Pencarian Konstan Mikael Johani Pada Rumah dan #RelationshipGoals

Keliru besar jika kita menuding sosok penyair sekaligus esais Mikael Johani, yang terkenal bitchy banget, alergi menulis puisi-puisi galau. Dulu aku—barangkali juga sebagian pembaca sastra di negara ini yang mengenal kiprahnya—mengira cuma satu dua puisinya yang melakonlis. Kalaupun ada enggak akan banyak jumlahnya. Aku mikir gini karena merasa sudah cukup akrab sama esai-esai Mikael. Prasangkaku pada sosok Mikael buyar, ketika naskah We Are Nowhere And It’s Wow nyampe di tangan. Jujur aja, puisi-puisi dia rasanya hangat—kayak pipis di kolam renang. Buku ini, diterbitkan ulang oleh penerbit buku independen POST Press akhir Juli lalu. Sepilihan puisi ini mengajak pembaca ngintip masa muda Mikael di Australia, merasakan gagasan dan pemikirannya yang selintas saja, tapi nyess soal identitas, seni, dan Indonesia era modern.

Sewaktu kecil, Mikael pindah-pindah terus. Dia meninggalkan Madiun buat ke Yogyakarta, terus dari sana ke Jakarta, sebelum akhirnya pindah ke Australia. We Are Nowhere and It’s Wow banyak ngomongin soal perasaan-perasaan kaget dan kesasar. Di buku ini pula Mikael mencoba memahami sekelilingnya, dirinya, dan menerima bahwa konsep akar dan realita selalu berubah.

Videos by VICE

Buku ini awalnya terbit 2008. Dalam edisi terbaru ini Mikael udah lebih tua dan jauh lebih bijak (anggaplah demikian). Hasilnya, puisi-puisi dalam publikasi ulang buku ini lebih jujur dan tulus.

VICE Indonesia ngobrol-ngobrol bareng Mikael membahas hidupnya, kritik terhadap puisi-puisinya, dan tur buku bersama penyair Anya Rompas—sang istri yang juga menekuni puisi.

VICE: Menurut elo apa makna ‘nowhere’ dan apa, sih, yang wow banget soal itu?
Mikael Johani: Ternyata menurut Google gue seorang “third culture kid”, jadi posisi dan perasaan gue di mana pun gue berada akan selalu “nowhere”. Kepala gue isinya setiap hari setiap saat adalah adegan-adegan dari film-film favorit, nada-nada yang nancep dari lagu-lagu favorit, kalimat-kalimat dan baris-baris yang nempel dari buku-buku favorit. Gue jarang banget merasa “berada di sini, sekarang.” Konsekuensinya ya sering hampir kelindes bajaj. Tapi kayaknya gue perlu hidup di dalam kepala sendiri buat melindungi jiwa gue dari goncangan-goncangan yang blaaarrr setiap kali gue pindah rumah (sering banget).

Nggak terdengar WOW banget, ya? Tapi emang “wow” di judul buku ini bisa dibaca dengan nada macem-macem, seneng, nggak peduli, galau, sebel, merana, mengeluh, terserah interpretasi lo. Gue anak 90s, ironi itu santapan sehari-hari. Sebenernya gue malah pengen tahu bagaimana orang lain akan membaca wow di akhir judul itu.

Waktu bikin judul itu, gue sendiri malah membayangkannya dibaca seperti waktu Neil Patrick Harris kebanyakan makan mushroom di White Castle, terus dia nggak sengaja melihat tangannya di setir mobil terus bilang, “wow”, lirih aja, kayak hampir berbisik. Wow si Doogie Howser ini buat gue waktu itu merepresentasikan dengan sempurna kekaguman, ke-wow-an, gue terhadap segala macam keindahan di dunia (Australia dan Jakarta) ini waktu itu, tapi juga perasaan menyerah, pasrah, karena dunia yang sama juga hancur banget tak mungkin terselamatkan. Ini memang salah satu tema utama buku ini. Oya, judul ini juga plesetan dari lagu heitz emo-indie awal 2000-an. ;)

Kenapa elo memilih nulis semua puisi di buku ini dalam Bahasa Inggris? Apa ini sebuah pilihan estetis tersendiri?
Seringkali gue nggak sadar atau nggak inget lagi ngomong atau udah nulis sesuatu pakai bahasa apa/yang mana. Sering terjadi, orang minta artikel dari gue, terus gue bilang, kayaknya gue punya deh yang kayak gitu, entar gue email ya. Terus pas gue cari di file ternyata tulisannya dalam bahasa Inggris padahal orangnya minta dalam bahasa Indonesia, atau sebaliknya.

Gue juga suka menulis dalam bahasa Indonesia, sama nyamannya gue pakai bahasa “ibu” ini atau bahasa Inggris. Setiap hari bahasa gue selalu campur-campur, “code switch” istilah eeknya. Tapi WOW gak code-switch, hampir nggak sama sekali, soalnya banyak puisi di buku ini ditulis pas gue lagi di Australia, dan pas gue baru balik ke Jakarta, dan waktu itu gue ketakutan banget kehilangan bahasa Inggris-Australia gue. Jadi gue menulis dalam bahasa itu.

