Pemimpin Kamboja Dituduh Menggunakan Likes Palsu Untuk Menopang Rezimnya

Jika ‘likes’ di Facebook adalah indikator kekuasaan, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen boleh jadi salah satu pemimpin paling kuat di dunia. Laman resminya memiliki tingkat interaksi (engagement) paling tinggi ketiga di antara pemimpin dunia di Facebook, menurut sebuah penelitian oleh firma hubungan masyarakat Burson-Marsteller. Yang mengungguli lamannya di Facebook hanya Perdana Menteri India, Narendra Modi, dan Presiden AS Donald Trump.

Hal tersebut merupakan sebuah pencapaian hebat bagi seorang pemimpin negara yang hanya terdiri dari 5 juta pengguna Facebook itu. Tampaknya, daya tariknya melampaui para pengguna di negaranya, karena dia memiliki hampir 9.4 juta pengikut di Facebook.

Videos by VICE

Disparitas ini disadari oleh oponen-oponennya, yang mengatakan bahwa popularitas Hun Sen di media sosial adalah bagian dari strategi Facebook sang pemimpin otoriter untuk secara artifisial melambungkan popularitasnya dan menindak keras kebebasan berpendapat dan berselisih di dalam perbatasan Kamboja. Pada bulan ini saja, seorang laki-laki ditangkap pada hari pernikahannya akibat postingan Facebook yang menyebut pemerintahan Hun Sen “otoriter.”

Kini, sebuah gugatan berupaya menyingkap taktik online Hun Sen yang menindas—likes palsu, klik palsu, dan ancaman-ancaman—telah menempatkan Facebook pada titik sentral kontroversi internasional ini. Raksasa Silicon Valley tersebut mungkin terpaksa harus menyerahkan informasi rahasia mengenai segala kesepakatan bisnis dengan tim Hun Sen. Hal ini berpotensi menunjukkan, untuk pertama kalinya, bagaimana Facebook akrab bermitra dengan pemerintahan-pemerintahan yang menindas.

Hun Sen menyebut tuntutan tersebut “gila dan bodoh,” namun perkara ini tidak sesederhana itu bagi Facebook. Perusahaan tersebut menerima kritik keras terkait penyebaran hoax dan berita palsu, ancaman-ancaman kematian dan penyalahgunaan atas platform mereka. Dan kasus pemerintah kontroversial Kamboja mencakup segala isu tersebut.

CEO Mark Zuckerberg telah mengakui bahwa perusahaannya perlu diperbaiki, namun tidak ada kejelasan apakah perbaikan telah dilakukan. Kini, gugatan yang didaftarkan oleh mantan pemimpin oposisi Kamboja Sam Rainsy di pengadilan California dapat menunjukkan janji-janji perubahan Zuckerberg yang tidak terpenuhi.

“Kami ingin bertanya pada Facebook, ‘Apa yang sebenarnya telah kalian lakukan, selain tampil di hadapan Kongres, atau menyebarkan rilisan pers atau memperbarui kebijakan-kebijakan kalian?’” ujar Noah Hagey, pengacara Rainsy, pada VICE News. “Apakah kalian sudah mendedikasikan sumber daya untuk sungguh-sungguh menyelidiki kesalahan penggunaan dan ketika kalian menemukannya, sudahkah kalian menutup akun-akun tersebut?”

Facebook menolak berkomentar mengenai artikel ini.

KASUS PENCEMARAN NAMA BAIK DENGAN NIATAN POLITIK

Rainsy mengklaim bahwa Hun Sen telah menyalahgunakan platform Facebook dengan menyebarkan berita palsu dan ancaman kematian, dan dengan melambungkan pamornya dengan likes palsu—dengan dana pemerintah. Gugatan yang dia layangkan berupaya membuktikan tuduhan-tuduhan tersebut.

Secara spesifik, Rainsy berupaya menyingkap bagaimana suatu tim berdedikasi yang mengoperasikan laman resmi Hun Sen berinteraksi dengan pegawai-pegawai Facebook dan berapa banyak yang yang dikeluarkan pemimpin Kamboja tersebut untuk meningkatkan kehadirannya di platform tersebut. Temuan-temuan dari gugatan ini dapat melengkapi liputan BuzzFeed pada bulan Januari, yang menemukan bahwa tim spesialis yang mengelola laman Facebook Hun Sen memilih “berhubungan langsung dengan staf perusahaan” untuk mempromosikan platform politiknya.

Tim pengacara Rainsy melayangkan gugatan pada awal Februari, mengklaim bahwa informasi tersebut akan membantu pembelaannya di Kamboja, di mana dia dihukum atas pencemaran nama baik karena mengatakan bahwa Hun Sen membeli likes palsu dari “click farms.” Karena menghadapi hukuman penjara karena gugatan yang berhubungan dengan protes terhadap perbatasan Vietnam, Rainsy terbang ke Prancis pada 2015, di mana dia hidup di pengasingan sejak itu.

CRACKDOWN KAMBOJA

Kasus seperti Rainsy tidak langka di Kamboja. Dia adalah satu dari banyak suara oposisi yang ditangkap atau tersingkir di bawah kepemimpinan Hun Sen yang semakin otoriter dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah Kamboja telah melakukan crackdown dalam beberapa bulan terakhir, menutup partai oposisi utama dan menangkap pemimpinnya pada bulan November, dan menutup media independen dan kelompok-kelompok pembela hak.

