FYI.

This story is over 5 years old.

ONLINE

Hasil Penelitian: Internet Ternyata Tak Kalah Adiktif Dibanding Narkoba

Kalau ada orang bilang pengen lepas dari Internet, atau sesumbar hidup tanpa smartphone itu gampang, siap-siap aja gigit jari.
Photo by Mauro Grigollo via Stocksy.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Ada masa momen-momen—misalnya pas kita nemu foto atau video kucing imut dan lucu ketika nasib kita sedang jelek-jelek, atau pas orang tak henti-hentinya ngobrol tentang apa sih sebenarnya "Covfefe"—ketika saya bertanya ke diri sendiri "kok hidup gue habis buat online doang sih?"

Internet memang sering menyebalkan, tapi apa mau dikata, saya enggak bisa berhenti menggunakannya. Saban sampai di rumah setelah bekerja bantin tulang seharian, saya akan menghabiskan semalaman menjelajahi internet, bersenang-senang. Saya mafhum banget kalau ini bukan kebiasaan yang sehat. Kadang, kalau pikiran sedang jernih, saya kepikiran memasang status ini di Facebook, Twitter atau bahkan Path "BRB gue rehat dulu dari media sosial. Please jangan tag gue" lalu beneran rehat selama satu bulan penuh.

Iklan

Sayangnya, itu tak pernah benar-benar kejadian. Apalagi setelah sebuah penelitian menyimpulkan bahwa putus hubungan dengan media sosial itu bakal semudah membalik telapak tangan. Riset tersebut, yang diterbitkan di jurnall Plos One, mengungkap bahwa orang dengan penggunaan internet yang bermasalah (PIU) memperlihatkan semacam simptom sakau jika mereka offline, mirip seperti pera pecandu dan pemadat yang

Dalam penelitian itu, peneliti merekrut 144 peserta dan mensurvey penggunaan internet mereka. Rata-rata jam yang dihabiskan oleh semua peserta untuk internetan ternyata mencapai lima jam. Sekitar 38 persen dari peserta mengaku bahwa mereka menghabiskan kurang dari tiga jam untuk menjelajahi internet dalam sehari; 38,9 persen lainnya memanfaatkan internet antara tiga sampai enam jam perhari; sembilan peserta mengaku online selaam enam sampai sembilan jam sehari; dan 13,9 persen peserta tahan memelototi layar komputer—sambil internetan pastinya—lebih dari sembilan jam dalam sehari.

Jumlah jam di atas mayoritas dihabiskan untuk menyusuri toko-toko online dan akun-akun sosial media, 90 persen peserta mengaku kerap mengunjungi kedua jenis webite itu. Delapan puluh empat persen peserta mengaku menggunakan internet untuk menjalankan riset (peserta peneltian ini adalah mahasiswa).

Peserta kemudian diminta tidak online selama dua jam lamanya. Setelah itu mereka diperkenankan menggunakan internet lewat ponsel mereka selama 15 menit. Lantas, dua menit setelah sesi bebas internetan ini berakhir detak jantung tak tekanan darah peserta diukur.

Iklan

Saat data hasil pengukuran ini dianalisis, para peneliti menemukan bahwa peserta dengan PIU tinggi mengalami "peningkatan tekanan darah sistolik dan detak jantung yang lebih tinggi" bila dibandingkan peserta memiliki PIU rendah.

Internet seharusnya bisa diperlakukan seperti judi atau minuman beralkohol.

"Penghentian konsumsi internet pada mereka yang memiliki PIU tinggi punya efek yang sama dengan penghentian konsumsi zat depresan seperti alkohol, ganja dan obat-obatan berbahan dasar candu," seperti yang ditulis oleh para peneliti. "Pola yang muncul dari penelitian terbaru mengindikasikan bahwa mereka yang memili skor PIU tinggi akan mengalami efek sakau seperti yang terlihat pada pengguna zat sedatif."

Penelitian ini juga membedah kondisi psikologis sebelum dan sesudah penggunaan internet. Hasilnya menunjukan bahwa "pemutusan koneksi internett pada pengguna dengan PIU tinggi meningkatkan kecemasan dan mood negatif." Layaknya obat-obatan, pera peneliti memiliki teori bahwa internet—bagi mereka yang sering online—digunakan untuk "menghilangkan stress dan mengurangi kecemasan, entah itu yang disebabkan karena terpisah dari internet dan faktor tertentu yang sudah terlebih dahulu dalam kehidupan seseorang."

Para peneliti menggarisbawahi resiko kesehatan jangka panjang yang mengintai mereka yang rutin mengecek internet. Ini artinya, bahaya ini bakal mengancam semua orang karena dewasa ini internet sudah jadi tempat bekerja, menuntut ilmu dan alat mengawasi gerak-gerik mantan yang masih kita sayangi. "Pola ajeg jauh dari internet-internetan-jauh dari internet serta stres psikologis yang timbul karenanya bisa berdampak pada sistem psikologis, meningkatkan resiko terkena gangguan fisik dan psikologis," tulis para peneliti. "Hasil penelitian saat ini, terutama yang terkait dengan peningkatan dekatan darah sistolik dan detak jantung, mengindikasikan pemisahan dari internet pada pengguna dengan PIU tinggi adalah sebuah cobaan yang mengakibatkan stress."

Penulis utama penelitian ini, Phill Reed, professor di Swansea University, menjelaskan pada Daily Mail perlunya publik dan negara memperlakukan media sosial sebagai permasalah kesehatan. Hanya begitu cara mengatasi efek negatif kecanduan internet. "Perkembangan komunikasi digital menjadi penggerak meroketnya penggunaan internet, terutama di kalangan perempuan. Sudah banyak bukti yang menunjukkan efek negatif penggunaan internet berlebihan pada manusia, entah yang bersifat psikologis neurologis dan kini fisiologis seperti yang dibeberkan hasil penelitian ini," ujar Reed. "Dengan demikian, kita seharusnya menyaksikan pemasaraan sambungan internet yang lebih bertanggung jawab—seperti yang kita lihat pada iklan perjudian dan minuman beralkohol."

Duh, kok kayaknya susah bener move on internet.