Tapi itu semua analisa. Waktu nulis WOW gue nggak terlalu mikirin. Gue kalau nulis puisi pakai insting aja. Kalau ada yang norak-norak pun biarin aja. Nggak usah difilter. Nggak kayak kalau gue nulis esai atau ulasan, yang mana setiap kata, tanda baca pasti ditimbang, dikalibrasi super hati-hati buat bikin kesel orang maksimal.

Eh, ceritain dong tentang hidup elo dulu di Australia? Kok bisa Australia jadi rumah elo dalam buku ini?
Gue pindah ke Australia umur 16. Brondong cyin. Biasanya baca Stephen King, tiba-tiba gue harus baca Macbeth. Gue nonton filmnya aja, yang versi Polanski. WOW, Lady Macbeth, bae! Australia buat gue awal-awalnya bikin kesepian banget. Goenawan Mohamad sotoy tuh waktu nulis di Catatan Pinggir: “Di Australia hanya ada onta dan kebahagiaan.”

13 tahun di Australia gue nggak pernah lihat onta. Tahun-tahun pertama kegiatan gue cuma pergi ke bar nonton band-band grindcore lokal (cekidot Disembowelment) sambil minum bir sendirian (moshing pun males, bersinggungan dengan terlalu banyak orang dan ketombe), atau nonton bioskop, sendirian pula. Gue nonton Salò dan semua penonton yang lain udah keluar sebelum adegan yang orang-orang makan tai dari buffet. Jadi di bioskop nonton orang makan tai pun harus gue jalani sendiri. Tapi keren, gue cinta banget Pasolini.

Lambat laun gue punya temen juga, yang jadi semacam keluarga kedua gue di sana. Ada yang udah nggak mau lagi ngomong sama gue, ada juga yang sampai sekarang masih ngobrol di FB messenger. Paling ngobrol soal band-band indie 90-an, GBV, Royal Trux, Smudge, band-band lo-fi Flying Nun, dll.

Bab “home” di buku ini setengah ironis paling nggak. Tadinya “home” gue ya Australia. Tapi karena satu dan lain hal, gue cabs. Cabs gitu aja. Tiba-tiba. Sekarang gue udah merasa “home” banget di Jakarta, tapi masih juga ada perasaan yang diekspresikan dengan sangat baik di epigraf buku ini, sebaris dari puisi Laurie Duggan (penyair Australia yang pindah ke Inggris: “Tempatku di sini, tak ada yang mengenali”.

Contoh: gue nulis ini sambil dengerin siaran radio BBC laporan pandangan mata pertandingan test cricket Afrika Selatan v. Inggris di London. Cariin dong orang yang mau nemenin gue melakukan hal paling membosankan sedunia ini.

Jadi, ya, kadang-kadang gue pikir-pikir, apa Australia memang “home” ya sebenarnya buat gue? Bab tentang Australia di buku gue dipenuhi keluhan-keluhan gue tentang tempat ngepet itu. Misalnya tentang obsesi Australia menjadi tempat ter-WOW di permukaan bumi. Orang Australia sendiri kayaknya udah lupa deh, waktu Donald Horne nulis The Lucky Country, judul itu sebenernya ironis, celaan. Baca deh koran-koran mereka, pasti ada aja artikel yang bilang “Menurut Survey Terpercaya, Australia Adalah Tempat Terindah di Muka Bumi”, “Kafe Baru di Glebe Dianugerahi Gelar Pembuat Flat White Terenak di Dunia” (termahal keles), “Melbourne: Populasi Jenggot Hipster Terbesar di Dunia Ada di Sini”, atau apalah. Negeri yang rendah diri abis.

Foto oleh Anya Rompas

Di banyak puisi elo, terutama ‘Parc’, elo merujuk satu era spesifik di Jakarta ketika anak-anak gaulnya potong rambut di Firman, dan orang nge-DJ pakai burned CD, dan Friendster masih ngetren. Itu kan udah lama banget, kayaknya gue masih SMP deh. Menurut elo apa yang berubah sejak itu di “skena anak muda,” dan apa yang masih gitu-gitu aja?
Hahaha, untung ada elu ya! Gue jadi dapat cukuplah bocoran biar dikira masih yey. Jakarta memang salah satu tema utama buku ini. Bagaimana gue melihat kota ini, bagaimana perasaan gue tentang kota ini, bagaimana persepsi gue tentang kota ini diperdalam atau malah dikaburkan oleh jarak yang gue rasakan dengan kenyataan di sini — alienasi third culture kid!

“Parc” itu salah satu usaha gue buat jadi perekam zaman. Pas nulis ini gue lagi dalam fase Imagis. Jadi yang gue pengen lakukan adalah membuat imaji-imaji visual (dan imaji suara!) yang seakurat mungkin tentang indie club legendaris ini. Susah sih, soalnya kan ingatan gue tentang tempat itu ya, gitu deh. SKIP SKIP SKIP.

