Psikolog dan psikiater sudah lama memikirkan cara untuk menyembuhkan penyakit pedofilia. Upaya terapi yang dirancang untuk mengubah ketertarikan pada anak menjadi pada orang dewasa sulit dilakukan. Dewasa ini, pedofilia sering dianggap sebagai orientasi seksual—karakteristik bawaan yang tidak bisa diubah.
Paul Fedoroff, psikiater dari University of Ottawa, punya pandangan berbeda. Dia menerbitkan penelitian yang bertajuk: “Can people with pedophilia change? Yes they can!” (Apakah pedofil bisa berubah? Tentu bisa!)
Videos by VICE
Fedoroff menjelaskan bahwa pedofilia bukan orientasi seksual, melainkan “minat seksual”. Itu berarti minatnya cenderung seksual. Menurutnya, minat seksual bisa muncul melalui belajar, pengalaman dan observasi. Minat ini bisa “berubah-ubah sepanjang hidup.”
Fedoroff juga mengatakan bahwa “perubahan minat seksual tidak ada bedanya dengan (misalnya) minat untuk jadi vegetarian, atau makan kangkung dan tiram.” Dengan kata lain, dia beranggapan bahwa kita bisa mempelajari preferensi seksual baru layaknya menyukai makanan baru. (Meskipun begitu, dia tidak menjelaskan kalau kalian bisa mengubah orientasi seksual.)
Dia begitu yakin dengan pendapatnya, sampai-sampai dia menulis dalam bukunya: “Sekarang saya rutin memberi tahu pasien baru [yang mengidap pedofilia) bahwa prognosis mereka sangat baik dan mereka bisa menghilangkan bukti penyakitnya kurang dari setahun.”
Berapa banyak bukti yang menunjukkan kalau pedofil bisa berubah? Sejauh ini, hanya ada satu studi yang mendukung gagasan Fedoroff. Penelitian tersebut, yang ditulis Fedoroff, melibatkan pengujian gairah seksual terhadap 43 laki-laki yang dilakukan pada dua kesempatan berbeda. Setiap sesi, peserta mendengarkan rekaman skenario erotis yang menggambarkan anak kecil atau orang dewasa. Perubahan ereksinya lalu direkam dengan penile plethysmograph, cincin yang dipasangkan ke penis dan mengukur perubahan aliran darah.
Semua laki-laki menunjukkan pola gairah pedofil saat tes pertama, yang berarti mereka sange oleh kisah anak-anak. Akan tetapi, hampir separuh peserta (49 persen) menunjukkan perubahan dalam polanya saat tes berikutnya. Gairah mereka terhadap anak-anak menurun, dan naik pada orang dewasa. Kami tidak tahu alasannya, karena ini bukan studi pengobatan. Peserta dipilih semata-mata karena mereka ikut tes dua kali, tanpa ada kejelasan apakah mereka menjalani perawatan.
Fedoroff merujuk pada studi ini dan sejumlah bukti lain yang menunjukkan bahwa pedofilia bukan “bawaan lahir” dan bisa berubah. Misalnya, dia juga menyinggung bahwa tingkat dilakukannya kembali pelanggaran seksual terhadap anak-anak relatif rendah, dan jumlah kekerasan seksual terhadap anak-anak menurun meskipun ada pertumbuhan populasi. Menurutnya, apabila perilaku pedofilia tidak bisa berubah, maka tingkat residivisme dan kejahatan seksual seharusnya meningkat. Dia juga merujuk pada penelitian yang menunjukkan bahwa penjahat seksual pada umumnya cenderung mengurangi risikonya untuk melakukan kejahatan lagi dari waktu ke waktu. Fedoroff menggunakan ini sebagai bukti bahwa minat seksual bisa berubah.
Meskipun Fedoroff mengutip studi ilmiah, penafsirannya terhadap data-data tersebut banyak dikritik. Beberapa bahkan mengklaim bahwa bukti dalam penelitiannya sangat cacat. James Cantor, psikolog di University of Toronto yang mendalami pengobatan pedofilia, sangat tegas dalam mengkritik penelitiannya. Dalam serangkaian balasan komentar yang diterbitkan oleh Cantor dan Fedoroff di jurnal Current Sexual Health Reports, Cantor menyoroti kekurangan utama pada penelitian tahun 2014 yang menyebut bahwa pedofilia bisa diubah.
Misalnya, Canor merujuk pada analisis ulang tahun 2016 dari data tersebut, yang menyimpulkan bahwa ada “kesalahan pengukuran yang cukup besar” di penelitian asli. Hasil penelitiannya tidak mencerminkan variabilitas kemungkinan lainnya. Metode yang mereka gunakan untuk mengategorikan orang dengan minat pedofil ternyata tidak valid. Dengan kata lain, tidak ada data pendukung yang menunjukkan bahwa metode itu bisa secara akurat mengklasifikasikan seseorang sebagai pedofil. Ini juga mengasingkan studi-studi yang menilai perubahan minat pedofilia dari waktu ke waktu, yang sebagian besar menunjukkan tingkat stabilitas yang tinggi.
Selain itu, ada yang bermasalah dari pengukuran ereksi penis untuk mengidentifikasi pedofil. Peserta bisa saja menekan respons mereka untuk meyakinkan diri sendiri atau dokter kalau mereka sudah berubah. Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki yang bukan pedofil bisa menahan ereksinya saat melihat foto erotis dengan membayangkan hal-hal menjijikkan, seperti kamar mandi kotor. Bisa jadi laki-laki pedofil yang mengalami perubahan itu sudah mengendalikan gairahnya. Itu berarti ketertarikannya tidak benar-benar berubah.
Mengenai argumen Fedoroff tentang penurunan angka pelecehan seksual anak-anak dan penurunan risiko pelanggar seks seiring waktu, Cantor menegaskan bahwa penurunan angka kekerasan seksual belum tentu berarti bahwa angka pedofilia juga menurun, karena tidak semua peleceh anak-anak adalah pedofil. Masih banyak orang belum sadar akan fakta bahwa sejumlah orang dewasa yang terutama tidak tertarik pada anak-anak masih melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Faktanya, sebagian besar peleceh anak bukan pedofil. Selain itu, banyak pedofil tidak pernah melakukan kekerasan seksual. Artinya, meskipun angka pelecehan seksual terhadap anak-anak menurun, angka pedofilia mungkin tetap sama.
Penurunan angka pelecehan seksual yang terjadi pada individu seiring waktu belum tentu berarti bahwa preferensi seksual seseorang dapat berubah seiring bertambahnya usia. Mungkin sebabnya adalah penurunan libido yang terjadi dengan bertambahnya usia, yang mungkin membantu mengatur ketertarikan seksual yang menyimpang.
Pendeknya, bukti bahwa pedofil bisa berubah masih belum definitif. Cantor dan orang lain percaya bahwa pesan yang disampaikan Fedoroff kepada pedofil—bahwa mereka dapat berhenti menjadi pedofil kapan saja mereka inginkan—akan menghalangi mereka dari mengembangkan bakat yang dibutuhkan untuk mengatur keinginan seksual mereka, agar mereka dapat mencegah perilaku pelecehan seksual. Dengan kata lain, ada kemungkinan sejumlah pedofil akan berpikir mereka sudah sembuh, padahal mereka belum. Dan mereka takkan berbekal pengetahuan yang mereka butuhkan untuk mengatur ketertarikan mereka pada anak-anak.
Psikolog asal Kanada Michael Seto mengungkapkan ide ini dalam laporannya, yang merangkum bukti yang sudah ada dengan menyatakan “konsensus para ahli” di bidang ini adalah bahwa pedofilia dan atraksi abnormal lainnya yang terkait usia menjadi “stabil seiring waktu,” yang artinya bahwa intervensi harus difokuskan pada “pengaturan, bukan ‘penyembuhan.’”
Menariknya, sejumlah pedofil telah menyuarakan pendapat mereka bahwa ‘penyembuhan’ itu bukanlah hal yang nemungkinkan. Misalnya, para penulis blog Pedofil Tentang Pedofilia, yang dijalankan laki-laki pedofil yang tidak ingin bertindak sesuai dengan ketertarikan mereka, menulis bahwa “memberi harapan palsu pada pedofil itu membahayakan dan salah.”
Saya menghubungi Fedoroff untuk meminta komentar; dia terus mendukung teorinya dan bukti yang dia kutip. Dia menulis: “Dr. Cantor pada dasarnya berkata kepada pedofil, ‘ketertarikanmu takkan pernah berubah, jadi hidup saja tanpa seks.’ Teori kami berkata ‘ada harapan bahwa kamu bisa mempunyai ketertarikan seksual normal dan kehidupan seks yang sehat, bahagia, dan legal.”
Fedoroff bertanya, “perspektif yang mana lebih mungkin berhasil? Yang menyuruh orang ‘mengatur’ ketertarikan mereka yang ‘tak bisa sembuh’… atau yang mendidik orang mengenai fakta bahwa mereka bertanggung jawab atas perilaku seksual mereka, dan bahwa terapi mereka (yang terindividualisasi) didesain untuk membantu mereka mengubah ketertarikan agar mereka tidak lagi mempunyai keinginan seksual terhadap anak-anak?”
Dalam penukaran email singkat dengan Cantor, dia menulis kata-kata berikut mengenai upaya untuk meyakinkan orang yang tertarik kepada anak-anak bahwa mereka bisa sembuh: “Itu membuatku takut habis-habisan,” katanya. “Seperti bom waktu yang berdetak.”
Justin Lehmiller, PhD adalah peneliti di Institut Kinsey dan penulis blog Sex and Psychology .