Hingga 24 jam setelah pemungutan suara berhasil, pemilihan umum di Amerika Serikat belum juga mendapat kepastian pemenang untuk sosok presiden anyar. Perolehan suara Donald Trump selaku petahana dan Joe Biden, kandidat Partai Demokrat amat ketat.
Lebih lambatnya proses hitung cepat kali ini karena Covid-19 serta adanya sistem pemilihan lewat surat, yang membuat proses verifikasi makan waktu berhari-hari. Di luar pilpres, hasil pemilihan anggota senat diprediksi juga molor, bisa lebih dari sebulan.
Videos by VICE
Ketika pilpres belum dimenangkan salah satu capres, setidaknya bagi Natalie Jones Bonner, sudah ada pemenang tak terbantahkan dalam pemilu 2020: upaya mengakhiri perang terhadap narkoba secara berlebihan di Amerika. Natalie adalah aktivis yang mendorong legalisasi ganja di negara bagiannya, yakni Mississippi. Dalam pemilu yang berlangsung 4 November lalu, mayoritas warga Mississippi mendukung konsumsi mariyuana untuk keperluan medis.
“Saya merasa bahagia luar biasa,” kata Natalie Jones Bonner kepada VICE.
Perempuan 59 tahun itu bertahun-tahun meyakinkan politikus lokal agar melirik legalisasi ganja. Bertahun-tahun pula usulannya ditolak. Namun berkat meningkatnya kajian manfaat mariyuana bagi terapi pasien berat, peruntungan Natalie berbalik. Referendum yang dia galang turut ditampilkan dalam pemilu tahun ini, mendapat cukup suara untuk diloloskan parlemen negara bagian.
Mississippi termasuk satu dari enam negara bagian yang meloloskan kebijakan progresif terkait penanganan narkoba dan psikotropika di Amerika Serikat. Reformasi kebijakan narkoba menang besar dalam pemilu tahun ini.
Contoh lainnya adalah Oregon. Mayoritas warga negara di kawasan barat daya AS itu mendukung dihapusnya kriminalisasi berlebihan bagi semua jenis narkoba, termasuk kokain dan heroin. Tidak ada lagi hukuman penjara bagi orang yang kedapatan memakai narkoba. Satu-satunya “hukuman” adalah rehabilitasi. Selain itu, Oregon juga melegalkan pemanfaatan jamur tahi (psikedelik) untuk terapi pasien penyakit berat.
Selain dua negara bagian di atas, Arizona, Montana, New Jersey, dan South Dakota turut melegalkan konsumsi mariyuana untuk rekreasional, menyusul 10 negara bagian lain yang sudah melakukannya lebih dulu selama dua dekade terakhir. Sementara itu, District of Columbia sebagai daerah khusus Ibu Kota AS, tak lagi mengkriminalisasi orang yang mengonsumsi jamur tahi.
Bagi banyak pihak, hasil pemilu yang menggembirakan ini berkat kerja keras aktivis legalisasi ganja yang tak kenal lelah mengedukasi publik. Total, kini ada 33 negara bagian Amerika Serikat mengizinkan mariyuana medis, sementara 11 negara bagian membolehkan orang mengisap ganja untuk tujuan rekreasional.
Hasil pemilu 2020 sekaligus membuka peluang dilakukannya legalisasi secara nasional di Negeri Paman Sam, sebab legitimasi kebijakan ini meluas dengan adanya dukungan masyarakat biasa. Bagi warga AS, narasi “perang terhadap narkoba” tak lagi populer.
Ketika pengedar dan pengguna ditangkapi, nyatanya kartel Amerika Latin terus menyelundupkan barangnya ke AS. Selain itu, pelarangan narkoba justru dimanfaatkan aparat dan pejabat untuk menyalahgunakan kekuasaan. Perang terhadap narkoba juga lebih sering merugikan warga miskin dari etnis kulit hitam dan hispanik.
Natalie, yang berasal dari keluarga kulit hitam, merasakan sendiri betapa kebijakan perang terhadap narkoba yang dimunculkan pada era Presiden Ronald Reagen menghancurkan komunitasnya. Banyak orang kehilangan masa depan dengan masuk penjara, hanya karena kedapatan mengisap ganja selinting. Kriminalisasi membuat orang miskin terjebak lingkaran kejahatan, sekaligus keterpurukan finansial.
“Itulah kenapa, legalisasi ganja merupakan solusi terbaik. Daripada pasar dikuasai penjahat, lebih baik pemerintah terlibat dan membuat regulasinya. Dengan begitu, warga minoritas tak lagi dirugikan, bahkan bisa ikut meraup untung dari perekonomian yang muncul berkat industri mariyuana,” urainya.
Natalie turut menyitir kondisi petani di Mississippi yang kebanyakan hidup di bawah garis kemiskinan. Legalisasi ganja akan membantu mereka memiliki tanaman alternatif. “Para petani itu setidaknya masih punya lahan, kebijakan ini membantu mereka mendapat tanaman yang harganya tetap kompetitif di pasar.”
Matt Sutton, juru bicara lembaga advokasi Drug Policy Alliance, menilai legalisasi dan penghapusan kriminalisasi narkoba adalah cara terbaik untuk memperbaiki kualitas penegakan hukum di Amerika Serikat. Penangkapan orang karena dugaan kepemilikan narkoba merupakan salah satu alasan terbesar warga AS ditangkap, dan akhirnya mengalami pelanggaran HAM karena perilaku polisi.
Sutton memprediksi, kebijakan Oregon akan secara signifikan menurunkan angka penangkapan tersangka kriminal di negara bagian itu hingga 95 persen, yang mayoritas menyasar orang kulit berwarna. Rata-rata tersangka itu dicokok hanya karena menyimpan lintingan ganja untuk diisap sendiri.
“Penangkapan etnis minoritas di AS atas kepemilikan narkoba seringkali timpang dengan kulih putih. Itu sebabnya saya terkejut melihat negara bagian seperti Montan dan South Dakota mendukung opsi penghapusan kriminalisasi,” ujarnya pada VICE.
Menurut Sutton, masyarakat di negara bagian konservatif mulai melihat manfaat ekonomi mariyuana. Tanaman tersebut tak lagi dianggap sekadar candu, tapi juga memberi alternatif penghasilan di tengah pandemi Covid-19 bagi para petani.
“Beberapa negara bagian juga mulai ketar-ketir melihat wilayah lain menikmati pemasukan pajak lebih besar berkat legalisasi ganja,” kata Sutton.
Menurut aktivis legalisasi, kemungkinan perizinan konsumsi ganja secara menyeluruh di AS bisa terwujud, bila Partai Demokrat menguasai DPR dan Senat sekaligus. Capres Joe Biden pernah berjanji di momen kampanye untuk mendorong penghapusan kriminalisasi pengguna narkoba.
Sedangkan calon wakilnya, Kamala Harris, terlibat dalam RUU yang akan menghapus mariyuana dari daftar substansi terlarang. RUU tersebut sudah lolos di tingkat DPR (house of representatives), tapi kemungkinan bakal ditolak oleh Senat yang masih dikuasai Partai Republik.
Follow Manisha Krishnan di Twitter
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News