Artikel ini merupakan bagian dari kolaborasi redaksi VICE lintas negara mengulas isu kerusakan lingkungan ekstrem, yang mengancam masa depan anak muda. Awak redaksi dari Indonesia, India, Filipina, hingga Australia menghadirkan laporan mengenai peristiwa paling penting yang butuh perhatian segera dari masyarakat dan politisi. Untuk membaca laporan lain kami tentang isu-isu tersebut, silakan klik Environmental Extremes.
Krisis perubahan iklim membuat orang awam terinspirasi melakukan hal-hal luar biasa. Pelajar maupun guru matematika ada yang ditahan, bolos sekolah, makan dari tempat sampah, sampai bersumpah takkan punya anak, dalam upaya mencegah kematian umat manusia akibat kekeringan, kekurangan air, dan bencana alam akibat pemanasan global.
Videos by VICE
Namun, ada juga yang melakukan sebaliknya. Kegiatan korporasi bahan bakar fosil terus berlanjut, meski perusahaan besar itu sadar akan efek produk-produk mereka terhadap lingkungan Bumi yang semakin rapuh.
Sebetulnya cuma ada 100 perusahaan yang dianggap bertanggung jawab atas sumbangan 71 persen emisi gas rumah kaca (GRK) di tingkat global sejak 1988, menurut sebuah laporan 2017 oleh Carbon Disclosure Project (CDP). Sebanyak 25 di antaranya adalah korporasi milik negara maupun swasta yang menyumbang lebih dari 50 persen emisi GRK industri global. CDP mengatakan skala emisi perusahaan ini berkontribusi secara signifikan pada perubahan iklim.
Sebenarnya siapa yang salah? Meskipun para CEO mungkin tidak bertanggung jawab secara pribadi atas puluhan tahun kehancuran lingkungan, reputasi mereka tetap tidak bersih. Mereka harus turut bertanggung jawab dan berupaya melestarikan Bumi. Kita bisa mulai dengan mengidentifikasi lima korporasi besar yang menyumbang GHK paling banyak.
Sosok-sosok dalam artikel ini diambil dari laporan 2017 CDP serta data terkini lainnya hingga saat artikel ini ditulis. VICE sudah menghubungi para penulis laporan tersebut, yang sedang menggarap olah statistik baru seputar perilaku perusahaan berbagai negara dalam menghasilkan emisi karbon. Peneliti CDP mengkonfirmasi bahwa statistik dalam artikel ini tergolong akurat dan bisa dijadikan peringkat lima besar.
Inilah lima perusahaan yang paling layak jadi kambing hitam atas bencana iklim di Bumi:

5: ExxonMobil Corp
Persentase sumbangan emisi secara global: 1,98 persen
CEO: Darren Woods
ExxonMobil merupakan satu-satunya lima besar penyumbang GRK yang melantai di bursa saham, sekaligus berstatus sebagai perusahaan minyak terbesar di dunia. Setelah bekerja di ExxonMobil selama 24 tahun, Darren Woods menjabat sebagai CEO sejak awal 2017.
Darren mengklaim dirinya mendukung Persetujuan Paris dan sempat menulis surat kepada Presiden Donald Trump, meminta agar AS tetap berkomitmen pada persetujuan pengurangan emisi global tersebut. Namun, sebuah laporan InfluenceMap menuduh ExxonMobil menggelontorkan S$41 juta (setara Rp590 miliar) per tahun melobi senat Amerika agar memblokir kebijakan yang tujuannya mengurangi perubahan iklim. Kebijakan pro-lingkungan macam itu biasanya berdampak negatif buat industri migas dan tambang.
ExxonMobil kini menghadapi gugatan yang diajukan Jaksa Agung Negara Bagian New York pada Oktober 2018, karena diduga menipu investornya. Mereka diduga menyepelekan risiko yang ditimbulkan kilang dan berbagai bisnis mereka terhadap perubahan iklim.
Gugatan tersebut diajukan setelah muncul penyidikan mengenai praktik “harga proksi” dari produksi karbon imbas dari aktivitas ExxonMobil. Artinya, ExxonMobil tidak selalu menerapkan harga proksi dari risiko usaha mereka yang tercantum di keterbukaan bursa, melainkan menerapkan harga proksi lebih rendah atau tidak sama sekali.
ExxonMobil menyebut gugatan tersebut “keliru” dan “tidak berdasar sama sekali”.
