Inilah realisme magis versi Indonesia.
November lalu, DPR membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang didalamnya tercantum pasal membahas praktik dukun santet. Tentu saja, beleid kontroversial ini mengundang komentar serta kritik dari netizen. Negara seakan mengakui hal-hal gaib yang sulit untuk dibuktikan secara legal-formal.
Videos by VICE
Melalui beleid ini, seseorang mengaku mempunyai kemampuan ilmu santet dilarang menggunakan kemampuannya untuk tujuan buruk atau balas dendam. Artinya, pasal baru di KUHP ini mengkriminalisasi tujuan pelaku, bukan tindakan santet.
Bukan kali ini saja santet dibahas dalam revisi KUHP. Pengaturan hukum pidana untuk menjerat dukun santet pertama kali muncul pertama kali pada era 90-an. Saat itu terjadi perdebatan antar anggota Badan Pembinaan Hukum Nasional saat mendengar usulan pemerintah. Para ahli mengatakan hampir mustahil mempidanakan santet sebelum mengakui ilmu gaib seperti itu nyata.
Isu ini kembali muncul ke permukaan di tahun 2011 dan 2013, dengan perdebatan yang sama sengitnya. Para anggota DPR melempar topik ini ke media massa untuk melihat reaksi masyarakat. Butuh tiga tahun sampai akhirnya pasal tersebut dibahas lagi oleh legislator. Seperti sebelumnya, RUU KUHP yang memasukkan pasal santet datang atas usulan Kementerian Hukum dan HAM. Sejauh ini anggota Komisi III masih belum bersepakat tentang teknis kepolisian nantinya membuktikan kejahatan santet.
“Yang diatur atau yang di pasalnya itu adalah orang yang menyatakan diri punya kemampuan ilmu santet,” kata Arsul Sani, anggota Komisi III DPR yang membahas RUU bidang hukum. “Jadi (orang tersebut) menyatakan diri saya dukun santet itulah yang dipidana.”
Indonesia subur dengan bermacam praktik ilmu gaib. Beberapa dukun dikenal luas laiknya selebriti. Presiden Indonesia ke-2, Suharto, dikenal kerap menggunakan dan membayar mahal masukan dari “penasehat spiritual”.
Majelis Ulama Indonesia mencoba mengurangi praktik ilmu hitam dengan mengeluarkan fatwa mengharamkan santet. Fatwa ulama tidak banyak mengubah pandangan mayoritas umat muslim di negara ini yang masih mempercayai klenik. Survei dilakukan oleh Lembaga Riset Pew pada 2012 menyatakan 69 persen umat muslim di Indonesia percaya santet itu nyata dan benar-benar bisa melukai orang lain.
Kepercayaan terhadap ilmu santet ini terkadang memiliki implikasi dunia nyata yang mematikan. Di akhir 90-an, terjadi pembantaian dukun santet di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Para pelakunya dijuluki ninja. Lebih dari 100 orang tewas akibat aksi kekerasan sistematis ini. Para penduduk Banyuwangi, yang keluarganya diduga mempraktikkan ilmu hitam, sampai membarikade pintu rumah dan berpatroli melawan “ninja-ninja” yang mengenakan pakaian serba hitam saat pembantaian berlangsung.
Sedangkan massa yang beraksi sepihak, terprovokasi tindakan para ninja, beroperasi pada malam hari. Mereka memancung dan memutilasi “dukun santet” yang berhasil mereka tangkap.
Pembunuhan dukun jarang terjadi di Indonesia masa kini. Namun setiap tahun ada saja kasus pembantaian dukun yang dicatat oleh kepolisian. Pada Maret 2016, wanita berumur 70 tahun dibunuh dan tubuhnya dipotong-potong oleh 30 pelaku di Pulau Sula, Sulawesi Utara. Penduduk setempat menuduh wanita tersebut menyantet seorang lelaki hingga jatuh sakit. Ketika seorang tabib lokal gagal menyembuhkan lelaki tersebut, pria itu meminta diantar ke rumah si wanita tua. Sesampainya di sana, lelaki tersebut jatuh pingsan. Keesokan harinya, tubuh si wanita tua ini telah termutilasi akibat tindakan massa yang beringas.
