Selamat datang di kolom baru VICE Indonesia bertajuk “Zaman Edan“. Dalam seri liputan berikut kami akan mengajak kalian menelusuri berbagai kejadian luar biasa, menguak sejarah foto ikonik, atau membongkar lagi detail peristiwa besar yang cenderung dilupakan dari masa lalu bangsa ini.
Matahari sudah sepenuhnya tergelincir di ufuk barat, pada 20 Januari 1985, ketika Mohammad Jawad dan Achmad Muladawila berjalan mengendap-endap mendekati pos penjagaan di pintu selatan kompleks candi Borobudur. Dua buah tas ransel terpacak di punggung mereka. Suasana yang sepi begitu kontras dengan hiruk pikuk di siang hari yang sarat pengunjung dan pedagang asongan. Tak banyak percakapan terjadi antara kedua orang itu. Ada tugas lebih penting menanti.
Videos by VICE
Achmad, kala itu 25 tahun, adalah anak sulung dari enam bersaudara kelahiran Bangil, Jawa Timur. Bertinggi badan 160 cm dan berambut keriting, sehari-hari Achmad bekerja di sebuah toko di Pasar Besar Malang sembari kuliah di Institut Teknologi Nasional Malang. Di sela-sela kesibukannya itu, Achmad masih menyempatkan diri ikut pengajian yang kadang dipimpin Jawad. Di mata keluarganya, Achmad adalah sosok penurut dan berbakti. Dia tergolong pendiam dan cenderung mudah terpengaruh lingkungan.
Sifat itulah yang diyakini menjadi penyebab Achmad mau mengikuti apapun yang diajarkan gurunya. Jawad adalah sosok ustaz berwatak keras. Dilansir majalah Tempo, dalam pengajiannya tak jarang Jawad menyitir isu-isu sosial politik yang tengah bergulir di masa itu. Ia mengkritik keras kebijakan Suharto dan memimpikan berdirinya sebuah negara Islam. Ia juga mengutuk aliran kepercayaan sebagai “agama sontoloyo.”
Jawad menyebut Borobudur sebagai warisan berhala yang dibikin untuk menandingi kejayaan Islam. Jawad dan keluarganya tergolong misterius. Dia tak banyak bergaul dengan tetangga. Yang diketahui orang sekitar, Jawad pernah menempuh pendidikan di Iran sesudah keberhasilan Revolusi Islam 1979, sesuatu yang diyakini menjadi bahan bakar pemikiran garis kerasnya.
Setelah merasa cukup dekat dengan pos, Achmad berhenti sejenak dan berjongkok. Dia mengambil sebongkah batu yang teronggok di dekatnya dan melempar ke arah atap pos penjagaan. Hening. Tak ada reaksi.
Jarum jam perlahan mendekati angka tujuh. Kedua orang itu menunggu sejenak. Setelah dirasa aman, mereka menerobos pagar berduri dan berjalan menuju candi. Mereka mendaki 10 teras candi setinggi 35 meter tersebut dan menuju pelataran paling atas—tempat di mana 16 arca Budha bersila berjejer rapi dalam formasi lingkaran, mengelilingi kubah utama yang melambangkan pusat alam semesta. Kedua orang itu lantas mengeluarkan isi tas mereka: 13 bom batangan berbahan trinitroluena (TNT). Setiap bom berupa dua batang dinamit yang dilekatkan dengan selotip dan dipasangi detonator. Setelah mengaktifkan detonatornya, bom-bom tersebut dimasukkan ke dalam stupa dan ditempelken ke patung.
Setelah dirasa cukup, ustaz-murid itu bergegas turun dan berjalan sejauh 7 kilometer menuju pinggir jalan raya Yogyakarta-Magelang. Mereka menumpang sebuah bus menuju kampung halaman mereka di Malang, Jawa Timur melalui Semarang dan Surabaya.
Dini hari, antara pukul 1:30 – 3:30 WIB, bom tersebut meledak. Sembilan stupa dan empat patung rontok. Daya ledaknya tergolong rendah, menurut Pangdam VII/Diponegoro kala itu Mayjen Soegiarto saat dikonfirmasi harian Kompas.
“[Daya ledak] Tak terlampau besar,” kata Soegiarto. “Patungnya hancur karena peledak diletakkan di punggung patung. Kemudian atap stupa runtuh dan itu yang merusakkan patung.”
