Tubuh perempuan biasanya mencegah ini terjadi, sehingga menjadikan superfetasi sebagai anomali yang berusaha dipahami oleh praktisi medis. Menurut Dr. Sherry, “Kalangan dokter paling suka fakta-fakta sulit; mereka suka menunjukkan jejak bagaimana ini bisa
Cover buku Kamil Baluk mengenai skandal Dr. Karbaat.

FYI.

This story is over 5 years old.

Kejahatan

Dokter Kesuburan di Belanda Hamili Belasan Pasien Pakai Spermanya Sendiri

Malapraktik ini terungkap menjelang sang dokter meninggal, sehingga keluarga pasien tak bisa menggugatnya.

Artikel ini sempat tayang dalam versi berbeda di VICE Poland dan VICE Netherlands

Sepanjang dekade 80-an dan 90-an, Dr Jan Karbat menjalankan salah satu klinik kesuburan terbesar di Belanda. Selama beberapa tahun terakhir, terungkap bila klinik tersebut terlibat malapraktik yang mengejutkan masyarakat. Di klinik itu—Bijdorp Medical Center di Barendrecht, dekat Kota Rotterdam—sperma dari berbagai donor tertukar, perempuan-perempuan dibohongi soal sosok penyumbang sperma bagi anak-anak mereka, dan arsip-arsip berceceran tanpa keterangan jelas. Klinik ini ditutup paksa oleh pemerintah setempat pada 2009. Fakta baru membuat cerita ini menjadi jauh lebih muram.Dr Karbaat, pengelola klinik yang meninggal dunia April 2017 di usia 89 tahun, secara diam-diam membuat pasien-pasiennya hamil pakai spermanya sendiri. Tak lama setelah kematiannya, 20 orang mantan pasien yang mencurigai bayi mereka adalah hasil sumbangan sperma Dr Karbaat mengajukan tuntutan hukum, menuntut sampel DNA dari Karbaat. Mereka telah mengumpulkan bukti-bukti kasus ini sejak lama, sayangnya Karbaat keburu meninggal sebelum mereka sempat mendaftarkan kasus tersebut ke pengadilan. Dr Karbaat selalu menolak memberikan DNA semasa hidupnya.

Iklan

Baru setelah kematiannya—dan setelah tuntutan tersebut didaftarkan ke pengadilan—anak sang mendiang dokter menyumbangkan sampel DNA-nya kepada Fiom, organisasi nirlaba di Belanda yang membantu orang-orang mengusut garis keturunan hingga nenek moyang. Fiom menemukan kecocokan antara si anak dan 19 anak para penggugat. Kini ke-19 anak tersebut mengetahui bahwa bapaknya adalah Dr Karbaat, namun banyak anak-anak lain hasil sumbangan sperma dari klinik tersebut yang belum mendapatkan kejelasan. Awal Juni, putusan pengadilan menetapkan bahwa DNA Dr Karbaat—yang diambil dari barang-barang pribadinya setelah meninggal dunia—dapat digunakan untuk tes lebih lanjut. Seperti ditulis BBC, "Jika profil DNA tersebut cocok, anak-anak tersebut, sebagian besarnya lahir pada 1980-an, berharap dapat melayangkan tuntutan pada dokter tersebut, kemungkinan atas dasar mereka tak sebaiknya lahir ke dunia."

Penulis asal Polandia Kamil Baluk menghabiskan tiga tahun menginvestigasi malpraktik dokter sperma Belanda dan menuliskannya menjadi sebuah buku, terbit awal tahun ini. Dia berbicara dengan mantan klien Dr Karbaat, anak-anak yang "dibuahi" dalam klinik tersebut, bahkan mewawancarai langsung sang dokter sebelum bukti DNA muncul. Saya menghubungi Kamil Baluk membicarakan soal investigasinya terhadap dokter bulit ini, dan perkembangan-perkembangan terbaru dalam kasus ini.

