Hari itu Mira* berangkat seperti biasa ke rumah majikannya yang terletak di sebuah komplek perumahan kawasan Pamulang, Tangerang Selatan. Pekerjaan Mira mencakup menjaga anak sang majikan yang masih empat tahun selama orang tuanya bekerja. Mira sekaligus diminta menyuci baju, menyapu, serta mengepel lantai bawah dan atas rumah.
Menjelang siang, perempuan 40 tahun itu merasakan hal janggal. Suami sang majikan keluar rumah seorang diri menggunakan mobil. Setelah pulang lelaki itu langsung naik ke lantai atas dan masuk ke kamarnya, tidak keluar lagi sampai sore.
Videos by VICE
Di penghujung hari yang sama, sang majikan perempuan menghampiri Mira dan mengatakan, “Anak saya jangan sampai naik ke atas. Suami saya kena Covid-19.”
Mira terhenyak. Sebelum masuk kerja, sang majikan tidak memberitahu bila ada anggota keluarga yang sedang terkena Covid-19. Sang majikan masih menyuruhnya berbelanja ke pasar, hingga ia selesai bekerja di sore hari. Selepas memberi kabar buruk itu, sang majikan tetap memintanya untuk masuk keesokan harinya.
“Keluarga saya mewanti-wanti agar saya tidak masuk kerja dulu,” cerita Mira kepada VICE. Karena tidak enak hati dan bersimpati dengan kondisi majikannya, Mira tetap masuk keesokan harinya, meski hanya dua jam.
Beberapa hari kemudian, majikannya memberi tahu dirinya bahwa sang suami sudah negatif Covid-19. Mira diminta kembali bekerja. Hanya saja, Mira mulai merasa tidak enak badan. Ia merasa lemas dan sakit kepala hingga ia tidak bisa melakukan aktivitas apa pun selain berbaring di tempat tidur.
Majikannya meminta Mira menjalani tes antigen untuk memastikan apakah dia juga tertular Covid-19. Mira tidak menyanggupi. Biaya tes antigen yang sekitar Rp100 ribu terbilang mahal untuk upahnya yang hanya Rp1,4 juta per bulan. Sementara sang majikan tidak bersedia membiayai tes tersebut. “Majikan saya bilang kalau saya enggak mau swab test, ‘Ya sudah, berhenti saja. Saya cari yang baru.’”
Pernyataan sang majikan menyakiti hati Mira. Dia telah bekerja selama empat tahun di rumah tersebut. Upah hasil bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di sana menjadi pemasukan utama keluarga. Mira memiliki anak berusia 14 yang sekolahnya mesti ia biayai. Sudah lima tahun suami Mira terkena stroke dan tidak bisa bekerja lagi.
Sang majikan sempat meminta kontak kenalan Mira yang kira-kira berkenan menggantikan perannya. “Saya dengarnya sakit hati. Sampai nangis-nangis,” tutur Mira.
Tak hanya Mira, perilaku tak menyenangkan serupa juga dialami Ratih*. Dia bekerja seperti biasa di apartemen majikannya yang terletak di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ketika tiba-tiba sang majikan menyuruhnya mengenakan masker dengan alasan dirinya sedang sakit. Sang majikan tidak pernah mengabari apapun soal kesehatannya sebelum Ratih datang. “Ia tetap meminta saya masuk,” ujarnya.
Berselang beberapa menit, majikannya menginformasikan bahwa dia baru saja mengambil tes PCR, dan hasilnya positif. Ratih terkejut sekaligus khawatir ia ikut tertular. Apartemen majikannya bertipe 1BR (satu kamar tidur). Luas apartemen yang terbatas membuatnya semakin rentan terpapar virus.
Perempuan 36 tahun itu juga tak bisa langsung pulang, sebab dia diminta membersihkan kamar tidur sang majikan. “Akhirnya saya bersihkan, habis itu saya pulang. Kebetulan, setelah itu, majikan saya dijemput untuk isolasi mandiri di Wisma Atlet. Saya disuruh membersihkan apartemennya dan menyemprotkan desinfektan keesokan harinya.”
Nanik, PRT lain, merasa diskriminasi yang menimpanya dirinya menjadi semakin parah sejak situasi pandemi memburuk di Indonesia. Pada masa awal pandemi, Nanik kena PHK dari pekerjaan tetapnya, sehingga menganggur lebih dari setahun. Pada awal 2021, ia akhirnya mendapatkan kesempatan bekerja kembali. Hanya saja, selama bekerja sebagai PRT ia selalu dituduh sebagai pembawa virus oleh majikannya.
