Dalam upaya meredam tekanan global, pemerintah Tiongkok belum lama ini mengemukakan kelompok etnis minoritas Uighur sebenarnya dipaksa memeluk Islam. Pada 21 Juli, Kantor Informasi Dewan Negara Tiongkok merilis buku putih yang memaparkan bangsa Uighur di Xinjiang pernah menjadi “korban perbudakan Turki”.
“Islam bukan agama asli dan satu-satunya sistem kepercayaan di Uighur,” laporannya menegaskan. “Etnis minoritas Uighur masuk Islam bukan karena kemauannya sendiri, melainkan ada perang agama dan pemaksaan dari kelompok yang berkuasa.”
Videos by VICE
Intinya, mereka mengklaim etnis Uighur tak pernah memilih jadi Muslim.
Buku putih juga menyampaikan etnis Uighur tidak cuma menganut agama Islam. Menurut laporan, sejarah membuktikan konflik antara Uighur dan Turki sudah ada sejak abad ke-8.
Secara historis, suku Uighur memiliki lebih banyak kesamaan dengan bangsa Turki daripada bangsa Han di Tiongkok. Berdasarkan penjelasan TIME Magazine, mereka sangat mengakar di Xinjiang sebagai keturunan pedagang Sogdiana yang merupakan bagian integral dari Jalur Sutra. Mereka dulunya mendominasi Xinjiang. Pada 1933, suku Uighur mendeklarasi dirinya merdeka sebelum akhirnya tenggelam ke negara komunis Tiongkok.
Buku putih menyatakan sejarah aslinya telah diubah oleh mereka-mereka yang menuduh Tiongkok melakukan pembersihan etnis. Laporan lalu melanjutkan bangsa Uighur “telah mencerminkan budaya Tiongkok” sejak lama.
Pernyataan ini dibuat untuk menanggapi tuduhan pemerintah Tiongkok sengaja memisahkan keluarga Uighur dan menyingkirkan identitas mereka sebagai orang Islam. Beberapa dari mereka dipaksa makan daging babi atau minum alkohol yang jelas-jelas dilarang dalam ajaran Islam. Banyak anak yang diperlakukan seolah-olah mereka sudah yatim piatu. Mereka direnggut dari orang tuanya dan dimasukkan ke sekolah-sekolah Tiongkok. Minoritas Uighur juga mengalami penindasan di seluruh wilayah Xinjiang dan dimasukkan ke “kamp pendidikan khusus” yang memperparah diskriminasinya.
Kritik yang ditujukan kepada pemerintah Tiongkok semakin meningkat secara global dalam beberapa minggu terakhir. 22 negara menulis pernyataan kepada PBB yang isinya mengutuk perlakuan Tiongkok terhadap bangsa Uighur di kamp-kamp pendidikan khusus. Tiongkok tampaknya ingin melawan kecaman internasional melalui pernyataan terbaru ini.
Elaine Pearson, Direktur Human Rights Watch di Australia, memberi tahu ABC pernyataannya “sangat menyimpang dari fakta-fakta yang ada.” James Leibold, pakar etnis minoritas Tiongkok dari La Trobe University, melihatnya sebagai “contoh lain dari perang informasi yang sedang berlangsung di Tiongkok.” Sebagian besar kritikus menyebut laporan itu hanyalah propaganda.
Di sisi lain, media nasional Tiongkok mengapresiasi Beijing yang telah “mengungkapkan” kebenaran sejarah Uighur. Global Television Network mengatakan buku putih tersebut “meluruskan kesalahpahaman negara-negara Barat.”
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Asia