Pemerintah Jepang Menolak Pendirian Monumen Mengenang Korban Jugun Ianfu

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Yong-soo Lee, kini usianya nyaris 90 tahun, adalah salah satu mantan ‘perempuan penghibur’ alias Jugun Ianfu. Itu istilah yang digunakan menyebut ribuan remaja perempuan dan wanita dewasa dari Korea, Cina, Filipina, Indonesia, serta negara-negara Asia lainnya yang diculik atau dijadikan buruh seks oleh Tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II. Lee berumur 14 tahun ketika dia diculik dari rumah keluarganya di Korea Selatan dan dibawa ke stasiun ‘penghibur’. Di sana dia dipaksa ‘menghibur’ para pilot kamikaze Jepang.

Videos by VICE

“Bahkan setelah dia kembali ke kota kelahirannya, dia tidak pernah membicarakan masa lalunya kecuali ke Ibunya,” kata Phyllis Kim, direktur eksekutif Forum Korea-Amerika di California. Kim bertugas sebagai penerjemah Lee ketika dia datang ke AS di 2007 guna mendukung dikeluarkannya House Resolution 121, yang meminta pemerintah Jepang untuk mengakui dan meminta maaf atas peran mereka memperkerjakan perempuan muda sebagai budak seks di zaman perang. “Ibunya ingin dia menikah—dengan pria yang baik dan berkeluarga. Tapi dia sadar bahwa karena tubuh dan pikirannya sudah tercemar, dia tidak bisa menikah. Dia menyembunyikan fakta ini dari semua orang, termasuk keluarganya selama beberapa dekade.”

Barulah di 1991 cerita tentang ‘perempuan penghibur’ muncul ke permukaan. Seorang perempuan bernama Kim Hak-Sun menceritakan kisahnya dipaksa menjadi seorang budak seks. Menurut dokumen yang ditelaah oleh surat kabar The Telegraph, stasiun ‘penghibur’ awalnya dibentuk oleh pekerja seks sukarela dan “dibentuk untuk menghentikan tentara memperkosa perempuan sipil Cina dan menghentikan penyebaran penyakit kelamin. Tapi di 1937, semakin banyak stasiun ‘penghibur’ didirikan tanpa mengindahkan peraturan yang dibentuk.”

Tim advokat di AS dan global tengah berusaha mendirikan monumen demi menghormati kesengsaraan yang dilalui perempuan korban Jugun Ianfu. Perkembangan terbaru menunjukkan upaya tersebut sedang dihambat oleh pemerintah Jepang.

Di Glendale, California, contohnya, pemerintah Jepang mengajukan nota keberatan—langkah yang jarang dilakukan oleh pemerintah asing—Februari lalu sebagai desakan agar kota California menurunkan patung Jugun Ianfu yang didirikan pada 2013. Menurut dokumen yang diajukan, tuntutan pihak pemerintah Jepang (yang sudah ditolak dua kali sebelum dibawa banding ke Pengadilan Tinggi AS) tersebut berhubungan dengan “kepentingan nasional negara.” (Pengadilan Tinggi AS telah menolak kasus tersebut tanggal 24 Maret kemarin.)

Kim, yang mengupayakan pembangunan patung di Glendale, mengatakan bahwa proses pendirian patung tersebut pun diwarnai dengan perdebatan. (Patung di Glendale sesungguhnya adalah replika dari patung yang terletak di depan kedutaan besar Jepang di Seoul, Korea Selatan. Patung orisinilnya pun tidak lepas dari kontroversi politik.)

Pihak Konsulat Jenderal Jepang tidak hanya memprotes proses pendirian patung Glendale—dia menemui para pemimpin kota tersebut dan menulis kolom opini di surat kabar LA Times meminta patung tersebut tidak didirikan—serta memenuhi email Dewan Kota dengan permintaan serupa.

Ada kekhawatiran dari pemerintah Jepang bahwa dengan menarik perhatian ke kejahatan-kejahatan perang di masa lalu, akan timbul tindakan-tindakan rasisme terhadap warga Amerika keturunan Jepang. Orang-orang berdarah keturunan ini memiliki sejarah yang rumit di AS, akibat pengasingan mereka semasa perang. Banyak juga yang berargumen bahwa perempuan-perempuan Jugun Ianfu tidak diperbudak, melainkan bekerja sebagai pekerja seks sukarelawan.