“Kamu jangan dekat-dekat saya. Maskernya dipakai terus. Saya tidak tahu kamu di luar ke mana saja,” ujar majikannya kepadanya. Nanik sebetulnya sudah menekankan kepada sang majikan bahwa dirinya tidak pergi ke mana-mana. Nanik memiliki tiga anak, salah satunya masih bayi, sehingga ia berusaha untuk selalu di rumah setelah pulang bekerja. Berkebalikan dengannya, majikan Nanik justru rutin mengundang banyak orang ke rumah untuk berbuka puasa bersama.
“Karena saya sudah berorganisasi [masuk serikat PRT], saya bisa membela diri. Saya bilang ke majikan saya, ‘Kenapa saya yang dituduh membawa virus, padahal Ibu mengumpulkan banyak orang di rumah Ibu setiap hari?’ Saya katakan bahwa mungkin teman-teman beliau yang membawa virus,” ujar Nanik.
Mendengar respons tersebut, sang majikan marah. “Majikan saya tidak suka saya berani melawan.” Dengan situasi kerja menjadi tidak nyaman, Nanik mengundurkan diri setelah menunaikan kewajibannya bekerja selama tiga bulan masa percobaan.
Pengalaman buruk Mira, Ratih, dan Nanik tidak unik. Selama pandemi Covid-19, posisi PRT amat rentan di Tanah Air. Arum, selaku tim paralegal di Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tangerang Selatan, mendapat banyak laporan kasus PRT yang diberhentikan dari pekerjaannya, menerima beban kerja yang lebih besar, dan pemasukan yang justru berkurang.
“Banyak kawan saya yang suaminya positif Covid-19, kemudian berdampak kepada istrinya sebagai PRT yang diberhentikan dari pekerjaan karena majikan mereka takut tertular. Banyak juga yang beban kerjanya bertambah: yang biasanya enggak masak, jadi masak. Sementara itu, gaji mereka dipotong: majikan tidak lagi memberikan uang tambahan atau uang lembur,” papar Arum.
Banyak kebutuhan tambahan selama bekerja—seperti masker dan hand sanitizer—mesti ditanggung PRT dari kocek sendiri. Sementara itu, PRT tidak bisa menuntut ke majikan agar hak-hak mendasar mereka tersebut dipenuhi karena belum ada dasar hukum yang menjadikan itu sebagai kewajiban majikan.
“Ketika mereka meminta pertanggungjawaban majikan, majikan yang tahu hukum juga bisa tanya: ‘Mana dasar aturannya? PRT, kan, tidak seperti buruh atau pekerja kantoran.’ Kami enggak bisa jawab kalau ditanya begitu,” lanjut Arum.
Di sisi lain, membuat perjanjian kerja tertulis antara PRT dan pihak majikan bukan perkara mudah. Menurut Arum, dari seluruh PRT yang bergabung dalam SPRT Tangerang Selatan, tidak ada sama sekali yang memiliki perjanjian kerja tertulis dengan majikan mereka. Sebab, jika mereka mencoba mengajukan perjanjian kerja pada majikan, mereka justru terancam diberhentikan.
Ketiadaan dokumen hitam di atas putih itu pula yang membuat Ratih sungkan meminta hak THR sebelum Lebaran. Ia juga pernah mengalami dirumahkan secara sepihak oleh majikannya. Berbeda dari Nanik, Ratih atau Mira tidak bergabung dalam serikat PRT.
“Saat lebaran tahun lalu, saya dirumahkan selama dua bulan. Saya sempat minta izin tidak masuk karena sakit, dan sepertinya majikan saya khawatir saya terkena Covid-19. Imbasnya, saya tidak mendapatkan THR,” ujar Ratih. “Sebenarnya saya ingin minta perjanjian tertulis, tapi khawatirnya saya malah di-PHK.”
Selang beberapa hari setelah diancam bakal diberhentikan, Mira mendapat kiriman pesan dari sang majikan. Dia meminta Mira bekerja kembali. Akan tetapi perlakuan sang majikan kepadanya terlanjur traumatik, sehingga Mira memilih tidak mengambil tawaran tersebut.
Sebab ancaman itu bukan pertama kalinya Mira mendapatkan perlakuan tidak enak dari sang majikan. Sang majikan pernah menuduhnya positif Covid-19. Ketika Mira menanyakan kondisi kesehatan si suami, majikan perempuan marah. “’Kamu jangan bicara yang bukan-bukan. […]. Kamu pasti juga positif, lah,’ kata beliau. Saya kesal juga dicatat positif tanpa bukti.”
