Enam pemerintah kota di Belanda telah atau bersiap melarang kemunculan bisnis start-up layanan antar barang dari toko online, yang menjamin pengiriman terlalu cepat pada konsumen. Bisnis macam ini dianggap merusak sistem zonasi yang sudah dicanangkan pemerintah, serta berisiko membuat kualitas hidup area urban di Belanda menurun.
Seperti pembaca ketahui, banyak start-up digital bermimpi agar proses belanja online bisa jauh lebih nyaman dibanding belanja langsung ke toko fisik. Salah satu solusinya adalah menjamin pengiriman barang yang dibeli konsumen lewat situs bisa sampai ke rumah pembeli dalam waktu secepat-cepatnya. Pada kasus belanda, beberapa start-up yang mendapat sokongan modal perusahaan ventura internasional, sampai berani menjamin pengiriman barang yang dibeli di marketplace online hanya memakan waktu 15 menit setelah proses checkout diselesaikan.
Videos by VICE
Masalahnya, jaminan pengiriman maksimal 15 menit bisa dipenuhi karena banyak start-up itu “memaksa” mitra kurirnya mengubah rumah tinggal mereka menjadi gudang barang grosir. Perlu diingat, barang bisa amat cepat dikirim tentu karena gudang barangnya berada di titik radius pengiriman terdekat dari rumah konsumen, yang tak lebih dari 15 menit.
Alhasil, menurut pemerintah Belanda, praktik bisnis delivery instan tersebut menyulut kemunculan “toko gelap”, alias bisnis yang melanggar sistem zonasi kota. Area perumahan dialihfungsikan jadi untuk keperluan bisnis, atau sebaliknya. Pada pertengahan Februari 2022, pemkot Amsterdam dan Rotterdam sudah menerbitkan larangan operasional selama setahun, terhadap start-up yang memicu munculnya toko-toko gelap. Beberapa start-up Belanda yang terdampak aturan ini di antaranya Gorillas, Getir, Flink, Zapp, dan masih banyak lagi lainnya.
Start-up pengiriman barang super cepat tersebut beroperasi sepenuhnya dengan cara bakar duit investor. Bisnis mereka ditaksir sampai merugi US$150 per pesanan. Perusahaan-perusahaan itu semuanya bertaruh layanan antar maksimal 15 menit akan digemari semakin banyak penduduk Belanda, sehingga nantinya konsumen ketergantungan pada jasa mereka.
“Model bisnis start-up pengantaran barang supercepat itu sudah pasti mengganggu lingkungan perumahan yang menjadi lokasi gudang toko gelapnya,” kata Wakil Walikota Belanda, Marieke van Doornick saat diwawancarai Reuters.
Mayoritas penduduk kota-kota besar Belanda sendiri mendukung kebijakan melarang pengiriman barang supercepat. Sebab, kota-kota di Negeri Kincir Angin tertata berkat diterapkannya sistem zonasi secara ketat. Membiarkan orang jadi mitra start-up, mengubah rumah mereka jadi gudang barang, akan memicu kegaduhan serta membuat suasana kawasan perumahan jadi tidak nyaman lagi dihuni.
Selain Amsterdam dan Rotterdam, empat kota lain, yakni Den Haag, Groningen, Arnhem, serta Amstelveen, berniat menerbitkan aturan serupa melarang operasional start-up antar barang instan. Menurut laporan situs berita lokal NRC, banyak warga di kota-kota tersebut mengeluh ke pemerintah karena rumah tetangga mereka sekarang berisik dan jadi gudang barang, akibat maraknya jasa pengiriman barang 15 menit. Mayoritas warga di 9 dari 23 kota-karesidenan yang disurvei NRC, menolak bisnis delivery instan terus diberi izin operasional. Bisa dibilang, larangan operasional serupa akan bermunculan di kota-kota lain dalam waktu dekat.
Kebijakan beberapa pemkot di Belanda ini, menurut kantor berita Reuters, hampir serupa dengan pendekatan regulator ketika Uber dan Airbnb muncul pertama kali di Belanda. Pelarangan pemkot ternyata tidak terlalu efektif menghentikan dua startup raksasa itu melebarkan sayap di Negeri Tulip.
Akan tetapi, sejak 2017 sempat marak juga startup di Belanda yang menawarkan jasa persewaan sepeda via online. Bisnis macam itu yang ngetren sebentar, ternyata langsung mati setelah mereka tidak bisa menanggung strategi bakar duit miliaran dollar kurang dari setahun. Alhasil, ada dua kemungkinan yang akan terjadi dari upaya beberapa pemkot di Belanda melarang layanan pengiriman instan. Bisnis macam ini mampu bertahan seperti Uber, namun mengubah lanskap dan kondisi hidup masyarakat perkotaan di Belanda. Atau mati dengan sendirinya, karena konsumen tidak segitunya fanatik pada jasa yang mereka tawarkan.