Selama satu bulan pelaku peledakan itu tak juga terungkap. Polisi gagal menemukan petunjuk barang sedikit pun. Kelompok itu seakan sukses menghapus semua jejak. Hingga, akhirnya, pada 16 Maret 1985 aparat menemukan titik terang. Salah satu anggota kelompok teroris itu melakukan kesalahan sepele namun berakibat fatal.
Husein Ali Al-Habsyi adalah ulama kelahiran Ambon, 1950 yang disegani. Saat berusia tiga minggu, Husein menderita sakit mata. Ibunya kemudian memberikan tetes mata untuk orang dewasa ke Husein. Malang, Husein justru menjadi buta. Dokter maupun tabib angkat tangan. Saat berusia 15 tahun Husein berkelana di kota-kota pulau Jawa. Ia kemudian berguru pada Husein Al-Habsyi, seorang ulama tersohor di Bondowoso, Jawa Timur. Di sana, ia tertarik dan mendalami ilmu tauhid.
Berbekal ilmu agama yang kuat dan gaya bicara halus yang memikat, Husein lantas mendapat banyak pengikut dari kalangan remaja dan mahasiswa. Undangan dakwah dari seantero Jawa Timur kerap diterima. Rumahnya di Malang segera berubah menjadi semacam pesantren.
Walau gaya bicaranya halus, isi dakwahnya seringkali pedas. Dia menolak ideologi Pancasila. Gaji PNS pernah disebutnya sebagai uang haram, karena berasal dari pajak perjudian dan pelacuran.
Dari rumah Husein itulah lahir serangkaian rencana serangan bom dalam rangka membalas rezim Orde Baru yang dinilai terlalu sekuler dan represif terhadap umat Islam. Beberapa bulan sebelum bom Borobudur, tepatnya dua hari sebelum Natal 1984, Jawad dan Achmad bertemu di rumah Husein. Tak terbersit di benak Achmad secuil pun soal serangan bom. Tapi Jawad sudah punya rencana matang rupanya.
“Apa yang selama ini sudah kamu lakukan demi tegaknya agama Islam?” kata Achmad kepada Tempo, menirukan pertanyaan Ibrahim.
Achmad bingung tiba-tiba ditanya begitu. Dengan berat dia menjawab, “belum ada.” Ibrahim lantas menyuruh Achmad untuk kembali dua hari lagi ke rumah Husein. Jawad punya tugas buat Achmad. Dua hari kemudian Jawad memberi sebuah bungkusan buat Achmad. Tugasnya: meledakkan gereja.
“Saya kaget dan menolak,” kata Achmad. “Tapi Jawad kemudian bercerita soal perjuangan Islam segala macam.”
Versi dari Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Malang, pada sidang 1999, agak berbeda dari versi Achmad. Jaksa menyebut sesaat setelah bertemu di rumah Husein, Jawad yang telah memiliki bahan peledak bersama Achmad pergi ke rumah Abdulkadir Ali Al-Habsyi, yang tak lain adalah adik kandung Husein. Di rumah Abdulkadir, dua orang itu merakit bom untuk diledakkan di gereja.
Bahan peledak itu didapat dari Baraja, kawan Husein yang mukim di Telukbetung, Lampung. Di daerahnya bahan peledak memang lazim diperjualbelikan buat bikin bondet yang jadi favorit nelayan menangkap ikan. Sebagai kawan, Baraja tak merasa curiga ketika Husein berniat membeli 40 kilogram bahan peledak dan 40 detonator.
Versi apapun itu, yang jelas ketiga orang itu: Abdulkadir, Jawad, dan Achmad—masing-masing dengan sebuah bom—berangkat selepas salat Isya dengan rencana meledakkan Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) di malam Natal.
“Setelah sampai di sana, sekitar pukul 9 malam, saya lihat di dalam gereja sedang dilakukan misa,” kata Achmad. Melihat banyaknya jemaat, ketiga orang itu mengalihkan sasaran. Sebab sebelumnya, mereka berprinsip bahwa serangan itu tak boleh menimbulkan korban jiwa.
Sasaran kemudian dipindah. Achmad bakal meledakkan Sasana Budaya Katolik, sementara Jawad ke Seminari Alkitab Asia Tenggara yang berjarak beberapa kilometer dari GPIB. Bom yang dilemparkan Achmad membikin lubang sedalam 0.5 meter di pelataran gereja. Kaca dalam radius 20 meter pecah. Jawad juga sukses membuat kerusakan. Tembok gedung roboh, sedangkan kaca dan atap rumah penduduk juga ambyar. Hanya bom Abdulkadir yang macet dan gagal diledakkan.