“Saya memang ingin kerja, tapi tidak mudah mencari majikan yang baik,” lanjut Mira.
Nanik kembali menganggur sejak mengundurkan diri dari pekerjaannya. Sehari-hari, ia berupaya menambal kebutuhan keluarga dengan berjualan kue basah. Hanya saja, semenjak PPKM Darurat diberlakukan, jualannya menjadi sepi pembeli. Hasil kerja suaminya juga hanya cukup untuk membiayai uang sewa kontrakannya di Pejaten Barat, Kemang, Jakarta Selatan.
Anak Nanik yang paling besar mestinya melanjutkan kuliah tahun ini. Niat itu mesti diurungkan, hingga ia mendapatkan pekerjaan tetap lagi. Nanik kini kesulitan memenuhi kebutuhan susu untuk anak bungsunya yang masih berusia 11 bulan.
Karena bukan warga yang memiliki KTP DKI Jakarta, Nanik tidak mendapatkan bantuan sosial apa pun dari pemerintah Ibu Kota semenjak awal pandemi. Ketika ia mencoba mengajukan bantuan di kampung tempatnya tinggal, permintaan itu pun ditolak dengan alasan ia sedang tidak tinggal di sana. “Jadi, saya di-ping pong terus,” keluhnya.
“Setiap harinya saya mesti berpikir keras untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga dan susu untuk anak bayi saya. Saya mulai mempertimbangkan apakah lebih baik saya pulang ke kampung jika tidak juga mendapatkan pekerjaan,” tutur Nanik.
Sementara bagi Ratih yang menjadi PRT paruh waktu, pemberlakuan PPKM Darurat berarti ia harus kehilangan satu dari tiga sumber pemasukannya. Sehari-harinya, Ratih bekerja di tiga tempat: sebuah apartemen di Kuningan, Jakarta Pusat, apartemen di Pondok Indah, Jakarta Selatan, dan di rumah kawasan perumahan di Rawa Buntu, Tangerang Selatan.
Nahasnya, manajemen komplek perumahan di Rawa Buntu tidak memperbolehkan PRT yang pulang pergi masuk ke wilayah komplek. Itu pukulan lain bagi pemasukan Ratih. “Sekali jalan, saya dapat Rp300 ribu untuk kerja selama tiga jam. Tapi sudah dua minggu saya enggak bisa bekerja di sana lagi,” ujarnya.
Ratih sekaligus kesulitan mengakses transportasi umum seperti KRL untuk berangkat dan pulang kerja. “Terakhir naik KRL, saya mesti isi link formulir untuk menyertakan surat izin kerja. Sementara itu, enggak ada pilihan ‘PRT’ sebagai pekerjaan di dalam formulir. Untuk daftar pun mesti punya NPWP. Saya enggak punya. Kenapa jadi diskriminatif begini?”
Survei yang dilakukan Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) selama April 2020-Juni 2021 terhadap 539 PRT, menunjukkan bahwa terdapat 151 PRT yang dirumahkan dengan pemotongan upah hingga 50 persen. Selain itu, terdapat 164 PRT yang bekerja secara penuh waktu di-PHK tanpa diberikan pesangon, dan ada 120 PRT yang bekerja secara paruh waktu kehilangan sebagian pekerjaannya.
PRT tidak bisa menjadi peserta BPJS Kesehatan sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) ataupun menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, karena hukum tidak menganggap mereka sebagai pekerja formal. Sementara itu, dengan upah rata-rata PRT di kawasan Jakarta yang berada di rentang Rp800 ribu hingga Rp1 juta, tidak memungkinkan bagi PRT membayar iuran jaminan sosial secara mandiri.
Problem lainnya, sebanyak 73 persen PRT yang tinggal di Jabodetabek kesulitan mengakses bantuan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) karena mereka memegang KTP non-Jabodetabek.
Lita Anggraini, selaku Koordinator Nasional JALA PRT, memaparkan bahwa pandemi menguak berbagai problem sistematis yang terjadi akibat ketiadaan jaminan hukum bagi profesi pembantu. “Pandemi Covid-19 membuat situasi ini semakin mengkhawatirkan karena PRT luput dari kebijakan jaringan pengamanan sosial,” kata Lita.
Sebetulnya ada secercah harapan untuk mengubah berbagai cerita buruk tersebut. Jalan keluar itu adalah Rancangan Undang-undang Perlindungan PRT. Namun 2021 menandai 17 tahun rancangan beleid itu diajukan ke DPR RI dan menggantung sampai sekarang.