Kasus-kasus pembunuhan seperti inilah yang mendorong politisi Indonesia melarang santet. Arsul, anggota DPR yang terlibat aktif dalam pembahasan pasal santet dalam RUU KUHP ini mengatakan orang yang bergurau soal santet bisa dipenjarakan. Perkara berapa lama hukuman penjara bagi orang yang bercanda soal santet ini belum disepakati oleh para legislator.
“Makanya kalau bercanda, dia meresikokan dirinya (masuk penjara),” kata Arsul.
Apabila RUU ini disahkan, dukun ilmu putih terancam kehilangan mata pencaharian. Mereka-mereka ini mengklaim menggunakan ilmunya melawan santet. Contohnya adalah Dewi Sundari, yang menawarkan jasanya lewat situs pribadi. Situs bernuansa mistis menyajikan gambar Dewi berdampingan dengan petir dan api, mempromosikan kemampuan wanita ini menolak santet menggunakan gabungan ilmu putih dan energi penyembuhan.
“Santet sendiri definisinya adalah dematerialisasi energi spesifiknya benda mati seperti paku, sekrup, besi dan lain lain,” kata Dewi saat dihubungi melalui telepon. “Ada lagi teluh yang berarti dematerialisasi energi spesifiknya benda hidup seperti belatung, cacing, serangga, dan lain-lain. Kalau gabungan dari dua-duanya (Santet dan Teluh) disebutnya tenung.”
Dewi mengaku sering sekali menemukan penyakit pasien yang disebabkan oleh santet. Ilmu hitam di Indonesia sering digunakan sebagai senjata menyerang pesaing bisnis ataupun konflik antar keluarga. Ada juga orang yang menggunakan santet untuk membalas dendam pada seseorang yang telah mencelakai mereka di masa lampau. Dewi mengaku tenung adalah praktik yang berbahaya, tetapi bukan berarti pemerintah Indonesia perlu mengatur ilmu hitam.
“Silakan saja jika ada ukuran (hukum) yang jelas, tapi hal ini kan berpotensi menimbulkan fitnah,” kata Dewi. “Kan bisa saja dia hanya mengaku bisa menyantet. Yang jelas masih banyaklah kerjaan lain yang bisa diurus pemerintah selain santet.”
Dewi memperoleh nafkah dari menangkal santet. Tetapi dia yakin hukum semacam itu tidak akan mempengaruhi usahanya secara garis besar. Layanan yang diberikan Dewi memiliki tarif yang dapat disesuaikan—bahkan kliennya yang miskin tidak diwajibkan membayar.
Tak bisa dipungkiri, perdukunan adalah bisnis besar di negara ini. Dukun terkenal Agung Yulianto, yang lebih akrab dengan nama Ki Joko Bodo, berkali-kali mengklaim dibayar miliaran untuk layanan spiritual. Nama-nama tenar lain seperti Ki Gendeng Pamungkas, Ki Kusomo, dan Ki Narto rajin muncul di televisi. Mereka bergelimang harta.
Saya menjumpai Ki Narto di sebuah ruang tunggu sebuah stasiun televisi untuk membicarakan pasal santet. Ki Narto adalah pembawa acara program misteri di TV itu. Dia mengenakan rompi hitam, kemeja berwarna cerah dan juga kacamata merah, saat saya temui. Ki Narto mengklaim dirinya dukun modern. Dia menyebut profesinya adalah ‘ahli metafisika’.
Dia percaya kekuatan mistis sebetulnya adalah energi yang berasal dari dimensi lain. Memang, hanya mereka yang memiliki pelatihan dan pengalaman khusus dapat mengakses energi tersebut. Tapi jalan menuju sana tidak terlalu sulit. Ki Narto menganalogikannya dengan kemampuan bermain gitar atau memasak—siapapun yang berlatih cukup keras dan memiliki sedikit bakat bisa menjadi dukun hebat. “Orang umumnya itu terjebak dengan pola pikir ilmu pengetahuan, (tetapi ada) orang yang mempunyai kelebihan menggunakan kelima panca indera,” ujar Ki Narto. “Ini orang yang mampu mengaplikasikan indera keenam.” Ki Narto menyesap air minum bercampur kuntum bunga, jenis sesajen yang sangat lazim digunakan banyak dukun di Indonesia. Dia mengatakan air bunga ini semacam infused water yang populer bagi kalangan kelas menengah perkotaan.
