Artikel ini dimutakhirkan pada 25 Oktober 2022 pukul 11.20 WIB, dengan menyertakan hak jawab dari humas Kemenkop UKM, bahwa kementerian tidak melindungi para pelaku.
Kasus pemerkosaan yang memilukan ini mulanya terjadi pada 2019. Korban dan pelaku sama-sama pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM). Kasus ini sempat ditutup oleh Polresta Bogor Kota pada 2020, setelah korban diarahkan aparat untuk menikah saja dengan salah satu pelaku. Namun, karena merasa tidak mendapat keadilan dan kondisi korban tak kunjung membaik, dua tahun berselang keluarga korban memutuskan membuka lagi kasus ini agar bisa maju ke pengadilan.
Videos by VICE
Perbincangan mengenai kekerasan seksual di Kemenkop UKM tersebut membesar di internet setelah situs berita Konde.co merilis ulang kronologi peristiwa beserta perkembangannya, pada Senin 24 Oktober 2022. Artikel berjudul “Kekerasan Seksual Pegawai Kementerian: Korban Diperkosa dan Dipaksa Menikahi Pelaku” itu ditulis berdasarkan diskusi yang diadakan oleh Aktual.com pada Rabu (19/10) pekan lalu. Rekaman acara bisa ditonton di sini.
Korban berinisial ND adalah pegawai perempuan honorer di Kemenkop UKM. Pada 6 Desember 2019, ia diperkosa empat pegawai laki-laki Kemenkop UKM saat sedang mengikuti acara perpisahan purnatugas Kepala Biro Umum Hardiyanto di Hotel Permata, Kota Bogor. Modus para pelaku dengan mengajak korban makan bersama, lalu korban dibawa ke bar dan dicekoki alkohol hingga tidak sadar. Korban kemudian dibawa ke kamar pimpinan kantor, kemudian diperkosa di sana.
Sebuah berita terbitan 2020 menyebut inisial para pelaku adalah ZPA (saat itu masih CPNS Kemenkop UKM), WH (PNS), ZF (honorer), dan NN (office boy). Radit, saudara korban ND, dalam acara Rabu pekan lalu, menambahkan bila ada tiga orang lain yang tidak ikut memperkosa, namun membiarkan kekerasan seksual itu terjadi. Mereka adalah N dan T (berperan menjaga pintu) dan A (ada di lokasi).
Kejadian itu kemudian dilaporkan korban kepada keluarganya. Pada Januari 2020, korban melaporkan pemerkosaan kepada Polresta Bogor Kota. Saat itu, polisi menyita CCTV hotel serta menangkap 4 pelaku. Korban juga diminta melakukan visum. Namun, baru dua minggu ditahan, polisi sudah melepas para pelaku.
Ini terjadi karena ada desakan dari keluarga pelaku, agar kasus diselesaikan di luar hukum. Inisiatif ini didukung polisi yang mendorong agar salah satu pelaku, ZP, dinikahkan dengan korban karena ia satu-satunya pelaku yang masih lajang.
“Kemudian keluarga korban didatangi oleh keluarga pelaku meminta untuk dibebaskan. Kepolisian Bogor juga mendesak kami untuk menikahi dari salah satu pelaku yang single,” ujar Radit dalam diskusi, dilansir Aktual.
Usul itu awalnya diterima keluarga korban. Pelaku ZP kemudian dinikahkan dengan korban ND. Dengan akhir “damai” ini, polisi memutuskan menutup kasus tersebut (SP-3) dengan alasan sudah diselesaikan lewat restorative justice. Namun, keluarga korban mengaku baru akhir-akhir ini mengetahui kasus sudah ditutup.
Menurut Radit, setelah menikah, ZP tidak pernah datang lagi atau menjalankan tugas sebagai suami. Puncaknya, pada 17 Oktober 2022, pelaku malah menggugat cerai korban. Radit menambahkan, selama 12 bulan pernikahan, korban hanya dinafkahi pelaku Rp300 ribu per bulan.
“Kita menanyakan apakah pernikahan ini dibuat hanya untuk meloloskan mereka dari tahanan? Justru kita kaget kenapa Z ini mendapatkan beasiswa dari Kemenkop-UKM,” timpal Radit, dikutip Aktual. “Keluarga korban ini tidak mengetahui adanya SP-3 dan tidak pernah mencabut laporan,” tambahnya.