Selama ini, Facebook memainkan peran yang vital bagi Hun Sen. Timnya mengandalkan platform tersebut untuk memonitor orang-orang yang mengkritiknya dan mengontrol narasi di seputar perdana menteri.

“Dia mencoba menggunakan laman tersebut untuk memoles citra publiknya dan menampilkan citra kebapakan pada rakyat Kamboja,” ujar Sebastian Strangio, penulis “Hun Sen’s Cambodia,” pada VICE News.

MENERIMA FACEBOOK

Sebelum pemilihan 2013 di Kamboja, Facebook tidak berada dalam radar pemerintah. Namun setelah kelompok oposisi dan aktivis menggunakan popularitas media sosial untuk menggerakkan suara yang hampir menggoyahkan Hun Sen, pemerintah Kamboja mulai memperhatikan.

Sejak saat itu, para pengamat berkata, pihak berwenang Kamboja mengandalkan Facebook untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Platform ini sangat berkuasa di Kamboja dan memiliki peran yang masif dalam politik dalam negeri.

“Facebook mungkin tidak bertanggung jawab secara langsung karena menopang Hun Sen, namun memiliki platform yang bisa dengan mudah dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politik—dan tidak ada transparansi soal bagaimana isu-isu tersebut ditangani—menunjukkan slippery slope saat tokoh masyarakat menggunakan ruang-ruang media sosial untuk tujuan egois mereka,” ujar Champa Patel, kepala program Asia di think tank Chatham House, pada VICE News.

Menurut statistik terakhir dalam Laporan Transparansi Facebook, pemerintah Kamboja mengirim nol permintaan pada Facebook untuk menutup akun-akun atau komentar-komentar yang dianggap melanggar hukum negara mereka. Namun, hal tersebut sebelumnya tidak menghentikan pemerintah untuk menggunakan aktivitas di Facebook untuk crackdown perbedaan pendapat: sekurang-kurangnya 15 orang telah ditangkap di Kamboja karena postingan di jaringan sosial tersebut sejak 2014.

Pengeluaran Facebook Hun Sen juga sedang diselidiki. Menurut surel-surel bocor, sang pemimpin Kamboja pernah membayar $15,000 per hari untuk mengiklan di Facebook.

Facebook telah mengumumkan rencana-rencana untuk mengizinkan pengguna supaya dapat melihat seluruh iklan yang dibayar oleh laman apapun, namun fitur tersebut baru saja dimulai dan tersedia bagi laman-laman AS tahun ini, tanpa liniwaktu yang jelas kapan, atau jika, hal tersebut bisa diaplikasikan di negara-negara lain seperti Kamboja.

Bahkan kalaupun bisa, Facebook masih harus melawan tuduhan bahwa sang perdana menteri membeli follower palsu. Facebook berkata mereka secara aktif memaksa kebijakan nama asli, yang secara teori dapat menghindari akun-akun palsu, dan juga memblokir jutaan akun palsu setiap harinya saat registrasi. Namun para peneliti mengatakan masih banyak cara untuk mengelak dari sistem, dan di Kamboja, orang-orang yang mengkritik Hun Sen yakin bahwa timnya telah menemukan cara jitu.

“Facebook secara tidak sengaja mempromosikan likes sebagai ukuran popularitas, karena mereka diciptakan oleh orang-orang dengan ‘nama asli’,” ujar Gennie Gebhart, seorang peneliti di Electronic Frontier Foundation, pada VICE News. “Namun struktur tersebut bisa dimanipulasi atau memberikan sinyal dukungan yang keliru. Kebijakan nama asli di Facebook tidak mebatasi potensi layanan untuk tujuan politis atau tujuan-tujuan lainnya.”

Ahli-ahli seperti Gebhart mengutarakan bahwa tetap mudah untuk membeli banyak followers palsu di internet. Sebuah analisa cepat menggunakan alat analisis SocialBakers mengungkapkan bahwa mayoritas akun yang memberikan like pada laman perdana menteri dari negara-negara di luar Kamboja. India dan Filipina adalah dua negara yang dikenal sebagai tempat click famrs beroperasi, memberikan sekitar 25 persen likes.

Kalau berhasil, gugatan Rainsy bisa memaparkan sejauh mana Facebook, dan pegawai-pegawainya, membantu pemerintahan otoriter Hun Sen dalam mencapai popularitasnya yang tidak terduga pada platform tersebut. Hal tersebut telah menarik perhatian pengamat hak asasi manusia, seperti Phil Robertson, wakil ketua divisi Asia, Human Rights Watch, yang berkata bahwa gugatan tersebut penting karena akan “memaksa Facebook memeriksa pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin mereka jawab dalam hubungannya dengan pemimpin politik mereka.”

“Gugatan ini penting karena menantang Facebook untuk menunjukkan akuntabilitas sebagai penyedia platform informasi pada pemimpin pemerintahan seperti Hun Sen yang secara sistematik melanggar hak asasi manusia dan menggunakan akun Facebook untuk menjustifikasi tindakan-tindakannya,” ujar Robertson.