Keberhasilan bom gereja dan Borobudur membuat trio bomber tersebut jumawa. Target berikutnya sudah masuk daftar mereka lewat pertemuan di rumah Jawad pada 20 Februari 1985: Pantai Kuta, Bali. Selain Abdulkadir sebagai bomber veteran, ada tiga orang lain yang turut serta dalam pertemuan itu. Sementara Achmad Muladawila menolak ikut rencana pemboman itu. Februari tahun itu juga, mereka memulai observasi ke sekitar kawasan Kuta untuk menentukan target.
Tepat 15 Maret 1985, Abdulkadir dan tiga orang kawannya menumpang bus Pemudi Express dari Malang, Jawa Timur menuju Kuta. Bom yang sudah dirakit ditaruh ke dalam paralon berdiameter 30 cm dan dimasukkan ke dalam tas.
Saat memasuki desa Sumber Kencono, Banyuwangi, bus tersebut berhenti sejenak. Abdulkadir lantas turun beristirahat. Hanya berselang beberapa menit, bom tersebut meledak di dalam bus. Abdulkadir lolos dari maut. Tapi nasib tiga kawan Abdulkadir dan empat penumpang lain berbicara lain. Mereka tewas. Agaknya bom tersebut terpapar panas berlebih dari mesin.
Abdulkadir kabur dan berusaha mencari tumpangan kembali ke Malang. Tapi warga sekitar yang curiga dengan gerak-geriknya lantas menangkap dan menyerahkannya ke aparat. Petualangan jaringan bomber Jawa Timur tersebut akhirnya tamat. Husein kabur, sebelum akhirnya ditangkap lima tahun kemudian di Garut, Jawa Barat. Sementara Jawad hingga kini tak kunjung terungkap keberadaannya. Ada rumor dia kabur ke Iran.
Ketiga bomber tersebut telah dihukum. Husein dipidana seumur hidup dan bebas setelah menjalani 10 tahun penjara setelah mendapat remisi dari Presiden Habibie pada 1999. Dia masih menyangkal keterlibatan dirinya dalam rangkaian serangan itu. Sementara adiknya Abdulkadir dan Achmad diganjar 20 tahun penjara dan bebas setelah menjalani separuh hukuman.
Kendati pelakunya telah dihukum, sejumput pertanyaan masih tak kunjung menemui titik terang. Kenapa aparat tak juga bisa melacak sosok Jawad? Apa sebenarnya motif mereka? Dari mana mereka belajar merakit bom mengingat Abdulkadir maupun Achmad tak memiliki keahlian khusus di bidang militer. Abdulkadir, yang kala itu berusia 25 tahun, cuma berprofesi sebagai pedagang mebel.
Apapun pertanyaannya pengamat sepakat bahwa kejadian itu merupakan reaksi kaum konservatif terhadap kebijakan Orde Baru yang menindas. Banyak pihak juga menyebut rangkaian serangan bom tersebut sebagai bentuk balas dendam atas peristiwa berdarah yang kerap dijuluki Tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984.
Peristiwa itu kerap dinilai sebagai puncak ketegangan antara Orde Baru dengan umat Islam. Tragedi itu bermula dari kisruh antara aparat Babinsa dengan pengurus sebuah musala. Musababnya di dinding musala tertempel poster yang tak sesuai Pancasila. Kondisi sosial-politik saat itu memang tengah memanas. Semua organisasi yang dianggap menyimpang dari ideologi negara itu dianggap subversif, tak terkecuali organisasi muslim.
Warga sekitar menolak mencopot poster itu. Dua anggota Babinsa lantas menyiramnya dengan air got. Selang empat hari kemudian 1.500 orang bergerak ke arah Polres Tanjung Priok dan markas Kodim. Pemerintah merespon dengan personel militer dan kendaraan tempur. Tentara memberondong massa yang meneriakkan takbir tersebut. Jumlah korban simpang siur. Pemerintah bilang cuma puluhan, tapi saksi mata dan aktivis yakin jumlah korban tewas mencapai 400-an.
Dalam lansekap politik, toh peristiwa Tanjung Priok cuma satu dari sekian banyak reaksi. Sebab sejak awal berkuasa Suharto merasa terancam dengan kekuatan muslim di kancah nasional. Suharto yang abangan konon ‘alergi’ dengan kalimat ‘Insya Allah.’ Kekuatan muslim dipandangnya sebagai ‘fanatisme sempit dan bentuk kegiatan ekstremisme yang berbahaya buat kita semua.’
