Pendeta Surabaya Pemerkosa Anak Angkat Divonis 10 Tahun Penjara

Pendeta Hanny Layantara Surabaya Pemerkosa Anak Angkat Divonis 10 Tahun Penjara

Pengadilan Surabaya, pada Senin (21/9) lalu, menjatuhkan vonis penjara untuk untuk Pendeta Hanny Layantara, 50 tahun, imam sekaligus ketua Majelis Pekerja Sinode di Gereja Happy Family Center, Surabaya. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp100 juta setelah terbukti melanggar UU Perlindungan Anak Pasal 82 karena bersalah memperkosa anak angkatnya sendiri selama enam tahun, sepanjang 2005-2011.

Akibat pemerkosaan tersebut, sang anak angkat yang berjenis kelamin perempuan mengalami trauma berat hingga berulang kali mencoba bunuh diri. Korban yang kini berusia 26 tahun pertama kali diperkosa pada umur 12.

Videos by VICE

Kasus ini baru terungkap akhir Februari 2020 ketika korban yang hendak menikah, memutuskan menceritakan penderitaannya. Keluarga korban langsung melapor ke Polda Jatim pada 20 Februari, disusul dengan ditangkapnya Pendeta Hanny Layantara pada 7 Maret 2020. Saat ditangkap, Hanny diduga akan kabur ke luar negeri.

Kisah tragis ini dimulai dengan alasan yang sangat mulia. Awalnya, orang tua korban yang merupakan jemaat Kristen Protestan dari Gereja Happy Family Center menitipkan anak perempuan mereka kepada Hanny agar dididik menjadi orang beriman. Penitipan itu membuat penyintas berstatus anak angkat Hanny.

Kronologi berikut mengandung adegan pemerkosaan eksplisit. Pembaca dalam kondisi rentan sebaiknya tidak meneruskan membaca.

Yang terjadi kemudian justru peristiwa demi peristiwa jahanam. Sejak 2005, Hanny yang tinggal di lantai empat gereja berulang kali memanggil korban yang masih anak-anak untuk datang ke kamar atau ruang tamu kediamannya. Di sana, korban dipaksa telanjang, lalu dipeluk, diciumi, dan disuruh memegang serta mengisap penis pelaku.

Saban kejadian itu selesai, pelaku akan mengajak korban berdoa serta menekankan, perbuatan mereka adalah hal lumrah antara ayah dan anak.

Selama empat tahun, antara 2005-2009, kejadian serupa diulang 4-5 kali seminggu. Dari 2009-2011, intensitasnya berkurang jadi dua kali seminggu karena pelaku mengasuh anak angkat lain. Tidak ada laporan apakah anak angkat lain ini juga mengalami pemerkosaan.

 “Sebelum dicabuli, pelaku melakukan pendekatan kepada korban selama dua tahun. Waktu itu masih berumur 10 tahun. Baru pada umur 12 tahun dan sudah dekat, baru dicabuli,” tutur juru bicara keluarga korban, Bethania Thenu, dikutip Surabaya Pagi. Pemerkosaan itu disertai ancaman, jika korban menolak atau melapor kepada keluarga, Hanny akan menghancurkan keluarga korban. 

Ketika akhirnya keluarga korban lapor kepada polisi, keluarga pelaku sempat berusaha agar masalah ini diselesaikan “secara baik-baik”. Istri pelaku yang juga pendeta di Gereja Happy Family Center serta kawan karib ibu korban, turut aktif meminta mediasi dan memohon keluarga korban tak membuka kasus ini kepada khalayak. Namun, keluarga korban menolak berdamai.

Setelah kasus ini diusut polisi, 11 Agustus lalu jabatan ketua Majelis Pekerja Sinode gereja bersangkutan dipindahkan ke pendeta lain. Namun, istri pelaku masih bercokol sebagai wakil ketua.