Meski sudah menjadi pelaku pemerkosaan teman kerja, pelaku ZP terdeteksi masih berstatus PNS Kemenkop-UKM hingga hari ini. Ia mendapat beasiswa dari Bappenas pada 2021 lalu. Sementara itu, justru korban yang pindah kerja ke instansi lain.
Sikap Kemenkop-UKM
Kemenkop UKM, dalam keterangan tertulis yang dikirim kepada redaksi VICE Indonesia, menegaskan sudah menjatuhkan sanksi kepada para pelaku.
Oleh karenanya Sekretaris Kemenkop UKM, Arif Rahman Hakim, membantah bila lembaganya memberikan perlindungan terhadap pelaku pemerkosaan.
“Dari awal munculnya kasus ini, kami Kemenkop sudah berikan pendampingan dan melaporkan ke pihak berwajib polisi dan menjatuhkan hukuman sanksi disiplin ke pelaku,” ujar Arif dalam jumpa pers di kantornya, Senin (24/10), sebagaimana tercantum dalam rilis pers.
Para pelaku itu berinisial W, ZP, MF dan NN. Pada 14 Februari 2020, Arif menyatakan sudah dilakukan penjatuhan sanksi berupa nonjob, atau pemberhentian pekerjaan terhadap pelaku MF dan N yang berstatus non-ASN. Kontrak kerja mereka di Kemenkop UKM tak diperpanjang. Untuk pelaku W dan ZP yang berstatus sebagai PNS dan CPNS, imbuh Arif, kemenkop UKM menjatuhkan penurunan jabatan selama 1 tahun. Menurut Arif, sanksi tersebut termasuk dalam hukuman berat.
“Yang bersangkutan dijatuhkan hukuman berat, yakni penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun, dari kelas jabatan 7 menjadi kelas jabatan 3, ini jabatan yang paling bawah di Kemenkop UKM,” ujarnya.
Kemenkop UKM juga mengaku sudah memberi berbagai bantuan kepada korban. “Hak gaji yang bersangkutan telah diselesaikan sampai dengan bulan Januari 2020. Selain itu kami juga memfasilitasi terduga korban untuk bekerja sebagai tenaga outsourcing honorer di instansi lain dan masih bekerja sampai saat ini,” kata Arif.
Adapun Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Kemenkop-UKM Henra Saragih yang hadir dalam diskusi Aktual, menganggap kasus ini sebenarnya telah selesai secara hukum karena 4 alasan.
Pertama, kasus sudah pernah dibawa ke polisi dan keputusannya adalah SP-3. Kedua, sudah ada kesepakatan bahwa korban menikah dengan pelaku. Ketiga, hak korban berupa “gaji dan hak-hak lain” sudah dipenuhi instansi. Keempat, pelaku sudah disanksi disiplin. Namun, ia tak menyebut jenis sanksi yang diberikan, dengan alasan hanya menteri dan pelaku yang tahu jenis sanksinya. Menurut keterangan Radit, baru pada 2022 pelaku menerima sanksi dari Kementerian.
Menanggapi keluarga korban yang kini melayangkan somasi kepada pelaku ZAP serta bermaksud melanjutkan proses hukum, Henra menyarankan agar apa “yang dirasa ada yang kurang pas” bisa diajukan Radit, yang juga pegawai Kemenkop UKM, melalui mekanisme internal.
Keluarga korban kini menggandeng LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jawa Barat untuk mengajukan praperadilan pada SP-3 yang dilakukan Polresta Bogor Kota.
Kepada Aktual, anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menyebut kasus ini harus direspons Kemenkop UKM dengan segera menyusun aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lembaganya.
Cara instansi pemerintah yang secara aneh keukeuh mempertahankan pelaku kekerasan seksual di lembaganya juga pernah terjadi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tahun lalu, seorang pegawai pria kontrak di KPI berinisial MS terpaksa membuka ceritanya ke media sosial karena tak tahan terus menjadi sasaran kekerasan seksual dan perundungan dari 7 teman kerjanya di KPI.
Menurut MS, kekerasan itu sudah terjadi sejak 2011 serta sudah dilaporkan ke atasan, namun pelaku tak kunjung dipecat. Baru setelah kasus ini viral, KPI memutus kontrak kerja para pelaku. Namun, meski kasusnya sudah dilaporkan ke Polres Metro Jakarta Pusat, hingga kini kasus MS jalan di tempat. Maret lalu MS sempat mengaku diintimidasi internal KPI agar tak banyak bicara kepada media.