Berdasarkan naskah yang telah diunggah di situs DPR, pekerja rumah tangga yang dimaksud dalam RUU ini meliputi mereka yang melakukan berbagai pekerjaan domestik, seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, merawat anak, menjaga orang sakit atau berkebutuhan khusus, mengemudi, menjaga rumah, hingga mengurus binatang peliharaan.
RUU ini tidak secara saklek mengatur soal upah minimum yang wajib dibayarkan majikan kepada PRT, tetapi mewajibkan dibuatnya perjanjian kerja antara PRT dan pemberi kerja yang berdasarkan “kesepakatan yang mengikat para pihak” dan “tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.
Naskah RUU itu pun tidak mengatur secara spesifik jumlah hari cuti ataupun tunjangan yang berhak didapatkan oleh PRT, melainkan mengatur bahwa PRT berhak untuk menerima jatah cuti dan tunjangan hari raya (THR) yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja. Namun, yang cukup krusial, pasal 11 RUU ini menyebutkan bila PRT berhak menjalankan ibadah, bekerja dengan jam kerja yang manusiawi, mendapatkan jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan, dan berhak mengakhiri hubungan kerja.
Pada 2020, RUU Perlindungan PRT yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas batal disahkan dalam sidang paripurna, karena disinyalir adanya penolakan dari sejumlah fraksi. Tahun ini, RUU masuk kembali ke dalam Prolegnas Prioritas. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sekaligus Ketua Panita Kerja (Panja) RUU ini, Willy Aditya, mengatakan bahwa naskah RUU telah disepakati menjadi usulan Baleg—dengan 7 fraksi menyetujui, sementara 2 fraksi yang terdiri dari Golkar dan PDIP menolak.
“Sudah diambil keputusan di Baleg dan diserahkan ke pimpinan DPR. Tinggal masuk ke sidang paripurna. Kalau sudah di-paripurna-kan, RUU ini akan jadi hak inisiatif DPR untuk dikirim ke presiden. Kemudian, presiden dengan pemerintah menerbitkan surat surat presiden beserta Daftar Inventaris Masalah (DIM) untuk dibahas lebih lanjut,” kata Willy kepada VICE. “Jadi, sekarang bolanya ada di pimpinan DPR untuk mengagendakan sidang paripurna.”
Bagi Willy, urgensi mengesahkan RUU Perlindungan PRT tinggi, apalagi di tengah pandemi saat ini. “Jangan sampai kita menggantungkan nasib kaum marjinal. Kalau digantung terus, perlindungan terhadap PRT dari kekerasan, diskriminasi, hingga perdagangan manusia semakin suram,” ujarnya.
Willy mengaku tak tahu mengapa pimpinan DPR saat ini, Puan Maharani, tak kunjung membawa RUU ini ke tahap sidang paripurna atau Pembicaraan Tingkat II. “Harus ditanyakan ke Ibu Puan,” katanya. Ia juga sempat menyinggung bahwa, “Mestinya enggak boleh ada unsur subyektif dalam hal ini. Kepentingan mekanisme lembaga berbeda dengan kepentingan politik fraksi.”
VICE mencoba meminta keterangan Puan Maharani selaku Ketua DPR RI terkait kejelasan nasib RUU Perlindungan PRT, tetapi belum ada jawaban hingga artikel ini tayang. Anggota fraksi PDIP yang sempat menolak pembahasan RUU tersebut juga tidak menjawab ketika dimintai komentar.
Lita Anggraini mengatakan belum adanya titik terang pengesahan RUU Perlindungan PRT hingga saat ini semakin memojokkan posisi PRT di Indonesia. “Sebanyak 5 juta Pekerja Rumah Tangga di Indonesia menjadi tulang punggung dalam keluarganya. Mereka harus memikirkan kesehatan dan memastikan ekonomi keluarga agar tak terhenti hidupnya,” papar Lita.
“JALA PRT melihat, tak ada alasan lagi bagi anggota DPR RI untuk tak membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai RUU Inisiatif DPR dalam rapat paripurna tahun 2021.”
*Nama asli Mira dan Ratih kami ubah untuk melindungi privasi keduanya
Permata Adinda adalah jurnalis yang bermukim di Jakarta. Pada 2021, Dinda menjadi peserta Fellowship Citradaya Nita untuk menuliskan tema “Dampak Covid-19 bagi Perempuan dan Kelompok Marjinal”