Judith Mirkinson, Kepala Yayasan Comfort Women Justice Coalition, mengatakan bahwa monumen bagi ‘Jugun Ianfu’ ini penting karena berfungsi untuk membantu masyarakat di era ini mengerti apa yang terjadi dan bagaimana kita bisa melangkah maju ke masa depan. “Monumen ini akan membuat kita berpikir tentang bagaimana perempuan telah diperlakukan di masa lalu, apa yang tengah terjadi di peperangan masa kini dan apa yang kita bisa lakukan,” ungkapnya.

Comfort Women Justice Coalition kini tengah dalam proses membangun sebuah monumen di San Francisco—pertama kalinya di kota besar AS. Sama seperti Glendale, semua orang yang terlibat dengan pendirian patung San Francisco telah menerima banyak reaksi panas. Contohnya, Mirkinson mengatakan bahwa seniman yang memahat patung tersebut telah menerima lebih dari 200 email yang mencela dirinya.

Patung Jugun Ianfu di Glendale, AS. Foto dari akun flickr Melissa Wall.

Patung tersebut dijadwalkan selesai di musim gugur. Sementara itu, Mirkinson mengatakan bahwa mereka tengah menyiapkan diri untuk berperang. “Mengingat apa yang pemerintah Jepang lakukan di Glendale, sebuah kota kecil, pastinya mereka akan melakukan sesuatu lagi di San Francisco, maka kami tengah menyiapkan diri.”

Di belahan AS yang lain, pemerintah Jepang memenangkan debat lainnya perihal patung perempuan penghibur. Di awal bulan Maret, Center for Civil and Human Rights di Atlanta membatalkan rencananya untuk memasang monumen di luar pintu masuk—biarpun telah menandatangani perjanjian dengan kelompok pejuang. Museum tersebut mengatakan “eksterior permanen Museum tidak menjadi bagian dari rencana awal atau rencana masa depan bagi Center for Civil and Human Rights,” dan mundur dari proyek tersebut.

Hanya beberapa hari setelah rencana proyek ini tersebar ke masyarakat umum, Jenderal Konsulat Jepang mulai menekan museum tersebut untuk membatalkan pendirian monumen. “Pemerintah Jepang sangat khawatir bahwa pendirian patung tersebut akan mengakibatkan diskriminasi, penghinaan atau bullying terhadap komunitas penduduk Jepang di Atlanta yang ingin hidup dengan tenang,” jelas Deputi Jenderal Konsulat Jepang, Yasukata Fukahori lewat sebuah pernyataan email.

“Tujuan pendirian monumen ini adalah menghormati korban dan mengatakan sebagai masyarakat dunia bahwa kita tidak mau membiarkan hal serupa terjadi lagi.”

Tidak hanya itu, menurut laporan WABE, seorang penduduk Tokyo memulai sebuah kampanye, mengirimkan email ke pihak donor-donor bisnis museum dan berbagai orang ternama di Atlanta dan mengatakan bahwa usaha untuk menghormati perempuan penghibur hanyalah propaganda pemerintah Korea. Pernyataan tersebut dianggap mencerminkan pandangan revisionis sejarah yang tengah diusahakan Perdana Menteri Jepang, Shinzō Abe untuk membuat imej negara Matahari yang lebih bersahabat di zaman perang.

Kristie Reymer, direktur pemasaran dan komunikasi museum mengatakan ke NBC News bahwa pembatalan monumen tersebut hanya karena alasan teknis.

Helen Ho adalah anggota dari Atlanta Comfort Women Memorial Task Force, kelompok yang mengusahakan pembangunan monumen di area tersebut. Dia kecewa dengan sikap Center for Civil and Human Rights. Kendati begitu, dia tengah menimbang langkah selanjutnya. “Masih banyak yang tidak tahu tentang cerita salah satu komplotan perdagangan seks terbesar di sejarah dunia,” katanya. “Dan komplotan ini diberikan izin dan dilindungi oleh pemerintah Jepang di Perang Dunia II.”

“Ketika masyarakat tidak mengetahui sejarah dan belajar darinya, ada kemungkinan hal yang sama akan diulangi,” katanya. “Inilah mengapa pemahaman sejarah dan tidak melupakan momen-momen buruk di masa lalu itu penting. Inilah saatnya untuk belajar dan mengatakan ‘kita tidak mau itu terjadi lagi’. Atas alasan yang sama kita mendirikan monumen Holocaust: untuk menghormati korban dan mengatakan sebagai masyarakat dunia bahwa kita tidak mau membiarkan hal serupa terjadi lagi.”