“Selama bertahun-tahun, ExxonMobil telah menerapkan harga karbon proksi pada peluang investasinya apabila diperlukan, demi mengantisipasi dampak finansial agregat kebijakan pemerintah potensial. Pernyataan eksternal ExxonMobil telah menggambarkan penggunaan harga karbon proksi secara akurat, dan dokumen-dokumen yang diberi kepada Jaksa Agung menjelaskan fakta tersebut.”
Persidangan akan digelar Oktober 2019 di Manhattan, New York.
Meskipun Darren pernah membahas pentingnya diskusi dan keterlibatan publik dalam upaya menyelamatkan lingkungan, ia tidak menghadiri persidangan parlemen Eropa tentang perkara penyangkalan perubahan iklim Maret kemarin. Parlemen Uni Eropa memutuskan untuk tidak mencabut lisensi lobi ExxonMobil, karena mereka mengklaim ExxonMobil tidak diundang ke persidangan tersebut secara resmi.
Merespons gugatan itu, juru bicara Exxon mengatakan: “Kami menolak teori yang berupaya menyamakan pengamatan ilmiah legitim dan perbedaan pendekatan kebijakan dengan penyangkalan perubahan iklim. Tuduhan tersebut dapat dibantah catatan historis, termasuk riwayat penelitian iklim ExxonMobil yang dilakukan terbuka bersama Departemen Energi, peneliti independen, dan Panel Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Kami telah berhenti mendanai kelompok-kelompok yang berpendapat ekstrem dan tidak berkontribusi pada diskusi tentang kebijakan iklim atau/dan tidak didukung fakta ilmiah. Risiko perubahan iklim sudah jelas dan harus diatasi. Kami percaya kami semua harus bersatu demi melestarikan lingkungan—dari perusahaan, hingga pemerintah dan individu—untuk mencapai progres. Kami ingin menjadi bagian dari solusinya. Sejak 2000, kami membelanjakan US$10 miliar (setara Rp140,8 triliun) dalam teknologi beremisi rendah, yakni penangkapan karbon dan bahan bakar bio alga.”

4: National Iranian Oil Co
Persentase sumbangan emisi di tingkat global: 2,28 persen
CEO: Masoud Karbasian
Sebagai perusahaan milik negara, National Iranian Oil Co adalah perusahaan minyak kedua terbesar di dunia, yang sanggup menghasilkan sebanyak 4 juta barel minyak dan 750 juta meter kubik gas per hari.
Masoud Karbasian diangkat menjadi CEO NIOC pada November 2018, ketika pemerintahan Trump memperkenalkan embargo minyak terhadap Negeri Para Mullah itu. Dia sempat menjabat sebagai menteri keuangan Iran, sampai akhirnya dia dihentikan oleh parlemen Agustus tahun lalu karena gagal menangani dampak sanksi ekonomi AS, yang membuat program nuklir Iran diberlakukan kembali.
Situs web NIOC hampir tidak menyebutkan kepedulian soal perubahan iklim, maupun tanggung jawab dan emisi lingkungan dari sudut pandang perusahaan. Walaupun begitu, Masoud mengatakan perusahaannya “sangat menjunjung tinggi perlindungan lingkungan” pada Juni tahun ini. Dia menjabarkan rencana untuk membatasi kerusakan lingkungan, termasuk memprioritaskan pencegahan daripada memperbarui aktivitas. Iran telah menandatangani, tetapi belum meratifikasi Perjanjian Paris.
VICE berulang kali meminta tanggapan tentang data emisi aktivitas dari bisnis mereka, tetapi National Iranian Co sama sekali tidak merespons.

3: Gazprom OAO
Persentase sumbangan emisi secara global : 3,91 persen
CEO: Alexey Miller
Gazprom adalah perusahaan gas alam yang dikendalikan pemerintah Rusia. BUMN ini merupakan yang terkaya di Rusia. Alexey Miller menjadi ketua komite manajemen perusahaan itu sejak 2001. Sebelumnya, dia menduduki posisi wakil menteri energi Rusia.
Di bawah pengawasannya, Gazprom menjadi perusahaan pertama yang menyedot minyak dari Sumur Prirazlomnoye pada Desember 2013. Lapangan minyak Arktik dikabarkan mengandung lebih dari 70 juta ton minyak. Mereka juga sedang merencanakan pemasangan pipa gas raksasa di seluruh Eropa. Nord Stream 2 akan mengaliri gas dari Rusia sampai Jerman. Akan tetapi, sejumlah pihak seperti Perdana Menteri Inggris, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Dewan Eropa Donald Tusk mengkritik proyek ini karena berpotensi “memecah belah”, menjadikan “Jerman tawanan Rusia”, dan “bersifat negatif”.
