Bagi sebagian orang, Pemilihan Presiden 2019 adalah perjuangan hidup dan mati. Bentrokan yang terjadi pada 21 dan 22 Mei menuntut agar dibatalkannya hasil Pilpres 2019 yang dimenangkan pasangan petahana Joko Widodo dan Ma’ruf Amin betul-betul memakan korban jiwa.
Sembilan orang tewas sepanjang kericuhan yang terjadi dua malam di pertengahan bulan Ramadan tersebut. Baru-baru ini Kepolisian mengkonfirmasi setidaknya empat dari sembilan orang yang tewas dalam kerusuhan tersebut diakibatkan peluru tajam. Sementara itu lima korban lainnya tidak diotopsi sehingga polisi tidak bisa memastikan penyebab utama kematiannya. Namun polisi menyebut empat dari lima orang yang tidak diotopsi tersebut kemungkinan besar tewas akibat peluru tajam, sementara seorang lagi diduga meninggal akibat benda tumpul.
Videos by VICE
Juru bicara Mabes Polri, Dedi Prasetyo menyebut hingga saat ini kepolisian masih melakukan uji balistik terhadap peluru yang digunakan. Ia mengkonfirmasi bahwa peluru yang ditemukan tersebut merupakan peluru berukuran 5,56 mm dan 9 mm.
“Belum ditemukan senpi (senjata api) jenis apa yang digunakan,” kata Dedi seperti yang dikutip BBC Indonesia.
Kepada Tirto, Dedi menyebut peluru berukuran 9 mm dan 5,56 itu lazim digunakan Polri maupun TNI dan bisa juga digunakan dalam senjata rakitan termasuk oleh berbagai kelompok separatis bersenjata seperti Mujahidin Indonesia Timur.
Senada dengan Dedi, Pengamat Militer sekaligus mantan kepala Badan Intelijen Strategis, Soleman B. Ponto kepada BBC News Indonesia menyebut bahwa peluru 9 mm dan 5,56 mm memang lazim digunakan militer sekaligus juga digunakan oleh kelompok separatis militan di Ambon, Papua, termasuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Tepat beberapa hari sebelum demonstrasi dan ricuh 21 dan 22 Mei, Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menyebut bahwa ada senjata yang diselundupkan dan diduga akan digunakan untuk membuat kerusuhan saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilpres. Ia mengungkap senjata tersebut tidak menggunakan pembidik melainkan teleskop untuk melihat objek dari jarak jauh.
“Ditemukan senjata yang dilengkapi peredam,” kata Moeldoko kepada media lokal 20 Mei lalu. “Senjata itu sudah disiapkan untuk sniper.”
Akibat demonstrasi ricuh dipicu hasil pemilihan presiden 2019 itu, delapan orang meninggal, ratusan orang dilarikan ke rumah sakit akibat luka, baik itu serangan benda tumpul, tusukan, hingga terkena peluru karet. Selain itu, 257 orang ditahan di Kantor Polisi atas sangkaan memprovokasi keributan atau terlibat kerusuhan.
Pasca kerusuhan, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Tito Karnavian, menyatakan aksi kekerasan dan provokasi dilakukan oleh orang-orang bayaran yang sebagian besar terdiri dari mereka yang masih remaja. Sebanyak 72 orang ditangkap karena menyerang polisi dan merusak fasilitas umum saat unjuk rasa di sekitar Bawaslu. Sementara itu 156 terduga provokator digelandang dari Petamburan karena membakar mobil polisi dan merusak fasilitas negara, sementara itu 29 tersangka lainnya dicokok polisi karena diduga hendak menyerang Polsek Gambir.
Sebelumnya, Polisi menduga, skenario yang ingin diciptakan adalah mendiskreditkan pemerintahan saat ini. Meskipun pada kenyataannya, beberapa anggota Kepolisian sempat terbukti melakukan cara-cara kekerasan untuk menangani kericuhan.
Jika sampai jatuh korban, maka polisi dikesankan bersikap zalim pada oposisi. Pelaku yang ditangkap mengaku berencana memakai senjata itu pada momen 22 Mei.
“Supaya timbul martir. Alasan untuk buat publik marah, yang disalahkan aparat pemerintah,” kata Kapolri Tito Karnavian.
Meskipun demikian, Kepolisian tidak lepas dari pelanggaran prosedur penangkapan tersangka rusuh. Sebuah video beredar dan viral merekam aksi personel Brigade mobil (Brimob) mengeroyok pemuda di Kampung Bali, Jakarta Pusat. Juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, mengakui sebagian personel melanggar prosedur saat menangkap tersangka.
Satu hal yang pasti, polisi wajib mengungkap pelakunya, dari pihak manapun itu. Termasuk mengusut pelanggaran yang dilakukan personel kepolisian sendiri selama menangani kericuhan.