Identity

Pelajar yang Sekolahnya Pernah Diserang Boko Haram Berbagi Pengalaman Lewat Foto

Foto siswi sekolah Chibok—duduk bersila, berseragam chador berwarna coklat dan hitam dengan bendera Boko Haram di belakang mereka—tersebar luas di berbagai surat kabar di seluruh dunia. Setelah diculik dari sekolah mereka yang terletak di kawasan timur laut Nigeria 4 April 2014 lalu, hanya 57 dari 276 siswi tersebut yang berhasil kabur dari penculiknya beberapa bulan kemudian.

Meski sejumlah gerakan dicanangkan untuk menangani krisis ini, termasuk Bring Back Our Girls campaign, yang diinisiasi oleh Michelle Obama dan Angelina Jolie, sampai saat ini lebih dari seratus siswi yang diculik belum diketahui keberadaannya.

Videos by VICE

Mereka semua adalah korban dari ateror Boko Haram yang menyasar sekolah dan kampus di kawasan utara Nigeria. Boko Haram adalah kelompok fundamentalis anti pendidikan ala barat dan semua yang dianggap tak berbasis syariat Islam. Arti nama keloempok teror itu berarti “pendidikan ala barat hukumnya haram.”

Fotografer Rahima Gambo tak sudi foto yang diambil Boko Haram itu jadi satu-satunya yang tercetak dalam kesadaran kolektif umat manusia saat mereka membayangkan keseharian siswi sekolah di Nigeria. Pada 2014, saat Gambo kembali ke kampung halamannya di Abuja setelah belajar di luar negeri, pemberitaan tentang penculikan siswi sekolah Chibok tengah ramai-ramainya dibahas di media massa.

“Pemberitaan ada di mana-mana,” kenang Gambo yang sempat was-was karena sebagian besar kerabatnya tinggal di kawasan timur laut Nigeria. “Bagi saya, karena saya memang berasal dari sana, yang menarik adalah bagaimana para siswa di sana bertahan melewati konflik dari hari ke hari. Saya ingin menarik diri dari pemberitaan internasional yang sensasional agar bisa melihat situasinya dengan lebih reflektif dan berimbang.”

Sejumlah pertanyaan lantas melintas dalam pemikiran Gambo: “apa yang kira-kira dirasakan oleh siswa yang masih terus bersekolah? Terutama mereka yang belajar di sekolah yang pernah diserang oleh Boko Haram? Bagaimana mereka mengalami semua ini?”

Guna menjawab semua pertanyaan di atas, Gambo menyambangi SMP Sanda Kyarimi Government Secondary School di Maiduguri, yang pernah diserbu milisi Boko Haram pada 2013 lalu. Setelah sempat ditutup karena alasan keamanan selama beberapa lama, sekolah tersebut kembali dibuka pada 2015 dan siswa SMP tersebut kembali belajar dengan perasaan was-was bahwa milisi Boko Haram bisa menyerang kapan saja.

“Kalau kamu masuk bangunan sekolah di Nigeria, kamu bisa melihat bagunannya hampir hancur, tak berfungsi seperti seharusnya. Begitu kalian masuk ruang kelasnya, kamu akan mendapati kelasnya kosong melompong. Tak ada bangku atau meja,” ujar Gambo mengenang kunjungannya ke bangunan-bangunan sekolah di Nigeria Utara. “Risih sekali rasanya menyaksikan sebuah institusi pendidikan yang tak berjalan semestinya. Mirip seperti dalam cerita-cerita distopia.”

Gambo ingin hasil jepretannya menjungkirbalikan konsep bangunan sekolah sebagai “ruang yang netral.” Sebaliknya, bagi Gambo, bangunan sekolah “kaya dengan makna.”

Secara khusus, Gambo ingin mengetengahkan suara dan pengalaman para pelajar di Nigeria dalam konteks tersebut. Media barat, jelasnya, lebih condong untuk menyingkirkan aspek tersebut. Pemberitaan yang mereka turunkan hanya berkisah pada aktivitas teror Boko Haram—alih-alih korbannya.

“Ada banyak pemberitaan tentang Boko Haram dan serangan teror mereka ke sekolah, tapi mana coba suara pada korbannya?”

Foto favorit Gambo dari seri foto sekolah Nigeria ini adalah foto seorang siswi yang tengah menyebrangi sungai dekat sekolahnya. “Dalam benak saya, foto ini sangat beresonansi karena mengandung banyak makna,” urainya. “Foto menegaskan seperti seharusnya seorang perempuan bebas digambarkan. Namun, foto ini seakan dihantui bayangan gadis-gadis Chibok. Di mana mereka sekarang? Apakah mereka masih tersesat di hutan entah di mana?”

Foto itu bagi Gambo menyatukan mitos dan kenyataan. “Foto ini membawa saya ke ruang antara dongeng dan folklor. Foto-foto semacam inilah yang saya sukai: foto-foto yang harus kita bongkar sendiri maknanya.”


Kumpulan foto “Education is Forbidden” karya Rahima Gambo dipamerkan dalam program Africa MediaWorks Photography Prize.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly