsumi miras oplosan mengaku mereka memilih minuman berbahaya ini karena murah dan gampang ditemui. Sementara dalam catatan Gerakan Nasional Anti Miras (Genam), jumlah korban meninggal akibat miras mencapai 18.000 orang per tahun.

Rofi Udarrojat dari CIPS mengatakan pemerintah tidak akan mampu untuk mengontrol peredaran miras oplosan. Faktanya, menurut Rofi, larangan alkohol hanya akan membuat lebih banyak konsumen mencari dan mengonsumsi miras oplosan.

“Pemerintah justru bersikap berlawanan dengan mencanangkan pelarangan alkohol,” kata Rofi. “Tanpa adanya perencanaan yang realistis dan rasional, penyelesaian masalah penjualan dan konsumsi alkohol ilegal hanya akan berdampak pada bertambahnya angka kematian.”

Hasil penelitian tersebut juga diamini Devie Rahmawati pakar komunikasi dan dosen Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia. Menurut Devie, hanya masyarakat kelas menengah ke atas yang bisa selamat dari bahaya minuman oplosan. Sebab, menurutnya, masyarakat kelas bawah tak akan mampu membeli alkohol bercukai, sehingga berpaling ke jenis alkohol yang lebih murah, yaitu oplosan.

“Sedangkan bagi kalangan menengah ke bawah, membeli alkohol resmi menjadi tantangan, yang kemudian dijawab oleh para pebisnis gelap yang melihat potensi pendapatan dari alkohol KW ini,” kata Devie.

Ribuan nyawa yang terus saja jatuh sia-sia akibat miras oplosan membuktikan satu hal: kebijakan yang ada di Indonesia saat ini bukan solusi terbaik.