Demi mengkonsolidasikan kekuasaannya, Suharto melarang organisasi dan parpol bernafaskan Islam. Semua partai Islam kala itu dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Simbol-simbol keagamaan tak boleh muncul. PPP pun kemudian kehilangan identitas keIslamannya saat itu.
Tapi kerasnya sepatu lars rezim juga akhirnya dibalas dengan lebih keras oleh kelompok fundamentalis. Sepanjang Suharto berkuasa, setidaknya lebih dari selusin kasus terorisme terjadi, mulai dari pemboman bank BCA hingga bom di Masjid Istiqlal.
Jaringan teroris yang dipimpin Husein Ali Al-Habsyi dan Mohammad Jawad memang tergolong amatiran, tapi misterius dari segi jumlah pengikut dan struktur organisasi. Mereka tak punya keahlian militer. Tak jelas pula dari mana mereka belajar merakit bom. Baik Husein maupun Jawad dilaporkan dekat dengan tokoh Islam garis keras seperti Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar yang kelak mendirikan kelompok teroris paling mematikan di Asia Tenggara Jemaah Islamiyah (JI) di awal 1990-an hingga dekade awal 2000-an.
Namun fakta apakah kedekatan itu juga berarti sebuah bentuk transfer pengetahuan dan bantuan operasional kegiatan teror masih sumir. Sebab baik Sungkar maupun Baasyir kala itu tengah melarikan diri dari kejaran aparat rezim Suharto dan bersembunyi di Malaysia.
Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Al Chaidar berpendapat kelompok teroris amatir macam begini akan terus bermunculan merespon gejala sosial politik. “Ini tak bisa dihindari, selama dirasa ada ketidakadilan mereka akan muncul lagi,” kata Al Chaidar pada VICE.
Pendapat itu juga senada dengan penelitian Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). Beberapa dekade setelah trio bomber Borobudur beraksi, aksi terorisme dengan semangat balas dendam akibat konflik geopolitik terjadi di berbagai penjuru negeri. Sebuah kelompok teroris meledakkan bom berdaya rendah di Wihara Ekayana Arama di Kebon Jeruk, Jakarta Barat pada 4 Agustus 2013, menyusul kekerasan yang menimpa etnis muslim Rohingya di Myanmar. Serangan itu juga sebuah bentuk respons dari seruan Baasyir yang bilang bahwa jihad di Myanmar adalah kewajiban tiap muslim.
Sebelumnya ada dua rencana teror yang menyasar lokasi yang dianggap sebagai perwakilan umat Buddha. Awal 2013, faksi Darul Islam mencoba menyerang Pasar Glodok di Jakarta Pusat. Pada 2 Mei 2013, anggota pecahan Darul Islam lainnya mencoba meledakkan Kedutaan Myanmar. Dua rencana tersebut tak sempat terealisasi.
Terorisme dari dulu hingga sekarang masih sama sifatnya. Pemerintah bisa memetakan potensi konflik dari kondisi geopolitik dan sosial saat ini, agar dapat mencegah potensi dan eskalasi konflik.
Yang kerap dilupakan, dari benturan antar ideologi itu adalah munculnya korban. Tak cuma korban jiwa, tapi juga korban sampingan yang merasa menjadi bagian dari suatu pergerakan yang besar tapi pada dasarnya hanyalah sebuah pion dalam percaturan yang tak jelas akan dimenangkan oleh siapa. Tak terkecuali Achmad Muladawila.
Dalam persidangan Achmad tak paham apa motif sesungguhnya dari serangan itu. Saat ditanya majelis hakim, dia kebingungan. Jawad selalu mendoktrin Achmad bahwa serangan itu dimaksudkan untuk mengguncang dunia.
Achmad buru-buru menambah penjelasan lain pada majelis hakim. Sebuah pengakuan bahwa dia sebetulnya ragu aksinya memberi kejayaan pada agama yang dia imani. Jenis keraguan yang sayangnya tak banyak menghinggapi anggota kelompok ekstremis di Indonesia.
“Sebenarnya saya tak merasa dunia bisa guncang karena peledakan itu,” kata Achmad dalam persidangan. “Entahlah. Tapi saya merasa sangat terjebak, sehingga saya sangat terpaksa melakukan semua itu. Saya cuma merasa lega karena tugas yang dengan terpaksa saya lakukan itu sudah selesai saya kerjakan.”