Sejak awal lockdown, aku dan tetangga depan rumah saling PDKT dari jendela kamar masing-masing. Maksudku, kami merokok pada jam yang sama — biasanya setiap jam makan malam atau sebelum tidur. Di saat matahari terbenam, kami saling bertatapan dari taman belakang yang dipenuhi mainan anak-anak atau para lelaki yang ingin barbekyu-an.
Aku selalu selesai duluan. Dia mengedipkan mata dan aku menutup jendela. Momen ini anehnya sangat intens. Aku pasti akan menganggap kedipan matanya menakutkan di situasi normal, tapi entah mengapa interaksi singkat ini membuatku terus membuka jendela setiap hari.
Videos by VICE
Momen bersama tetangga adalah keintiman fisik yang aku butuhkan di masa-masa seperti ini, ketika orang lajang tinggal sendirian atau tidak bisa bertemu pasangan. Interaksinya tentu hanya pengganti sementara. Bertatapan dengan tetangga rasanya tidak sama dengan mengagumi raut wajah pasangan ketika mereka serius membaca atau apalah itu.
Tetangga tidak mengenalku. Aku tak pernah menyadari sebelumnya betapa menyenangkan diinginkan seseorang. Ketertarikan fisik saja tidak cukup untuk membangun suatu hubungan, tapi tidak bisa dipungkiri hal itu sangat memabukkan. Ada sensasi tersendiri ketika kamu menyadari ada yang memperhatikanmu di keramaian, atau ketika tahu gebetan menonton Insta Story-mu.
Aku baru pindah beberapa bulan lalu dan jarang membuka jendela. Aku berangkat kerja di pagi hari, dan pulang saat malam tiba. Tapi kini, aku dan tetangga lainnya menghabiskan sebagian besar waktu di dalam rumah, dan memandangi rumah orang lain di hadapan kami.
Aku bukan satu-satunya yang merasa lebih dekat dengan tetangga setelah lockdown. Akhir bulan lalu, ada video viral yang menceritakan dua tetangga di New York tidak sengaja berkenalan. Jeremy, 28 tahun, melihat seorang perempuan menari di rooftop apartemen ketika dia sedang memandangi jendela. Jeremy lalu menerbangkan drone untuk memberikan nomor HP kepada perempuan itu. Pada akhirnya, mereka “kencan virtual”. Video ini memperoleh hampir 400.000 like di Twitter. Aku dan tetangga takkan berakhir seperti Jeremy tentunya, karena aku tidak punya drone dan kami tinggal di London selatan yang lebih tertutup.
Aku menghubungi psikolog seks dan hubungan Lucy Snider lewat Zoom untuk menceritakan pengalaman ini. Menurutnya, aku bisa tertarik dengan tetangga karena ada jarak di antara kami berdua. “Kamu memiliki hubungan intim dengannya tanpa perlu mengetahui siapa dia sebenarnya,” terang Lucy. “Kamu bisa menikmati koneksi yang dibutuhkan semua orang tanpa perlu khawatir akan disakiti mereka.”
Apa yang diucapkan Lucy soal kedekatan berjarak ini ada benarnya. Aku selalu menutup jendela ketika belajar joget TikTok atau mencamil kentang goreng. Tapi, aku akan membukanya ketika matahari sudah tinggi dan menyinari kamar tidur. Saat jendela dibuka, tetanggaku bisa memperhatikanku.
Aku tidak mengharapkan apa-apa, jadi dia takkan bisa membuatku kecewa. Kita takkan menghadapi kemungkinan-kemungkinan seperti saat match dengan seseorang di aplikasi kencan online dan mereka menyenangkan, tapi pas ketemu langsung mereka malah garing dan menyeramkan. Dengan tetanggaku ini, aku bisa mengabaikan fakta mereka bisa saja seperti itu. Aku takkan pernah tahu apakah dia orangnya belagu atau suka makan sambil mengecap.
Yang pasti, kami akan kembali seperti semula ketika semua ini berakhir. Aku tidak tertarik dengannya. Atau bisa saja, aku lupa mukanya seperti apa dan bisa saja orang yang aku lihat berbeda, tapi aku tidak sadar. Untuk sementara ini, aku senang diperhatikan, setidaknya sampai bisa keluar rumah lagi.
Follow penulis artikel ini di akun @nanasbaah
Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.
More
From VICE
-
(Photo by Leonard Ortiz/MediaNews Group/Orange County Register via Getty Images) -
Screenshot: Shaun Cichacki -
Credit: Thomas Trutschel/Photothek via Getty Images -
Credit: Getty Images