Di Ghana, perempuan yang dituding mempraktikkan santet diburu dan dipaksa hidup dalam kamp penyihir yang terisolasi. Meski begitu, mereka tergolong beruntung.
Di berbagai penjuru dunia, tudingan melakukan praktik santet bisa berujung penyiksaan brutal, penculikan, bahkan pembunuhan. Bulan ini, sebuah terobosan dalam bentuk lokakarya bakal digelar di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa guna membahas kekejaman terhadap mereka yang dituduh mempraktekkan ilmu hitam. Ini bakal jadi lokakarya dan diskusi pertama di PBB tentang tema serupa di level internasional.
Menurut PBB, perburuan terhadap dukun santet belakangan mengalami lonjakan. Kasus-kasus yang belakangan terjadi makin keji dan makin marak terjadi di seluruh penjuru dunia. Para pakar dan akademisi menaruh harapan konferensi di Jenewa akan meningkatkan kesadaran tentang fenomena kejam ini. Harapannya, kasus-kasus perburuan dukun santet ini bisa digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
“Kepercayaan tentang ilmu santet ditemui di semua benua,” kata Dr. Charlotte Baker, yang memprakarsai pertemuan di Jenewa atas bantuan dana dari Lancaster University. “Secara global, tuduhan melakukan santet dan persekusi kerap berujung pada kasus pelanggaran HAM berat seperti pemukulan, pengusiran, mutilasi, amputasi paksa, siksaan, hingga pembunuhan.”
Kasus-kasus perburuan dukun santet harus diakui memang belum begitu diperhatikan oleh organisasi-organisasi kemanusiaan. Ada semacam kesulitan yang mereka hadapi dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan praktik santet di berbagai kebudayaan. Seorang juru bicara Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights mengatakan pada Broadly, “Angka pasti statistiknya mungkin susah diperoleh, tapi sudah jadi rahasia umum bahwa ribuan orang yang dituduh sebagai dukun santet jadi korban kekerasan, diusir dari keluarga, dan masyarakat mereka. Di banyak kasus bahkan sampai dibunuh.”
Rekan penyelenggara lokakarya ini, Gary Foxcroft adalah direktur eksekutif Witchcraft and Human Rights Network (WHRN), sebuah organisasi internasional yang berusaha menunjukkan kenaikan tren perburuan dukun santet. “Kegagalan komunitas internasional mengakui perburuan dukun santet sebagai pelanggaran HAM yang masif membuatnya menyebar bak virus ke seluruh penjuru dunia,” katanya.
Foxcroft menjelaskan mendapatkan cap sebagai dukun santet lebih gampang dari yang diduga banyak orang. “Kehilangan pekerjaan, sakit, kecelakaan, putus hubungan asmara, dan hancurnya harta benda bisa menempatkan seseorang yang rentan di tengah proses perburuan dukun santet,” jelasnya. “Namun, diperkirakan 70 persen kasus perburuan dukun santet dipicu oleh masalah kesehatan publik, seperti penyebaran penyakit menular. Orang bisa dituduh karena pelaku mencari kambing hitam. Biasanya anggota komunitas paling lemah lah yang jadi sasaran. Lelaki jarang sekali dituduh sebagai dukun santet.”
PBB telah mengidentifikasi perempuan, anak-anak, penduduk lanjut usia, dan penyandang disabilitas sebagai adalah kelompok yang palig sering jadi sasaran, dituduh sebagai dukun santet. Foxcroft menambahkan bahwa kekejaman yang terjadi bisa berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya, dari “perempuan tua yang dipukuli, disiksa dan dibunuh di Kenya, Papua New Guinea, dan India hingga kekejaman serupa yang menyasar anak-anak di Nigeria dan Republik Demokrasi Kongo (DRC).”