Di Indonesia, kata Ki Narto, banyak dukun-dukun gadungan, orang-orang yang menggunakan muslihat demi menarik keuntungan dari orang-orang lugu. Dukun palsu semacam itu dibenci oleh Ki Narto. Dia memulai karirnya dengan memecahkan “muslihat dukun” di televisi Indonesia. Tukang tipu ini, menurut Narto, yang membuat praktik santet menjadi rumit pengaturannya. Dia juga sangat jengkel melihat dukun-dukun yang mengiklankan kekuatannya lewat Interne. “Kalau kamu dukun betulan yang bisa ngirim santet, kamu engga perlu lagi promosi pakai iklan-iklan,” katanya. Saya kemudian mempertanyakan, apakah santet adalah ancaman serius bagi nyawa orang lain dan perlukah ilmu hitam diatur dalam KUHP. Ki Narto tak langsung menjawabnya. Dia mendadak menunjukkan pada saya sebuah foto keris berdiri tegak di layar ponselnya. Ki Narto bilang itu adalah keris antik yang diisi kekuatan metafisis. “Saya bisa melakukan itu,” katanya.
Saya memintanya mempraktikkan langsung menegakkan keris. Ki Narto lalu mengambil sebuah keris antik dengan pegangan kayu halus, dan mencoba memerintahkannya berdiri tegak. Ini mudah mudahan bisa ya,” kata Ki Narto. “Ayo! Berdiri!”
Keris itu langsung jatuh. Ki Narto berpindah ke sana-sini, mencobanya lagi di atas meja, di lantai dan, akhirnya, di atas meja kudapan di tengah ruangan. “Nah, kayaknya bisa nih,” kata dia. “Naga-naganya bisa deh ini.”
Ki Narto melepas tangannya. Keris itu berdiri tegak, memang. Ternyata keris itu sedikit bersandar di pegangan kayunya, yang terhimpit gelas-gelas plastik. Dari kejauhan, Ki Narto berpose dengan tangannya. Mungkin dia sedang menunjukkan bahwa ilmu gaib benar-benar ada. Bisa juga, dia ingin menunjukkan bagaimana orang-orang menggunakan perdukunan sekadar kedok untuk menipu orang.
Saya bertanya apa dia pernah menggunakan ilmu hitam. Dia mengaku tidak melakukannya. Kalaupun iya, tidak sengaja. Ki Narto menjelaskan bertahun-tahun silam dia berurusan dengan seorang kawan yang sangat kurang ajar. Kawannya itu meragukan kemampuan Ki Narto dan sering menggunjingkan hal itu. Suatu hari, Ki Narto berharap kawan itu mati saja. Ki Narto membayangkan kematian kawan itu lalu melanjutkan kegiatannya.
“Orang itu sudah kurang ajar, kurang ajarnya bukan (hanya) dengan saya, dengan organisasi dengan yang lain,” kata Ki Narto. “Jadi saya tanya ke teman lain, ‘dia biasanya pakai kendaraan apa?’ Teman itu bilang dia bawa motor. Saya pulang ke rumah, saya bayangkan orang itu naik motor. Saya bayangkan dia tabrakan jeder! Mati kamu! Beberapa tahun kemudian, Ki Narto menerima sebuah telepon. Kawan yang tidak disukainya itu meninggal.
“Teman saya telepon, bilang kalau dia sudah mati. Dia mati kecelakaan motor,” kata Ki Narto mengingat-ingat.
Saat itu dia menutup telepon, lalu tersenyum lebar. “Terima kasih ya Tuhan. Dia mati saat ini,” begitulah reaksi Ki Narto saat mendengar kabar itu. “Saya hitungin. Empat tahun baru dia mati. Saya engga nyantet dia mas. Tapi saya katakan, mulut bisa menjadi berkat, tapi sewaktu-waktu bisa menjadi kutuk.”
Sampai tahapan tertentu, semua hal-hal ganjil itu nampak nyata bagi Ki Narto. Namun, kembali lagi, apa tanggapan paranormal sepertinya mengenai pasal santet di RUU KUHP? Saya bilang bisa saja pasal itu nantinya digunakan mengkriminalisasi orang yang sedang bergurau akan menyantet. Tidakkah ini melewati batas?
“Kamu tahu kan orang engga boleh bercanda soal bom di bandara udara?” kata Ki Narto. “Ya sama saja dengan bercanda soal santet.”