1497340293614-hamil

Ilustrasi kehamilan, bukan pasien Dr. Karbaat. Sumber foto: freestocks.org | CC0

VICE: Baru-baru ini ditemukan bahwa Dr Karbaat adalah ayah dari sekurang-kurangnya 19 anak pasien mereka. Apakah kamu terkejut ketika mendengar beritanya?
Kamil Baluk: Enggak kaget, sih. Pas saya menulis buku itu, saya tahu dia pernah menyumbangkan spermanya sendiri di klinik. Tapi saya tidak punya izin dari narasumber saya untuk menyatakan hal tersebut secara terbuka. Jadi saya menyebut hal tersebut, dalam buku, baru sebagai rumor. Saya tahu nama-nama orang yang percaya Dr Karbaat adalah bapak mereka, namun beberapa di antaranya menolak diwawancara selama Dr Karbaat masih hidup. Kamu menghabiskan tiga tahun menyelidiki malapraktik klinik ini. Bagaimana mulanya kamu tertarik pada kasusnya?
Saya pertama kali membaca sebuah tulisan tentang klinik itu di salah satu majalah Belgia, mengisahkan seorang ibu yang diberitahu Dr Karbaat kalau pendonor spermanya berkulit putih. Saat lahir, anak ibu itu memiliki kulit lebih gelap. Ketika saya mulai menginvestigasi lebih lanjut, pertama-tama saya berbicara dengan Hernik Becker, seorang laki-laki yang ibunya pernah mendatangi klinik Dr Karbaat. Kisahnya mirip—menurut dokumen-dokumen yang disediakan klinik tersebut, ayah biologisnya mestinya laki-laki berkulit putih dari daerah selatan Belanda. Berkat tes DNA, Fiom menemukan bahwa ayah biologisnya adalah laki-laki dwiras belum menikah. Laki-laki yang sama dengan yang mendonorkan sperma untuk anak-anak di artikel Belgia itu tadi. Seiring waktu, jumlah anak biologisnya semakin meningkat. Sekarang kira-kira jumlahnya 40 orang. Dia kayak gimana orangnya?
Saya memanggilnya Louis. Dia dan banyak anak-anaknya adalah fokus utama buku saya, yang bertajuk Wszystkie dzieci Louisa, atau "Semua anak-anak Louis." Spermanya telah digunakan lebih dari 40 kali, namun Louis sendiri merasa telah membuahi lebih dari 200 anak-anak, karena dia menyumbangkan sperma tiap minggunya selama 17 tahun. Dia benar-benar ingin menemui anak-anaknya—secara eksplisit dia meminta izin Dr Karbaat, namun sang dokter berkata itu mustahil. Kamu pernah ketemu Dr Karbaat semasa hidupnya kan?
Iya, saya pernah ke rumahnya tiga kali, dan pada kali ketiga saya akhirnya dibukakan pintu oleh istrinya. Saya bilang, saya penulis asal Polandia dan sedang menulis buku tentang Dr Karbaat, kliniknya, dan sumbangan spermanya. Dia mengizinkan saya masuk, saat itulah saya bertemu dengan Karbaat. Apa dia kelihatannya baik-baik? Apa dia coba melarikan diri dari tanggung jawab?
Saya enggak bisa bilang dia baik-baik, tapi jelas dia laki-laki yang menarik. Dia dianggap orang sukses pada usianya—dia telah menjadi dokter kawakan sebelum membuka klinik ini, dan dia pernah menjadi direktur medis di Zuider Hospital di Rotterdam. Tapi dia bukan seseorang yang memiliki empati, dan hal ini berbahaya bagi seorang dokter. Ketika saya ungkit hal itu, dia terlihat enggak peduli bahwa dia menyumbangkan spermanya untuk kliniknya sendiri dan membohongi klien-kliennya. Ini menjijikan, salah, dan kurang ajar. Sama halnya dengan arsip-arsip kliniknya yang berantakan. Dia benar-benar tidak peduli—dia terus-menerus membahas betapa bangganya dia atas yang dia kerjakan. Ketika saya pamit, istrinya berulang kali meyakinkan saya bahwa dia bukan orang jahat.