Menurut WHRN, penderita albinisme, penderita autisme dan Down’s Syndrome kerap dicap sebagai dukun santet. Adapun, tuduhan serupa yang dilayangkan pada perempuan baya tak lebih dari dalih untuk menyerobot tanah dan harta benda korban.
Yang menyatukan semua kasus ini adalah kurangnya respon dari perangkat yudisial setempat dan kekebalan hukum yang dinikmati oleh para pelaku. Dalam catatan sejarah, menuding seseorang sebagai dukun santet terus digunakan untuk menjustifikasi kekejaman yang dilakukan oleh pemuka agama patriarkis (contohnya: Salem witch trials di medio 1690-an).
Lebih jauh, pakar seperti Foxtcroft yakin bahwa pelanggaran HAM yang erat hubungannya dengan tuduhan dukun santet justru tumbuh subur lantaran pemuka agama yang getol menyebarkan ajaran berbahaya tentang dukun santet untuk mengeksploitasi dan mendapatkan uang dari publik yang ketakutan.
Menurut laporan tahun 2009 yang dikeluarkan oleh United Nations High Commissioner for Refugees, DRC memiliki ribuan gereja yang mendapatkan dana dari praktek pengusiran setan. Meski pemerintah melarang tuduhan dukun santet terhadap anak di bawah umur, hampir 50 ribu anak dipercaya masih disekap di tempat peribatan menunggu khotbah penyelamatan. Mereka juga terancam jadi korban kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan yang dilakukan dengan dalih pembersihan spiritual.
“Para penyerang kerap terpicu oleh konteks finansial, kultural, sosial dan spiritual yang memungkinkan mitos tentang dukun santet menyebar, salah satunya adalah kepercayaan bahwa bagian tubuh penderita albinisme bisa membawa rezeki dan nasib baik,” jelas rekan penyelenggara Ikponwosa Ero, orang pertama yang jadi pakar indepeden PBB tentang hak asasi manusia penderita albinisme.
Ero melanjutkan ada faktor kurangnya kesadaran bahwa kasus-kasus ini lazim terjadi dan minimnya pemahaman tentang apa yang harus dilakukan untuk menghentikannya. Perubahan positif baru terjadi jika melibatkan reformasi di ranah budaya dan hukum. “Penegakan hukum saja tak cukup untuk memberangus kepercayaan ini,” jelas Ero. “namun, diskursus publik, dukungan sosial bagi anggota masyarakat yang rentan jadi korban (misalnya, penderita albinisme) dan representasi positif dari kondisi mereka, bisa memicu perubahan.”
Namun seiring munculnya pergeseran global seperti bencana alam, kelaparan, perang dan kericuhan politik yang memicu maraknya tuduhan dukun santet makin santer terjadi, usaha untuk memerangi persekusi mereka yang disangka dukun santet harus ditingkatkan.
Menurut laporan PBB tahun 2009, krisis-krisis seperti ini bisa dengan mudah meruntuhkan “jaringan pengaman berbasis masyarakat… Dalam kondisi yang serba tak pasti ini, ketika organisasi sosial lama dan baru masih kewalahan,” demikian tertulis dalam laporan itu. “Keresahan yang muncul kemungkinan besar berubah menjadi kecurigaan dan ketakutan sosial.”
Di Angola dan DRC, konflik berkepanjangan telah meruntuhkan jaringan komunitas dan keluarga, menyebabkan lonjakan tuduhan dukun santet terhadap anak-anak. Para organisator dari PBB berharap konferensi di Jenewa bisa meningkatkan pemahaman akan kekerasan berbasis tuduhan dukun santet di kalangan mereka-mereka yang punya peran penting dalam menghentikan praktik kekerasan ini, mulai dari polisi, pengacara hingga duta besar, serta para pembuat kebijakan. Yang paling penting, menurut Foxcroft, konferensi ini akan jadi awal “dari proses panjang menemukan solusi yang diperlukan untuk menghentikan pembunuhan dan penyiksaan orang-orang tak bersalah.”