Atas putusan ini, terdakwa mengajukan banding. Vonis hakim masih lebih rendah dari ancaman undang-undang. Dalam UU 17/2016 tentang Perlindungan Anak Pasal 81, pelaku kekerasan seksual yang menyetubuhi anak akan diganjar hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Pasal ini memuat catatan jika pelaku memanggul status tertentu, seperti orang tua, wali, keluarga, pengasuh, pendidik, atau aparat perlindungan anak, hukuman bisa ditambah sepertiga. Juga ada tambahan sanksi berupa pembukaan identitas pelaku ke publik serta kebiri kimia. 

Kasus ini menjadi salah satu potret kelam masa kecil anak-anak di lembaga keagamaan yang seharusnya melindungi mereka, seirama dengan horor kejahatan seksual di kampus (kami meliputnya tahun lalu dalam seri #NamaBaikKampus). Selain di pesantren, gereja rupanya turut menjadi lokasi predator seksual beraksi.

Salah satu yang membuat orang bergidik ialah terbongkarnya pelecehan seksual oleh seorang pastor Katolik kepada para putra altar (pembantu pastor saat misa), Juni lalu. Sejak 2002, sebanyak 21 putra altar di Paroki Santo Herkulanus, Depok, Jawa Barat, diperkosa dan menerima kekerasan seksual lainnya. Atas 21 korban itu, pelakunya hanya seorang, yakni pembina putra altra yang juga seorang pengacara bernama Syahril Parlindungan Marbun.

Kasus ini baru terbongkar Mei lalu ketika salah seorang putra altar mengaku kepada keluarganya, telah tiga kali mengalami kekerasan seksual dari Syahril sejak Maret. Keluarga lalu melapor kepada polisi, membuat paroki membentuk tim untuk mencari jejak perilaku Syahril di masa lalu. Hasilnya, 21 korban ditemukan. Salah satu korban yang dilecehkan saat masih kanak-kanak bahkan berubah menjadi predator seksual ketika duduk di bangku SMA.

Salah satu korban yang kini berusia 20 tahun, mengaku kepada Tempo bahwa ia telah diperkosa sejak kelas 1 SMP. Ia diam selama bertahun-tahun dan sempat mencoba memaafkan pelaku. Ketika mengetahui ada korban lain yang melaporkan Syahril, ia memutuskan bicara.

“Tembok yang saya bangun langsung runtuh setelah mendengar kabar itu,” katanya kepada Tempo. Ia bahkan dihinggapi penyesalan. “Seandainya saya melaporkan pemerkosaan itu, mungkin tak ada lagi adik-adik saya yang menjadi korban.” Menurut ceritanya, selama ini ia diam karena takut disalahkan dan diejek

Kasus ini seharusnya bisa dibongkar lebih cepat. Pada 2014, salah seorang ibu putra altar pernah memergoki kejahatan seksual Syahril. Ia melapor ke paroki, namun pemimpin saat itu menyuruh berdamai.

Berselang sebulan dari terkuaknya kasus Paroki Santo Herkulanus Depok, Tirto dan The Jakarta Post meluncurkan seri liputan #NamaBaikGereja mengenai para imam Katolik yang melakukan kejahatan seksual. Pertama adalah kasus Bruder Lukas Lucky Ngalngola alias Bruder Angelo yang mencabuli anak-anak Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani, Depok, Jawa Barat yang ia kelola. Kasus kedua adalah pelecehan jemaat Gereja Katolik Maria Bunda Karmel Paroki Tomang, Jakarta Barat. 

Kasus demi kasus membuat sikap para imam dalam tubuh gereja masih terbelah, antara mau mengakui dan menutup-nutupi.

Dikutip dari Tirto, tahun lalu Sekretaris Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Joseph Kristanto pernah mengumpulkan angka kasus kekerasan seksual kepada perempuan di dalam gereja. Namun, data itu ditolak oleh Ketua KWI yang juga Kardinal Indonesia sekaligus Uskup Agung Jakarta, Romo Ignatius Suharyo. Walau tidak membenarkan data itu, ia juga berpendapat publikasi data tersebut merupakan pelanggaran berat kode etik.


Jika Anda atau orang terdekat Anda mengalami kekerasan seksual, segeralah melapor ke Komnas Perempuan lewat nomor telepon (021) 3903963 atau LBH dan kantor polisi terdekat.