Pada November 2021, pengadilan Belanda menjatuhi hukuman 30 bulan penjara kepada lelaki 72 tahun bernama René L. atas tuduhan melakukan kekerasan, pengancaman dan kepemilikan senjata ilegal. Selama lebih dari 25 tahun, dia mengaku sebagai ahli kungfu yang akan menurunkan jurus pamungkasnya kepada para murid-muridnya. René menjanjikan pelatihan mendalam, yang menurutnya takkan ditemukan di kursus seni bela diri pada umumnya.
Namun, tanpa murid-muridnya sadari, mengikuti kursus René sama saja menyerahkan seluruh hidup mereka ke tangan sang master. Mereka diperas dan dilarang bertemu keluarga atau orang terdekat. Bahkan banyak dari mereka tinggal bersama sang guru — di sebuah rumah yang dibeli menggunakan uang anggota. Lebih parahnya lagi, mereka menjadi korban kekerasan.
Videos by VICE
Begitu menyadari kursus kungfu tak lagi menguntungkan, René mengubah taktiknya dan mencari keuntungan di berbagai bidang lain. Setelah sempat menekuni perkebunan ganja, dia akhirnya mendirikan pusat rehabilitasi.
Sebagai lulusan psikologi, Elsje tertarik melamar pekerjaan di klinik itu setelah menerima informasi lowongan dari teman kuliahnya. “Saya lulus pada Februari 2013. Beberapa bulan setelahnya, kenalan satu angkatan memberi tahu lewat Facebook, ada klinik rehabilitasi yang baru dibuka dan sedang mencari karyawan,” terang perempuan yang saat itu berusia 33. Menurutnya, klinik itu didirikan oleh sekelompok teman yang “berkeyakinan mereka dapat menyediakan perawatan yang berbeda bagi pasien ketergantungan obat di Belanda”.
“Dua tahun saya bekerja di sana, tapi baru sadar kliniknya dijalankan oleh sebuah sekte setelah mengundurkan diri. Semua jadi lebih masuk akal setelah saya mengetahui tentang ini,” ungkap Elsje. Itu pertama kalinya dia bekerja setelah menyelesaikan pelatihan, sehingga dia belum sepenuhnya percaya diri dengan kemampuannya. Elsje mengaku mati-matian membuktikan diri agar tidak dipandang rendah oleh rekan-rekan kerjanya.
“Suasana di klinik terasa janggal,” kenangnya. “Di satu sisi, rekan-rekan kerja saya terlihat sangat akrab. Tapi di sisi lain, orang luar kesulitan bergaul dengan mereka.”
Elsje berusaha membaurkan diri, tapi sering diabaikan. Bisa dilihat dari sikap mereka terhadapnya, staf lama kurang ramah dengan orang baru.
Akan tetapi, di tempat ini jugalah Elsje berkenalan dengan Jeppe, lelaki yang sekarang menjadi suaminya. Mereka berdua merahasiakan nama lengkapnya untuk melindungi privasi.
Berhubung kliniknya berada di bekas lokasi peternakan yang cukup terpencil dekat perbatasan Jerman, 30 kilometer dari kota Nijmegen di Belanda, Elsje membutuhkan tumpangan lantaran tidak ada kendaraan umum yang menuju ke sana. Jeppe yang merupakan ketua tim, sering mengajaknya berangkat bareng. Persahabatan mereka bermula dari situ.
Yang tidak Elsje ketahui saat itu ialah temannya terlilit utang akibat ulah guru kungfu-nya, René. Jeppe dan rekan-rekan kerjanya percaya dengan adanya hukum karma dan reinkarnasi. Mereka juga sering mendiskusikan filosofi yang mendasari kungfu, dan bahkan ogah punya anak “karena akan berdampak buruk bagi planet”. Tak ada satu pun dari mereka yang tertarik mencari pasangan hidup.
“Saya dulu tidak menaruh kecurigaan sama sekali,” Elsje mengakui. “Saya malah merasa pemahaman mereka tentang dunia sangat menginspirasi.”
Dari Jeppe, dia baru tahu seberapa besar pengaruh René terhadap kehidupan para pengikutnya. Sang guru bahkan berhasil mencuci otak Jeppe hingga ia percaya dirinya gay. “Kalau Jeppe bilang dia tidak menyukai sesama jenis, anggota sekte akan mengajaknya berbicara hingga berjam-jam lamanya. Jeppe akhirnya muak dan ‘mengaku’ sebagai gay,” Elsje menjelaskan. “Saya rasa René tidak suka melihat anggota laki-laki berhubungan dengan perempuan dalam sekte. Alasannya karena dia melecehkan mereka.”
Terlepas dari orientasi seksual yang dipaksakan, Jeppe jatuh cinta pada Elsje. “Pada saat itulah dia baru menyadari tidak suka laki-laki, bahwa selama ini René telah berbohong,” lanjutnya. “Sementara itu, teman satu kantor mengasihaniku, karena mereka yakin Jeppe hanya berpura-pura menyukaiku.”
Jeppe perlahan-lahan mulai terbuka pada Elsje, dan mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di balik layar. “René sering menghajar anggota sekte. Para perempuan tidak hanya dipukuli, tetapi juga dilecehkan secara seksual,” Elsje menuturkan kembali cerita yang ia dengar dari pasangannya. “Dia melihat anggota perempuan sebagai ‘pelacur’, dan mereka susah payah menyingkirkan label itu.”
Rupanya, Jeppe telah menyerahkan sejumlah besar uang kepada René untuk alasan membeli rumah. Sang guru mengelola keuangan mereka, dan mendorong para anggota untuk menghabiskan uang lebih dari kemampuan mereka. Uang itu sering kali digunakan untuk membeli hadiah buat master kungfu.
Setelah 15 tahun berutang, Jeppe harus melunasi sebesar 100.000 Euro (Rp1,5 miliar). Keluar dari sekte berarti dia kehilangan tempat tinggal, dan Elsje kaget bukan kepalang begitu mengetahui kebenarannya. Namun, Jeppe terus mengagung-agungkan sang guru, merasa tidak ada yang aneh dengannya. Mata Jeppe mulai terbuka setelah menonton dokumenter tentang kultus dua tahun kemudian.
Elsje mengatakan, pasangannya mempertahankan pandangan misoginis yang telah ditanamkan oleh anggota kelompok. “Pola pikir hitam putih ini selalu hadir dalam hubungan kami,” ucapnya. Jeppe suka memandang orang sebelah mata, tapi tidak senang diperlakukan serupa. Dia mudah cemburu, sering menghamburkan uang dan bersikap menggurui tentang uang padahal dirinya sendiri tidak punya uang.
Elsje sempat terpikir mengakhiri hubungan mereka, tapi dia telanjur sayang dengan kekasihnya. Untung saja, Jeppe tergerak mencari bantuan profesional dan memperbaiki hidupnya. Keduanya kini telah menikah dan dikaruniai dua orang anak. Menurut Elsje, suaminya terkadang masih mengalami mimpi buruk akibat pengalamannya menjadi anggota sekte kungfu, tapi keadaannya jauh lebih baik sekarang.
Dia juga bersyukur tidak menyerah dalam mempertahankan hubungan. “Terlepas dari traumanya selama ini, sekarang kami bisa berkomunikasi dengan lebih baik,” ujar Elsje. “Dia selalu ada ketika saya sedang tidak baik-baik saja. Dia membantu saya melalui depresi, dan selalu mendengarkanku saat saya mengalami serangan panik. Hidup saya menjadi lebih berharga berkat kehadirannya.”
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.