Miller masuk ke dalam daftar orang yang kena sanksi ekonomi oleh AS tahun lalu, dan dia malah bangga. Sanksi dibuat untuk menghukum tokoh-tokoh penting Rusia untuk berbagai aktivitas, termasuk dugaan memanipulasi pemilu.
Gazprom menjadi perusahaan migas pertama di Rusia yang mengembangkan kebijakan lingkungan. Informasi di situs web mengatakan perusahaan “mengambil langkah-langkah tepat untuk terus meningkatkan kinerja lingkungannya” dengan menetapkan target lingkungan perusahaan dan memberikan pelatihan relevan terhadap karyawan.
Gazprom OAO tidak menanggapi permintaan VICE untuk berkomentar tentang akurasi data yang kami miliki.

2: Saudi Arabian Oil Company (Aramco)
Persentase sumbangan emisi secara global: 4,50 persen
CEO: Amin H Nasser
Saudi Aramco adalah perusahaan terkaya dan penghasil GRK terbesar di dunia dalam sektor bahan bakar fosil. Perusahaan minyak nasional milik Kerajaan Arab Saudi ini mengklaim migas adalah sektor paling penting dalam memenuhi permintaan energi global yang meningkat. Alasannya, menurut Amin, karena “sumber alternatif belum siap memasok energi yang memadai dan terjangkau untuk beberapa waktu.”
Rencana raksasa minyak senilai $2 triliun (setara Rp28 kuadriliun) untuk melantai di bursa baru dihidupkan kembali. Penawaran umum perdana saham (IPO) Aramco, menurut Putra Mahkota Mohammed Bin Salman, akan dimulai pada 2021. Rencana ini diduga akan menjadi IPO yang terbesar di dunia.
Amin menjadi CEO Saudi Aramco pada 2015 setelah 33 tahun bekerja di sana. Dia awalnya berprofesi sebagai engineer di divisi produksi minyak. Amin merupakan lulusan teknik perminyakan dari King Fahd University of Petroleum and Minerals di Dhahran.
Dia mengatakan perusahaannya berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca dan berencana mendanai teknologi yang “menguntungkan lingkungan”.
Aramco tidak menanggapi permintaan VICE untuk berkomentar tentang akurasi data yang kami punya.
1: Cina (Batu bara)
Persentase sumbangan emisi global: 14,32 persen
CEO: Pemerintah Tiongkok
Cina, yang emisi batu baranya diwakili negara dan produksinya dilakukan beberapa industri nasional, adalah produsen dan konsumen batu bara terbesar di dunia. Tak hanya itu, perusahaan AS Health Effects Institute melaporkan negara ini juga menjadi penghasil emisi GRK terbesar, dan polusi udara menyebabkan 1,6 juta kematian dini anak-anak di negara itu setiap tahunnya.
Tiongkok ikut menandatangani Protokol Kyoto pada 1998—tetapi dibebaskan dari target pengurangan emisi yang mengikat—sekaligus meratifikasi Persetujuan Paris pada 2016. Sebenarnya Cina memenuhi target pengurangan karbon 2020, tiga tahun lebih cepat dari jadwal. Negeri Tirai Bambu itu berhasil mengurangi emisi karbon dioksida per unit PDB sebesar 46 persen dari tingkat 2005 pada akhir 2017.
Namun, produksi batu bara Cina naik 2,6 persen jadi 1,76 miliar ton pada paruh pertama tahun ini, dan persetujuan konstruksi tambang batu bara baru telah meningkat lima kali lipat selama periode yang sama. Foto-foto satelit tampaknya juga menunjukkan konstruksi pembangkit listrik tenaga batu bara yang ditunda tahun lalu akhirnya dilanjutkan—sebuah langkah yang membuktikan produksi dan pemakaian batu bara bisa meningkat bersamaan dengan pengurangan emisi.
Kapasitas batu bara negara rencananya akan dilanjutkan hingga memuncak pada 2030.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.
More
From VICE
-
Photo: Shutterstock -
D3sign/Getty Images -
Sanus Extendable Wall Mount for Sonos Arc/Arc Ultra – Credit: Sanus -
Andriy Onufriyenko/Getty Images