Iklan

Tonton dokumenter VICE yang mengikuti remaja perempuan di Nairobi belajar tinju untuk melawan tren pelecehan seksual:


Apakah dia bangga atas yang dilakukannya selama mengelola klinik kesuburan itu?
Jelas. Dia bilang pada saya ada 6.000 orang berlalu lalang di Belanda yang mungkin tidak akan lahir jika bukan berkat kliniknya. Dia ingin membantu sebanyak mungkin perempuan agar bisa hamil, dan hanya mementingkan hasil akhir. Dia bilang melihat perempuan-perempuan yang berhasil hamil adalah kepuasan tertinggi yang dia dapatkan dalam pekerjaannya. Apakah kamu percaya dia melakukan itu semua demi kebaikan klien-kliennya?
Ketika saya ngobrol dengannya sekali waktu, saya percaya dia melakukan itu semua karena dia kira itu yang terbaik bagi klien-kliennya. Saya percaya sperma-sperma sering tertukar dan seringkali menggunakan sperma dari pedonor yang sama karena dia tidak suka aturan dan prosedur dalam donasi sperma. Tentu, dia melarang saya menulis hal itu. Karena jika dia ketahuan melakukan itu semua, dia akan kehilangan kredibilitas.

"Dr. Karbaat mengira tanggung jawabnya terpenuhi ketika pasien kliniknya berhasil hamil."

Meski begitu, ada jurang besar antara "tidak menyukai aturan dan prosedur" dengan "secara sengaja menukar/mencampur sperma dan membohongi klien-klien." Kenapa kamu percaya dia sebenarnya punya niat baik?
Ya, kalau kamu menilik konteks sejarahnya, kamu akan menemukan bahwa sekitar 50 atau 60 tahun lalu, banyak orang percaya bahwa mencampurkan sperma dari laki-laki berbeda dapat meningkatkan kans kehamilan. Saya rasa dia bukan satu-satunya dokter yang melakukan hal itu. Dr Karbaat menjual sperma sebagai produk dan menginginkan produk tersebut dalam kualitas terbaik dan menghasilkan tingkat kesuksesan tertinggi. Saya rasa dia enggak terlalu peduli soal pedonor, apalagi soal calon anak-anak mereka. Dr Karbaat pasti mengira bahwa tanggung jawabnya usai setelah seorang perempuan berhasil hamil. Apakah menurutmu fokus terhadap sukses, adalah tanda era itu?
Dulu berbedalah, tidak seperti sekarang. Dalam buku saya, saya membandingkan laporan media Belanda dari masa lalu dengan yang kini kita ketahui, dan dengan pendapat anak-anak hasil donor sperma soal cara mereka dibuahi. Banyak hal telah berubah. Pada 70an dan 80an, banyak orang percaya bahwa hamil adalah hak asasi semua perempuan. Ada banyak iklan dengan slogan seperti "Jadi orang baik, sumbangkn sperma/telurmu." Itulah mengapa pedonor selalu anonim dahulu kala, supaya laki-laki merasa lebih mudah menyumbangkan sperma mereka.

Apa yang berubah?
Ketika orang-orang mulai menyadari bahwa sebagian anak mengalami masa pertumbuhan sulit karena tidak mengetahui ayah mereka, fokus masyarakat bergeser pada kebutuhan sang anak. Sejak 2004, pedonor sperma Belanda tak lagi bisa menyumbang secara anonim. Dr Karbaat tidak peduli dengan peraturan itu—dia terus memberikan sperma tanpa nama kepada klien-kliennya bahkan setelah 2004. Duh, dia benar-benar enggak peduli dengan peraturan dan hukum ya?
Enggak. Tapi saya rasa orang-orang tak begitu peduli dengan aturan dan hukum di era 70an dan 80an. Sebagai seseorang yang berasal dari Polandia, saya amat kaget bahwa sistem donasi sperma bisa seberantakan ini di sebuah negara Barat seperti Belanda.

Wawancara ini telah disunting agar ringkas dan enak dibaca.