Beberapa hari lalu sebenernya gue habis ngomongin soal ini sama temen gue, sesama gadun, nah menurut kita, oom-oom sih, musik zaman kekinian itu enggak ada yang bener-bener keras. Cadas istilah baheulanya. Enggak ada yang bener-bener marah, kurang punk, jadi pas ada band-band yang keras dikit aja kayak Barasuara atau Senyawa orang pada lebay reaksinya. Tapi ya normal lah, namanya juga anak muda. Pasti hedonis. Semuanya yang bikin seneng aja. Gue dulu juga gitu. Atau mungkin, kata orang, I don’t know how to have fun.

Elo beberapa kali nulis esai kritik sastra. Kritikan elo terkenal ceplas-ceplos dan pedes. Gimana elo menilai buku elo sendiri? Bagus, enggak?
Wokeh. Puisi-puisi di buku ini lumayan lebih naratif dan lirikal daripada puisi-puisi gue yang lain. Pengaruhnya banyak, mashup antara Modernis macam Williams, penyair Confessional terutama Lowell, New York School coterie cong, poet Frank O’Hara, dan proto alt-poets macam David Berman (vokalis Silver Jews). Ini masa-masa gue belum terobsesi nulis canto ala-ala Pound atau main game-game puisi Oulipo.

Versi beda banget dari buku ini (dengan judul sama) pernah dirilis 2008. Waktu ditawari Post Press nerbitin ini lagi, mungkin ada setengah dari puisi-puisi yang ada di buku orisinal gue buang, sisanya gue modif, dan gue tambahin puisi-puisi baru yang lebih real. Intinya gue pengen lebih jujur, lebih gak dibuat-buat. Juga lebih menyadari dan mengakui gue melihat dunia dari sudut pandang macam apa. Posisionalitas cyin. WOW versi baru ini lebih bebas, lebih sans, tapi juga lebih, kata temen gue, ber-“human touch”. Kayak sampulnya juga. Sampul yang dulu indah banget, tapi mungkin keberatan intertekstualitas visual. Yang ini ungu, kayak memar. Suka gue.

Pas launching di Paviliun28, elo mengumumkan akan tur buku bareng istri, penyair Anya Rompas. Ceritain dong, soal tur buku #RelationshipGoals ini…
Kami hanya ingin menegaskan status kami sebagai Hughes dan Plath-nya Puisi Indonesia hahahaha. Anya baru saja merilis buku keduanya, Non-Spesifik, yang kata Eka Kurniawan “anarkis” dan kata Oka Rusmini, “seperti mencakar-cakar muka sendiri.” Karena kami berdua ceritanya penyair third culture yang dari kawanannya terbuang, kami kepikiran bikin tur bareng aja. Jadi lebih murah juga! Gue udah pernah ditanyain ini sebelumnya dan ternyata jawaban gue lebih nyebelin lagi: “Dua buku ini ditulis oleh hipster budaya berpendidikan barat yang disatukan oleh Tuhan dalam matrimoni karena tidak ada orang lain yang bisa mengerti penderitaan spesifik dan non-spesifik mereka.” Jangan khawatir, IRL gue orangnya lebih ngepet lagi daripada pernyataan ini!

Perhentian pertama #RelationshipGoals di Kineruku, Bandung, 19 Agustus mendatang. Datang yuk, bakal ajib ajaib banget gue jamin! Beneran ajaib, soalnya udah disewain tukang sulap sama Kineruku!

Habis itu kami rencananya juga ke Jogja, Solo, dan Surabaya kalau orang belum eneg.

Full disclosure: Penulis memiliki afiliasi dengan penerbit buku Mikael. Jadi, silakan curiga dengan semua kata-kata yang termuat di artikel ini. Tapi, jujur, dengan atau tanpa afiliasi itu, penulis suka banget sama antologi puisinya Mikael.


Dua nukilan puisi dari We Are Nowhere and It’s Wow:

The cars that ate Paris
your country is forever seeking
its own story in the old stories
told retold reinterpreted reinvented
of the missing tiger-dog
the evil do-gooder with the funny hat
the time when dreams replaced people
readers who read and re-read the stories now
to find the spine of the land
and find it missing.

your country is probably not you either

Parc
2nite: it’s Anytown, Indierock
Orientals of the world, unite!
pins on lapels
cheap beers “best served with friends”
Firman haircuts
neat
hair washed, teased, blow dried, hair-sticked, hair-sprayed
Senen Garfield tee on Jimi Danger, 4st 7lbs
sleeves rolled-up
«Ils sont Les Jadugars»
Casio Exilims’ flash
passing joints at the bar
generous Absolut in the cranberry
a couple kissing at the bar
open microphones
a couple kissing at the bar
DavTar hides the labels on his records
passing joints at the bar
Edophilia spins burned CDs
with tracklists sticky-taped outside
couples kissing at the bar
kids make requests for James, latest Franz Ferdinand’s 7″s
amorous indie rock ‘n’ roll