Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.
Dilaporkan lebih dari 13.000 tahanan politik dieksekusi mati di Penjara Saydnaya, Suriah. Lapas milik militer itu khusus menahan musuh-musuh politik Presiden Basyar al-Assad selama perang saudara yang berlangsung lima tahun terakhir. Pembunuhan-pembunuhan ini diduga terlaksana atas persetujuan penuh pemerintah pusat.
Laporan soal eksekusi massal itu datang dari lembaga pemantau hak asasi manusia Amnesty International. Data tersebut, jika sepenuhnya akurat, menggambarkan skala mengerikan dari eksekusi di Penjara Saydnaya, berjarak 30 kilometer sebelah utara Ibu Kota Damaskus. Laporan ini mengungkap bila para tahanan digantung diam-diam pada tengah malam, lantas mayat-mayat mereka dibuang pada kuburan masal di perbatasan ibu kota Suriah.
Amnesty memperkirakan bahwa antara 5.000 dan 13.000 orang telah dieksekusi mati dengan cara digantung. Semua eksekusi itu berlangsung sepanjang kurun September 2011 hingga Desember 2015. Di samping ribuan orang yang telah dibunuh setelah disiksa terus menerus, Amnesty menuding para tahanan di penjara “diputus aksesnya kepada makanan, air, obat-obatan, dan perawatan medis.” Kebijakan ini berujung pada upaya pemusnahan kelompok tertentu, sebuah contoh pelanggaran Statuta Roma.
Salah satu tahanan di Saydnaya mendeskripsikan penyiksaan yang dialaminya. “Saya dipukuli terus menerus. Seolah-olah kamu punya paku, dan kamu memaksa tahanan berubah menjadi batu. Mereka terus saja memaksa. Saya sempat berharap mereka memotong saja kaki saya daripada saya dipukuli terus menerus.”
Videos by VICE
Menurut para saksi mata, tahanan di Saydnaya ditahan di dua kompleks utama: gedung merah untuk menahan penduduk yang menentang pemerintah; sementara gedung putih untuk menahan anggota militer Suriah yang membelot dari Assad.
Saksi mata tersebut menyampaikan pada Amnesty bahwa sebelum dieksekusi, para tahanan dijatuhkan hukuman oleh pengadilan militer abal-abal—pengadilan yang berjalan sepanjang satu hingga tiga menit. Para tahanan kemudian dikumpulkan dari sel mereka di gedung merah, lalu dipindahkan ke ruang bawah tanah dan dipukuli selama beberapa jam, sebelum akhirnya dipindahkan ke gedung putih tempat eksekusi diadakan—biasanya antara tengah malam hingga 3 dini hari.
Pesta
Eksekusi massal diberi kode sebagai “pesta” oleh aparat penjara. Eksekusi masal diadakan sekali hingga dua kali setiap minggu. Di penjara itu, antara 20 hingga 50 orang tahanan digantung sekali waktu. Para korban ditutup matanya sepanjang prosesi dan diberitahu ujung nasib mereka beberapa menit sebelum jeratan pisau mengenai leher mereka.
Mayat-mayat kemudian dibawa ke RS militer Tishreen untuk didaftarkan dan mendapatkan sertifikat kematian—sertifikat yang menyatakan penyebab kematian mereka adalah kegagalan jantung atau pernapasan. Seolah-olah semuanya adalah kematian wajar di dalam penjara.
Meski Amnesty berkata mereka tidak memiliki bukti kuat atas eksekusi yang berjalan sejak Desember 2015, mereka menambahkan bahwa karena para tahanan masih dipindahkan ke Saydnaya dan “pengadilan” di Military Field Court terus berlangsung, “Tidak ada alasan untuk percaya bahwa eksekusi telah dihentikan.”
Amnesty menjalankan penelitian mereka selama dua belas bulan hingga Desember 2016, berbicara dengan banyak narasumber yang memiliki pengetahuan langsung tentang apa yang terjadi di Saydnaya termasuk 31 tahanan, empat aparat atau penjaga, tiga mantan hakim Suriah dan 22 anggota keluarga tahanan.
Eksekusi-eksekusi rahasia disetujui oleh tingkatan tertinggi pemerintah Suriah, menurut Amnesty. Laporan mereka menyatakan hukuman mati disetujui oleh Grand Mufti—pendeta paling senior di Suriah—dan juga oleh menteri pertahanan atau pimpinan staf militer, yang bertindak mewakili Presiden Bashar al-Assad.
Laporan ini adalah yang terbaru di antara daftar tuduhan panjang penyiksaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Suriah selama perang saudara:
- Tuduhan penyiksaan telah berlangsung sejak lama. Amnesty mendokumentasikan tindakan pemerintah yang menggunakan 35 teknik penyiksaan di penjara-penjaranya pada 1987, ketika negara dipimpin oleh ayah Bashar al-Assad, Hafez al-Assad.
- Semenjak perang saudara di Suriah dimulai pada 2011, pemerintah Assad terlibat pada beberapa insiden pelanggaran hak asasi manusia. PBB melaporkan bahwa antara 2012 dan Juli 2013, sekurang-kurangnya 9 pembunuhan masal terencana telah dilakukan, dan pemerintah Suriah diidentifikasikan sebagai pelaku pada delapan kasus.
- Sebuah laporan di November 2013 menemukan fakta bila 6.000 perempuan diduga telah diperkosa, sebagian besarnya selama razia yang didukung pemerintah pada teritori pembangkang, dan banyak korbannya melaporkan bahwa aparat keamanan berpartisipasi pada serangan tersebut.
- Pada 2015, sebuah laporan diterbitkan berdasarkan foto-foto yang diambil seorang fotografer yang dikenal hanya sebagai “Caesar,” yang memotret ribuan tahanan diduga dibunuh dalam penahanan pemerintah. Foto-foto tersebut memberikan rincian “pembunuhan sistematis lebih dari 11,000 tahanan oleh pemerintah Suriah pada sebuah wilayah selama Perang Saudara Suriah selama periode dua tahun setengah sejak Maret 2011 hingga AGustus 2013”.
- Pada Agustus 2016, Amnesty melaporkan bahwa 17.723 orang meninggal dunia pada penahanan karena penyiksaan, kelaparan, dan diputusnya perawatan medis selama periode perang saudara.
Baru-baru ini Presiden Assad dituduh melakukan kejahatan perang selama pengeboman area kekuasaan pemberontah di Aleppo timur. Pada Oktober, Menteri Luar Negeri John Kerry mengutus investigasi terhadap tindakan-tindakan pemerintah Suriah dan sekutu terdekatnya, Rusia. “Rusia dan rezim berhutang pada dunia lebih dari sekadar penjelasan mengapa mereka terus menerus meledakan rumah sakit, fasilitas medis, anak-anak, perempuan,” ujar Kerry. “Tindakan tersebut perlu ditinjau melalui investigasi kriminal perang yang memadai..”
Amnesty mengklaim mereka berusaha mengkonfirmasi temuan ini pada pemerintah Suriah untuk merespon tuduhan-tuduhan tersebut Januari lalu, namun belum menerima balasan apapun.
More
From VICE
-
Javier Zayas Photography/Getty Images -
DeAgostini/Getty Images -
Allanswart/Getty Images -
Screenshot: Microsoft